Setengah Pulau di Utara Lombok


Hari itu tanggal 1 Oktober 2011. Hari sabtu saat aku berniat menemani teman menikmati pulau eksotis yang sekarang tempatku tinggal. Kian, sahabat dari Ian (Ian sahabatku sejak SMA) dan Mas Gugun menginap di Mataram pada malam pertama dengan menikmati Senggigi dan Pantai Kuta Lombok di hari kedua yang malamnya menginap di Gili Trawangan. Padahal aku malah belum ke Gili Trawangan dan Pantai Kuta (mupeng...).

Kian minta ditemani ke air terjun hari itu. Awalnya kami juga berniat sekalian beli oleh-oleh, tapi setelah kukonsultasikan dengan Kak Ewin tentang kemungkinan ke air terjun dan beli oleh-oleh, katanya harus milih salah satu. Nggak ada air terjun yang deket dan sejalan dengan tempat beli oleh-oleh. “Beli oleh-olehnya besoknya aja sekalian pulang,” kata Kian setelah kujelaskan kemungkinannya.

Aku dan Kak Ewin janjian di rumah jam 10 pagi. Karena nggak tahu jalan dan satu-satunya teman yang cukup akrab dan bisa diajak adalah Kak Ewin, jadi dialah yang jadi korban kurepotkan untuk menemaniku hari itu. Untungnya bisa, kalau nggak mungkin nggak bisa nemenin Kian. Maklum, anak baru. Hoho...#alibi. Kami sepakat ketemuan di Bangsal (penyebrangan ke Gili Trawangan) dengan Kian karena ke air terjunnya lewat sana jadi kalau ketemuannya di Mataram juga percuma.
Cap cus dari rumah jam 10 lebih dikit nunggu Kak Ewin ngabisin kue dan minumnya, perkiaraan sampai di Bangsal sekitar dua jam lagi. Aku dan Kian terus keep contact, memastikan kami bisa ketemu disana sekitar jam 12. Dia juga bilang kalau mau ada temennya yang mau ikut soalnya kemaren dia ada tamu di kantornya jadi nggak jadi nganter jalan-jalan. Rencana awal memang hari Jum’at Kian maen sama temennya yang kerja di BMKG Mataram dan Sabtunya sama aku.
Dengan kecepatan lebih dari 70 km/jam di jalanan Lombok Timur – Lombok Barat yang nggak terlalu ramai kami berharap bisa sampai di tempat tepat waktu. Kami mengejar waktu karena katanya Senaru, desa tempat air terjun yang akan kami tuju, itu jauh banget. Ibu yang udah pernah kesana waktu aku masih tinggal di Jawa, katanya disana bagus. Kebetulan banget, aku juga belum pernah kesana, semoga nggak mengecewakan.

Memasuki kota Mataram yang mulai menyengat meski udah pake jaket lengkap sama sarung tangan, kaos kaki dan slayer, Kak Ewin tanya “Mau lewat pantai apa lewat hutan?”.
“Jauhan mana?”
“Sama aja sih”
“Kalau pantai lewat senggigi itu ya?”
“Iya”
“Hutan aja deh,” berharap lewat gunung lebih adem daripada pantai yang terik. “Lewat pusuk ya?”
“Iya”

Pusuk, sebutan untuk tikungan di puncak bukit.
Memasuki hutan yang masih alami dan banyak kera, terik di kota berganti dengan kesejukan angin yang menembus dedaunan. Sinar matahari terhalang dedaunan terasa meneduhkan. Semuanya masih alami, sama dengan jalan ke pusuk di Lombok Timur. Inilah yang membuat Lombok terlihat indah. Subhanallah...

Kak Ewin masih melaju dengan kecepatan diatas 75 km/jam untuk mengejar waktu. Sms dari Kian menanyakan keberadaan kami baru masuk setelah beberapa menit yang lalu nggak ada signal im3.
“Kita sampai mana Kak?”
“Sebentar lagi nyampe kok”

Kami sampai di puncak bukit, melihat pemandangan di depan yang Subhanallah indah. Gunung-gunung terlihat menjulang, di antara dua gunung itu terlihat laut yang membentang dan hamparan daratan Gili Trawangan. Gili Trawangan letaknya paling jauh diantara dua gili yang lain, Gili Air dan Gili Meno. Kata Kak Ewin, dulu kapal penyebrangan ke Gili Trawangan harus melewati belakang Gili Meno dan Gili Air karena kalau langsung ke Gili Trawangan yang lewat depan arusnya terlalu berbahaya. Diantara ketiga Gili itu, Gili Trawangan memang menjadi pulau paling padat karena paling besar dan paling ramai dengan Bungalow dan tempat-tempat makannya. Gili itulah yang menjadi daya tarik tersendiri di pulau ini. lombok memang memiliki cukup banyak Gili, di Lombok Timur pun sekarang sedang dirintis untuk mengembangkan wisata Gili. Walaupun belum seramai Trawangan, tapi keindahannya nggak kalah.

