Setahun lalu, di Solo

Pulang dari Al Fikr di Serengan, naik bis Nusa A pulang ke kampus. Berhubung nggak punya kendaraan sendiri, kema-mana harus bersahabat dengan kendaraan umum.
Kutemukan bus Nusa A yang mangkal di perempatan gemblegan setelah jalan kaki lumayan jauh juga sekitar 1 km dari Al Fikr. Seperti biasa, ada pengamen naik ketika bus berangkat. Setelah menyanyikan lagunya ST 12 yang judulnya saya tidak ingat karena asik meelamun nggak jelas tentang apa yang akan saya lakukan setelah lulus nanti sambil melihat ke luar jendela, tapi saya masih sempat mengambil koin Rp 500,- dari dompet HP untuk diberikan pada segerombolan anak muda yang sedang bernyanyi.
Karena terlalu asik melamun, saya tidak sadar kalau pengamen tadi sudah selesai menyanyi.
“Mbak mau kemana mbak?” Tanya seseorang yang duduk di sebelahsaya  yang setelah saya sadar ternyata dia itu pengamen yang baru saja menyanyi dengan suara tidak terlalu bagus.
“Ke UNS,” menengok padanya sebentar dengan muka agak males dan agak ramah lalu memandang ke luar kaca lagi.
“Dari mana mbak?”
“Dari Al Fikr,” nih orang udah mulai bikin males. Saya sudah tahu kemana arah pembicaraannya, dia pasti ingin mengajak berkenalan lalu minta nomor HP, tapi saya masih diam. Mencoba menahan mimik muka yang tidak menyenangkan.
“Kok jauh mbak maennya”
“Iya, ke rumah teman…”
“Mbak mau rikues lagu apa?”
“Nggak mas, makasih,”
“Mbak suka lagu yang saya nyanyikan tadi?”
“Hmh? Lagu apa mas?”
“Lagu yang barusan saya nyanyiin,”
“Saya lupa, mas nyanyi lagi apa sih?”
“Lagunya ST12,mbak…”
“Oh…”
Tiba-tiba ada tangan menengadah yang nongol di depan cowok yang duduk di samping saya. Kuulurkan tangan untuk memberikan uang Rp 500,- yang sudah ada di tangan.
“Boleh kenalan nggak mbak? Nama saya Ari,” dia mengulurkan tangannya. Ini nih bagian adegan yang paling saya tidak suka. Rasanya pengen di skip lalu pergi trus di play lagi kalo udah nggak ada pengamen itu.
Tapi melihat tampangnya yang banyak kasihannya daripada tampang preman, saya ulurakan tangan menjabat uluran tangannya, “Rani,” memperkenalkan nama belakarang saya yang tak pernah menjadi sebutan.
Setelah berjabat tangan, entah kenapa tingkat sebel justru berkurang. Saya justru kasihan dengannya kalau masih bersikap acuh, takut dikira sombong.
“Udah punya pacar belum mbak?”
“Ada, calon ssuami,”
“Yah, saya kira belum punya pacar,hehe”
Saya memilih tersenyum kecut dan tidak menganggapi bahasan nggak jelas dan nggak ada manfaatnya.
“Rumahnya Serengan mbak?”
“Nggak, rumah saya Ambarawa,”
“Oh, jadi kos di UNS sana?”
“Iya,”
“Enak ya mbak bias kuliah, saya sebenernya juga pengen kuliah’
“Kok nggak kenapa?”
‘Nggak ada uang mbak, orang tua saya udah nggak ada, ibu saya meninggal bapak saya nikah lagi, saya sama mbah saya di rumah. Makanya saya ngamen biar Mbah saya bisa makan. Kalau saya nggak ngamen darimana mbah saya bisa makan?”
“Oh…mbahnya udah sepuh ya?” saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, rasa empati yang muncul tak bisa terungkapkan dengan kata. Rasa iba munyeruak di tengah deru kendaraan yang makin bising.
“Iya,mbak…saya dulu juga pernah kerja mbak, tapi pabriknya bangkrut makanya saya ngamen biar Mbah saya bisa makan. Kalau nggak saya siapa lagi yang mau ngasih makan Mbah saya?” pembicaraan kami menjadi semakin serius, bukan lagi perkenalan memuakkan.
