Rabu, 02 Nopember 2011


Hari ini salah satu dari tiga gigiku yang berlubang ditambal. Satu-satunya yang masih bisa diselamatkan sebab yang dua sudah benar-benar parah, tinggal tersisa sedikit putih di pinggir lubang. Khawatir gigiku habis sebelum sempat mengajarkan kesehatan gigi pada generasi penerusku kelak.

Aku memang sangat bermasalah dengan gigi. Sejak kecil, gigiku sering berlubang  yang akhirnya dicabut ketika kelas 5 SD di puskesmas. Sejak itu, aku jadi rajin gosok gigi, terutama sebelum tidur.  tak pernah berani meninggalkan ritual itu berharap gigiku akan lebih sehat. Sayangnya, gigiku kembali berlubang di gigi geraham kiri atas. Rasanya tak terkatakan, sakitnya melebihi sakit hati dan sakit apapun. kalau sakit kepala saja, aku masih bisa tidur nyenyak, tapi sakit gigi tak bisa disembuhkan dengan tidur. bahkan membuat nggak bisa tidur karena sakitnya merembet sampai kepala dan seluruh tubuh. Sakit gigi mengalahkan seluruh rasa sakit yang pernah kuderita. Flek paru-paru ketika duduk di bangku SMP saja rasanya bahkan tidak sakit sama sekali. Apalagi darah rendah, hanya lemes dan nggak berdaya aja.

Sakit gigi benar-benar momok bagiku dan sayangnya aku harus mengalaminya mulai masuk di bangku kuliah. Nggak tahan dengan sakitnya yang dulu ketika kecil kusumbat dengan kapas yang sudah dibasahi minyak tawon, aku pun memeriksakan ke dokter gigi. Ketika itu aku masih tinggal di Ambarawa. Libur kuliah di hari Sabtu, kusempatkan ke Puskesmas Kecamatan yang terletak sekitar 4 km dari rumah. Gigiku diperiksa, diketuk tulang giginya, “Sakit dek” aku mengangguk. Ibu dokter setengah baya yang ramah (sayang, aku tidak ingat namanya) lalu memberiku resep untuk diminum. Beliau memintaku kembali minggu depan.

Meski sedikit kecewa, tapi ada sedikit kelegaan juga. Ketakutanku harus ditunda mungkin aku bisa berfikir lagi apakan akan benar-benar mencabutnya atau tidak. Sebenarnya yang membuatku tidak kungjung mencabutkan gigiku adalah ketakutan dari cerita banyak orang. katanya kalau gigi atas itu bahaya, berhubungan langsng dengan syaraf mata. Setelah kembali seminggu kemudian dengan berbekal Bismillah dan Lillahi ta’ala karena nggak tahan dengan sakitnya, berharap semua cerita itu tidak benar dan penderitaanku akan berakhir.

Sampai di ruang praktek yang sama, aku pun menyerahkan diri. Pasrah, kalaupun sakit semoga untuk tekhir kalinya sakit gigi. Kembali aku disuruh membuka mulut lebar-lebar, tulang gigi yang berlubang diketuk, masih terasa sakit. Beliau kembali memberiku obat dan menyarankanku untuk mengunjunginya di tempat prakteknya saja. Sekalian kalau aku mau membersihkan karang gigi dan merawat gigiku. Alhasil, beliau malah promosi tempat prakteknya dan memberikan rincian biaya perawatan gigi.

Karena udah badmood kuputuskan untuk nggak berhubungan dengan dokter gigi itu lagi. Minggu berikutnya aku mengajak ibu ke Poliklinik yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah yang berada di dekat SMP ku dulu. Disana, banyak sekali mahasiswa praktek. Bukannya gigiku dicabut, lagi-lagi karena masih terasa sakit saat diketuk, aku malah jadi bahan praktek mereka. Karang gigiku ludes dibersihkan secar bergiliran oleh enam orang yang akhirnya menyisakan sariawan di bibir karena terjepit alat manual yang digunakan.

Kembali si dokter gigi yang kali ini lebih muda memberiku obat dan menjanjikan akan mencabutnya miggu depan.

Aku semakin nggak mood dan tekadku mencabut gigi yang sudah lama kubangun kuinjak-injak. Nggak akan lagi mencoba mencabutnya, mungkin emang tuh gigi ogah berpisah denganku. Hari-hariku kembali dihiaski dengan sakit gigi kadang-kadang dan harus sikat gigi dengan air hangat karena sakit terkenna air dingin.

Lama-lama, satu gigi geraham kembali berlubang, kali ini di sebelah kanan paling ujung. Karena nggak sadar kalau berlubang, lama-lama lubangnya semakin besar dan terasa sakit. Aku pun tak berniat mencabutkannya karena masih ilfeel dengan dokter itu pasca insiden gagal cabut gigi dua tahun yang lalu. Karena nggak terllau sakit seperti sebelumnya, kubiarkan saja. Walaupun nggak bisa ngunyah pake gigi geraham kanan, masih ada gigi geraham kiri. Ilfeel dengan dokter gigi mengalahkan rasa sakitnya.

Yang membuatku heran, padahal aku nggak pernah absen sikat gigi malam, kenapa masih berlubang juga? Aku pun bertekad suatu saat kalau aku udah kerja, aku akan merawat gigiku dengan baik dan memeriksakannya 6 bulan sekali seperti anjuran pada dokter gigi. Kebutuhan kuliahku sudah cukup membuat orang tuaku pusing, jadi aku pun tak berani meminta mereka untuk membiayai periksa ke dokter gigi setiap enam bulan sekali. Lumayan mahal juga perawatan gigi, terbayang promosi dokter gigi puskesmas kecamatan beberapa tahun lalu.

dan sekarang, gigi ketigaku yang berlubang membuatku capek merasakan sakit gigi. mumpung masih belum terlalu besar, akan kuselamatkan gigiku yang ini dan selanjutnya. Hari inilah kuhancurkan ilfeel dengan dokter gigi demi kesehatan gigi dan bebasnya penderitaan sakit gigi selanjutnya dengan menambalkan gigi di puskesmas kecamatan terdekat.
Setelah dibersihkan dan sedikit sakit, aku diberi tambalan sementara, seminggu lagi si dokter muda yang cantik itu menyuruhku kembali lagi untuk menambal permanen. Semoga kali ini citra dokter gigi di fikiranku bisa berubah dan yang penting berakhirnya penderitaan sakit gigi berkepanjangan itu.

Comments

  1. koq gambar giginya gak di upload??? *_*

    ReplyDelete
  2. hehe...yang nggak eksotis nggak usah diupload. malu2in.

    ReplyDelete
  3. Kak sekarang gigi kakak sudah bagus belum. Gigi saya juga sakit kalau diketuk trus saya baca baca di google malah katanya busa mrninggal kalo tidak kedokter gigi. Mohon pencerahannya ya kak sscepatnya

    ReplyDelete

Post a Comment