Kangen Kongja

Sahabatku yang ini, namanya Maharani Kusuma Djannata. Kami hidup satu kamar dalam dua tahun terakhirku di Solo. sebelumnya kami juga berada di kos yang sama, tapi nggak sekamar. Kami jadi penghuni pertama di kos baru yang jaraknya nggak lebih dari 2 meter dari kos lama, kos baru kami ada persis di depan kos lama.

Sebelum berlanjut ke cerita tentang satu sahabatku yang ‘kadang bertingkah aneh” ini, akan kuceritakan bagaimana awal pertemuan dan kedekatan kami. Dia datang ketika kami sudah akan mulai OSPEK. Maha, begitu panggilan gadis mungil ini, datang bersama ayahnya.  Carrier yang dibawanya terlihat penuh dan berat. Ia tersenyum dan memperkenalkan diri pada kami yang ada di kos. dia ramah, tapi entah mengapa aku merasa ada yang berbeda darinya. Tapi nggak pernah aku ambil pusing.

Maha menempati kamar tengah. Ketika itu keadaan kamar masih sangat acakadut. Kamar yang ditawarkan padaku belum dikosongkan sedangkan kamar paling kecil yang sementara kutempati sekarang ditawarkan pada Maha. Karena pendaftaran ulangku sudah mepet dan nggak punya cukup referensi kos jadi terpaksa kuterima tawaran staff pendidikan universitas ketika daftar ulang untuk kos di tempatnya.

Aku yang agak tertutup, sulit untuk terbuka dengan orang lain merasa nyaman ngobrol sama Maha yang baru kenal. Dia sangat terbuka dan enak diajak ngobrol. Satu lagi, dia ternyata orangnya memang sangat sensitif. Waktu berangkat kuliah, kami sama-sama jalan kaki waktu itu. maha berangkat lebih dulu karena fakultasnya lebih jauh dari fakultasku. Dia berjalan di pedestrian sebelah barat sedangkan aku berjalan di pedestrian sebelah timur. Iseng aja manggil dia tanpa teriak.
“Maha”
Maha nengok dengan reflek cepat kayak kaget, cari asal suara. Aku malah yang kaget, jarak kami mungkin sekitar 10 meter dengan banyak kendaraan lalu lalang dan banyak pejalan kaki dan orang ngobrol. Dia bisa denger. Kejadian ini adalah kejadian paling berkesan di awal pertemananku dengan Maha yang tak pernah

Ekspresif. Dia gampang ketawa, gampang nangis, gampang marah, gampang reda marahnya, gampang menerima kritik dan satu lagi yang aku suka, gampang berbuat aneh. Kalau lagi kangen pacarnya yang jauh, Maha sering berbuat aneh, goyang-goyang nggak jelas, nyanyi sambil joged, ada-ada aja gayanya. Itulah yang bikin aku sering kangen sama Maha.

Kami sering ngobrol sampe pagi, padahal tiap hati ketemu dan ngobrol tiap ada kesempatan. Bahkan kadang lagi sama-sama bikin tugas aja sempet ngobrol. Apalagi kalau salah satu dari kami pulang kampung, ketemu lagi pasti langsung nggak berhenti cerita. Menikmati hujan dengan kopi hangat di kamar. Tidur nggak tahu waktu dan nggak tau malu di hari libur. Aku yang nggak bersahabat dengan malam biasanya tidur duluan sedangkan Maha yang nggak bersahabat dengan pagi bangunnya waktu terik matahari nyaris di tak membentuk bayangan. Sarapanku udah luntur alias udah laper lagi yang akhirnya tidur waktu Maha bangun. Kami baru keluar cari makan bareng sekitar jam 3 karena kelaparan tingkat akut.

Kalau lagi suntuk, kami jalan-jalan nggak jelas. Kadang ke mall, sekedar makan atau beli es krim atau makan jagung naga di widuran. Ngomong-ngomong soal jagung naga, pertama kali Maha ngajak aku makan jagung bakar super pedes itu waktu di mulutku ada 3 sariawan yang berhasil buat aku nangis (tapi jagungnya tetep habis, hehe). Jadi ketagihan setelah itu, walaupun pedes tapi manteb apalagi kalo lagi badmood. Gantinya marah-marah mending makan jagung naga, tapi habis makan jagung naga, nggak afdol kayaknya kalo aku nggak pake kentut-kentut di malam buta dan mules.

Banyak hal gila yang kami lakukan bersama. Kalau deket cewek mungil pacarnya calon perwira laut ini, bawaannya pengen ketawa. Dia selalu membawa keceriaan dalam setiap suasana, Maha selalu bisa menghidupkan suasana dimanapun berada. Kemana aja sama dia, asik aja bawaannya. Makanya banyak orang yang iri sama dia, kayaknya nggak pernah punya masalah. Bawaannya seneng aja.