“Lha kok sekarang nggak kerja lagi?”
“Cari kerjaan susah, mbak..”
“Kalau mau usaha pasti ada jalan, mas. Maaf, mas lulusan apa?”
“SMA, mbak”
“Nah itu mas lulusan SMA, adek saya juga lulusan SMA, dia udah pindah kerja dan sampai sekarang masih kerja,”
Kami terdiam sejenak, kemudian dia kembali membuka pembicaraan, “Kalo mbak sih enak, nggak usah ngamen segala udah dapet uang,”
“Loh, kok bisa?”
“Ya enak aja dilihatnya, kuliah, minta uang langsung dikasih, pulang bisa tidur, nggak naik turun bis cari uang harus ngamen seperti saya,”
“Itu kan menurut Mas. Mas belum pernah jadi saya kan?saya juga belum pernah jadi mas jadi nggak bisa dibandingkan enak jadi siapa. Setiap orang punya masalah, Mas. Mas punya masalah, saya juga punya,”
“Tapi kayaknya kalo dilihat mbak nggak ada masalah,”
“Ya Mas cuma lihat saya dari luarnya, Mas nggak tahu kan apa yang sebenernya saya alami? Jadi mas juga nggak bisa menyimpulkan kalau jadi saya lebih bahagia daripada jadi pengamen seperti Mas. Setiap orang punya masalah, mas, tinggal bagaimana kita menyikapi, kalau ikhlas semua bisa jadi ringan. Jangan Cuma dilihat dari satu sisi saja,”
Dia diam lagi, “Mbak itu hebat lho, jiwanya mbak hebat,” katanya
Saya masih belum mengerti apa maksudnya, saya menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Sekarang wajahnya sudah tidak semnenyebalkan ketika pertama saya lihat duduk di samping saya mengajak berkenalan. Mimik mukanya terlihat lebih bersahabat.
“Nggak banyak yang mau ngobrol sama pengamen lho, Mbak. Biasanya mereka nggak mau kalo diajak ngobrol pengamen. Nggak banyak orang kayak mbak,”
“Ya, mungkin mereka takut, pengamen kan nggak semua kayak mas. Ada yang kadang penampilannya kayak preman, makanya mungkin pada nggak mau karena takut diganggu.”
Dia diam lagi, lalu mengeluarkan HP nya.
“Boleh minta no Hp nya mbak?”
“Maaf, mas. Jangan ya, nanti calon suami saya marah kalau tahu,”
Dia memasukkan kembali Hp nya, “Jangan lupa sama saya ya, Mbak…siapa tahu ketemu lagi,” ia tersenyum pada saya.
“Oh, iya mas…”
 “Kamu turun dimana?” tanya seorang kondektur yang lewat di sebelahnya, “Menuh-menuhin aja,”
“Situ pak, stasiun,” jawabnya. Kasihan juga mereka harus diusir seperti itu, padahal mereka juga cari nafkah.
“Ya udah, Mbak, saya turun dulu ya Mbak, jangan lupa sama saya ya Mbak,”
Saya balas dengan anggukan dan senyum, “Ya, monggo
Sebelum turun, dua temannya juga menyapa, “Mari mbak”
“Iya, “jawabku sambil tersenyum.
@#$^&**&^%$##@%^&*()
Jangan pernah meremehkan orang lain dengan profesi apapun sebab mereka ada untuk memberikan keberagaman. Kalau tidak ada keberagaman, takkan pernah ada yang bisa disebut lebih tinggi dan lebih rendah. Mereka ada untuk memberikan mereka yang lebih baik keadaannya sebutan yang lebih baik.
Tak ada yang tahu apa yang dirasakan orang lain hanya dengan melihatnya. Setiap manusia diberikan cobaan sesuai kemampuannya. Jangan pernah iri melihat kenikmatan yang dimiliki orang lain hanya dengan melihatnya sepintas saja, semua orang diberikan cobaan dan kita tak pernah tahu seberapa besar cobaan yang diberikan pada orang itu. Syukuri apapun yang telah kita punya karena rezeki datang dari rasa syukur.
Semoga Mas Ari, pengamen itu mendapatkan pekerjaan dan dapat hidup lebih baik. 



Comments