Bukan berarti dia nggak pernah punya masalah, Maha juga menghadapi ujian. Ketika kami ngobrol sebelum tidur di malam buta, dia bilang kalau kayaknya dia akan dapat ujian lewat ayahnya yang sudah mulai terjangkit penyakit di ginjalnya tapi masih nggak mau mengurangi kopi dan rokok. Nggak lama, di penghujung Ramadhan 2009, Maha ditelfon untuk segera pulang karena ayahnya masuk Rumah Sakit. Dua adiknya juga terjangkit Thypus yang harus dirawat di Rumah Sakit. Maha pulang pagi-pagi buta dengan wajah yang sangat khawatir.

Katanya ayahnya terjangkit Demam Berdarah, tapi tubuhnya tak mampu melawan penyakit tersebut hingga beliau meninggal. Maha yang menjaga adiknya di Rumah Sakit Majenang belum sempat bertemu ayahnya sejak pulang hingga beliau meninggal. Ibu yang menjaga ayah di Rumah Sakit Purwokerto. Namun, Maha sempat memandikan jenazah ayahnya. Aku yang pagi-pagi buta mendapat sms dari Maha, langsung bergegas pulang, mengejar bus pagi ke Majenang karena nggak banyak yang kesana karena bus berikutnya bakalan tengah malem sampe Majenang. Dalam keadaan begini nggak mungkin aku minta jemput maha malem-malem buta. Kuliah terakhir hari ini terpaksa kutinggalkan. Sayang, ternyata hanya selisih sepulu h menit aku sampai di terminal Bawen ketika bus jurusan Semarang-Tasik berangkat. Akhirnya Cuma bisa nelfon Maha. Suaranya terdengar begitu tegar, biacaranya lancar. Aku kaget mendengarnya.

Ayahnya meninggal tepat tdua hari sebelum Idul Fitri, entah apa yang dirasakan Maha saat itu. Lebaran pertama tanpa ayah, dua adiknya tergeletak di Rumah Sakit dan mereka masih duduk di bangku SMP dan SD.

Kami bertemu setelah lebaran, Maha bercerita banyak tentang meninggalnya ayahnya. Sosok yang sangat menginspirasinya, beliau banyak memberikan filosofi kehidupan, beliau yang mendidiknya dengan disiplin yang keras telah membuat Maha menjadi pribadi yang benar-benar kuat. Tak ada air mata. Aku ingat satu kata-katanya ketika dia seperti tak percaya ayahnya yang sangat kuat di matanya tergolek tak berdaya. Bahkan Maha sempat berniat ‘break’ kuliah karena memikirkan kedua adiknya yang masih kecil dan ibunya butuh Maha berada di sisinya karena beliau masih sangat rapuh. Ibu butuh waktu yang cukup lama untuk bisa mengikhlaskan kepergian ayah. Berat badan beliau bahkan sampai turun dan sering kali menceritakan ayah ketika Maha pulang, beliau sering kangen pada ayah. Seperti belum siap ditinggalkan suami tercinta yang selama ini ada dan sangat menyayangi beliau.

Maha harus bisa menjadi pengganti ayahnya, partner ibu untuk mengurus adik-adik dan urusan rumah tangga yang lain. Maha yang sejak kecil sudah ditempa dengan disiplin yang keras dari ayahnya menjadi semakin dewasa. Waktu membuatnya menjadi pribadi yang kuat dan bijak. Namun, ia tak pernah membuat keadaan itu menjadi beban. Ia masih tetap bisa menikmati masa mudanya meski beban fikirannya semakin banyak. Ia masih seperti dulu, masih bisa melakukan hal-hal aneh dan gila, meski sesekali dia cerita kalau dia sangat rindu ayahnya. Sesekali dia menangis di pagi hari ketika ingat kalau dia sudah tak punya ayah, itupun hanya sebentar dan dia menyadarkan dirinya ‘live must go on’.

Aku belajar banyak tentang ketegaran darinya, bagaimana menjalani hidup dengan tidak menyesali keadaan, tapi optimis menjalani masa depan. Menangislah ketika memang harus menangis, tapi jangan terlalu lama, segera tersadar dan tersenyum menatap masa depan karena masa depan itu dibangun dari sekarang.

Maha, dialah yang paling banyak tahu tentangku. Hingga ketika aku mengalami cobaan yang cukup berat, hanya dengannya aku bisa menceritakan semuanya, hanya dengannya aku bisa menangis dan hanya dengannya aku merasa nyaman mengungkapkan semua isi hatiku. Dia tahu apa yang kurasakan bahkan tanpa aku mengatakannya. Dia banyak menghiburku dan memberiku kekuatan. Maha sering mengajakku jalan-jalan ketika tahu aku sedang badmood, bad day, bad feeling sebelum aku bilang.

Sebenernya nggak Cuma aku yang nyaman curhat dengannya, banyak yang nyaman curhat dengannya meski baru kenal. Mungkin di jidatnya dia tertulis, “tong sampah curhat. Bisa dipercaya”. Makanya banyak yang pengen curhat tiap kali lihat mukanya Maha. Dan inilah satu lagi yang kupelajari dari Maha, lihatlah semua dari sisi positifnya maka kita akan punya banyak teman. Maha tak pernah membedakan sahabat, teman yang sudah lama atau teman baru dalam membantu, dia akan membantu dengan sepenuh hati meski terkadang harus mengorbankan kepentingannya sendiri. Bukan balasan bantuan atau ucapan terimakasih, tapi kepuasan telah membantu orang lain itulah imbalan yang dicarinya. Ia membantu tanpa berfikir panjang dan habis-habisan.

Yang nggak kalah penting, dialah ‘guru besar’ ku dalam urusan ‘cinta’. Banyak petuah yang membuatku menjadi semakin bisa bersikap untuk mengatasi kegalauan karena cinta. Terimakasih ibu guru...hoho...tapi sebenarnya pelajaran tentang masalah percintaan masih belum aku kuasai dengan baik dan benar. Sampai sekarang masih butuh konsultasi. Saya memang tidak pandai soal ini *shy.

Sahabatku ini juga punya kemampuan yang sedikit membuatku takut. Sejak ayahnya meninggal entah bagaimana, dia semakin sering merasakan energi negatif maklhluk ghaib. Walaupun nggak sering melihat, dia sering mengatakan kalau di beberapa tempat dia merasakan ada banyak energi negatif makhluk ghaib. Pernah waktu kami naik motor lewat kampus, aku duduk di bangku belakang. Lagi asik-asiknya ngobrol, Maha bilang, “nanti aku ceritain neng, aku lemes”. Perasaanku udah nggak enak, pasti berhubungan sama sensitivitasnya yang sedikit menakutkan. Bener aja, sampai di kos, dia baru cerita kalau lihat pocong nggantung di pohon depan Fakultas MIPA. “Aku kira pocong tuh setinggi manusia, ternyata Cuma sebesar guling ya”.

Maha sering merasa terganggu dengan kemampuan over sensitive nya itu, sampai akhiranya aku menyarankan untuk dia menghafal ayat kursi untuk menangkal energi negatif yang tersalur yang katanya membuatnya tidak nyaman. Malah dijawab, “Nanti kalo aku ganggu malah mereka makin ganggu aku”. Aku bingung mendengar jawabannya, ternyata yang dimaksud kayak di tivi-tivi itu. “nanti kalau dibacain ayat setannya kebakar”. Spontan aku ketawa gulung-gulung di kasur sambil pegang perut. “Nggak gitu juga kaleee neng”. Dan sampai sekarang aku masih ketawa kalau inget perbincangan kami malam itu.

Yang nggak kalah lucu lagi waktu kami merumuskan berbagai persamaan komik yang dibaca Maha dengan sahabat-sahabat kami. Waktu itu Maha lagi seneng baca komik ‘Kungfu Komang’. Dari karakter-karakter yang ada di sana, kami merumuskan Maha = kongja (gadis kecil yang gampang dan suka mukul orang kalau lagi marah, suara teriakannya memekakkan telinga, pokoknya intinya cewek mungil yang tangguh dan perkasa). Aku disamakan sama Nona Wamingho (ilmuwan cantik yang sering gagal bikin penemuan, kalem dan kadang-kadang o’on), Komang = Allan (kocak, sok, kepedean dan sering bertindak bodoh dan gila). Dewo = ninja ring (mau enaknya sendiri, karena dia robot, dia sering memisah-misahkan bagian tubuhnya untuk dibawa teman-temannya biar nggak susah nyebrang dan nggak capek, konyol). Masih banyak lagi rumus-rumus gila yang lain yang kami rumuskan, tapi lupa. Udah lama banget. Dan, kegilaanku makin terasah dengan keberadaan Maha. Sebenernya aku ada bakat menggila, Cuma terselubung. Kalo ketemu yang sama-sama suka menggila, baru deh ketahuan bakat menggilaku (gila bukan dalam arti yang sebenarnya). Dan Maha sering jadi kambing hitam menulari virus kegilaan padaku yang lugu dan pemalu kata Allan (sahabat Maha).

Terlalu banyak kejadian indah tak terlupakan bersamanya yang tak pernah habis ditulis, yang pasti dia takkan terganti. Persaudaraan kami akan selalu ada di hati. Terimakasih atas persaudaraan yang indah ini, sahabat.... Kau akan selalu menjadi bagian yang penting dalam hidupku.
*versi kangen banget sama Kongja.
Ini nih kegilaan kami

ini kegilaan di Taman Jurug. main ke Taman Jurug (kebun binatang) berdua, dengan tujuan nggak jelas cuma numpang foto. 


ini waktu di Majenang, kunjunganku ke rumah Maha. Terakhir kali bertemu Almarhum. semoga amal ibadah almarhum diterima di sisiNya. Amiiin... (kata-kata almarhum yang masih keinget sampe sekarang: disekolahin jauh-jauh kok kerjaannya tidur di kos. aku sama Maha cuma nyengir, beliau tahu kami sama-sama doyan tidur).
 foto di tengah jalan. *nggak malu dilihatin banyak kendaraan yang 

sebelum berangkat ke Wonosobo, rumah neneknya Maha, sempet menggila di depan cermin depan kos. 

ini kegilaan terakhir kami sebelum aku pulang ke Lombok, nonton SIPA yang spektakuler. 


Comments