Melewati lereng gunung yang kering dan gersang di samping kanan kiri jalan, debu mulai terasa beterbangan dan terik menyengat. Kami sampai di di perempatan Bangsal, Kian yang sebelumnya mengabarkan kalau dia ada di warung makan, sudah menunggu di depan warung makan. Kami langsung melaju, mencari masjid terdekat untuk sholat sebelum melanjutkan perjalanan panjang.
Katanya sih masih lebih jauh jarak Bangsal – Senaru daripada Bangsal – Mataram. Padahal perjalanan Mataram – Bangsal aja sejam, trus seberapa jauh lagi? Whatever lah ya...udah terlanjur basah, naggung mau balik lagi juga nggak mungkin. Ke lombok timur lagi juga jauh. Hajar bleh...

Kami pun melanjutkan perjalanan melalui pesisir pantai dan pinggir tebing yang gersang dan kering. Debu beterbangan di tengah harmoni pemandangan yang indah. Jalanan yang mulus sesekali diselingi dengan lubang-lubang kecil dijalan sehingga kami harus mengurangi kecepatan. Terik yang mengiringi perjalanan dihiasi angin semilir yang berhembus.  Kami melewati pelabuhan pertama di Lombok yang udah nggak fungsi lagi. Kata Kak Ewin, pusat penyebaran agama Islam dimulai dari pelabuhan itu. karena letaknya yang kurang strategis maka pelabuhan dipindah ke Lembar dan sekarang pelabuhan itu hanya berfungsi sebagai pelabuhan nelayan biasa.

Sampai di kaki Senaru, udara sudah mulai sejuk. Jalanan mulai menanjak, hijau mulai merebak. Di kanan kiri jalan berderet penginapan. Tempat ini memang biasa dijadikan sebagai tempat istirahat sepulang naik rinjani. Beberapa orang terlihat sedang istirahat di Gazebo yang disediakan di depan penginapan.

“Tuh kayaknya habis naik gunung” kata Kak Ewin sambil menunjuk sekelompok lelaki muda dengan carrier menumpuk tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Sampai di tempat parkir, kami langsung meluruskan pantat yang gempor. Kak Ewin ngebor ga jelas sambil nyengir. Semua meregangkan badan. Kian yang bawa tas besar menitipkan tasnya di sebuah warung dekat tempat parkir. Karena katanya ada yang dagang di bawah deket air terjun kami pun nggak beli minum ataupun makanan. Hanya sebotol aqua dan beberapa makanan yang dibawa Kian.
“jauh nggak sampe air terjunnya?” tanya Kian.
“Nggak kok” jawab Anas yang udah pernah kesana sebelumnya.

Kami memasuki loket penjualan tiket yang ternyata Cuma bayar Rp 2.500 / orang. inilah enaknya jalan-jalan di Lombok, murah meriah tapi indah.

Anak tangga menurun berada di depan mata. Yang terbayang justru naiknya nanti, gimana capeknya, tapi nggakpapa, demi air terjun yang kata orang bagus banget. #penasaran mengalahkan segalanya. Semangat kami masih di puncak ubun-ubun, pengen cepet sampai. Jalanan berlumut di pinggir-pinggirnya membuat kami sedikit berhati-hati agar tidak terpeleset. Hanya sekitar seperempat jam, air terjun indah itu terlihat.








Inilah Sendang Gile. Tinggi sekali. Benar kata orang, indah memang.
Di tengah kehisteraan memandang indahnya air terjun, Kak Ewin malah bingung cari yang dagang kopi anget. Daritadi dia bilang pengen ngopi di deket air terjun ternyata nggak ada yang dagang. Kasian....

Menikmati pemandangan di depan kami, Kian dan Mas Gugun mengabadikannya. Sayang banget aku nggak bawa kamera, jadi numpang deh di kameranya Kian. Sejenak menikmati air yang jatuh dari tempat yang cukup tinggi itu, kami melihat beberapa orang muncul dari arah jalan setapak.
“Mereka dari mana?” tanyaku ke Kak Ewin.
“Ada air terjun lagi di sebelah sana” Kak Ewin menunjuk arah jalan setepak itu.
 “Jauh nggak?”
“Lumayan sih, tapi dua jam cukup kok buat pulang pergi sama mandi. Nggak nyampe malah” kata Anas.

Kami pun jadi penasaran, mumpung sampai disana, kenapa nggak dicoba. Pasangan penganten baru yang kami takutkan kecapekan ternyata lebih antusias dibanding yang lain. Anas, temen Kian, cerita kalau dia pernah hampir tenggelam di air terjun yang di sana. Katanya lebih bagus dan lebih besar. Kami makin penasaran.

Kami pun sepakat. Jalan...

Melintasi hutan yang masih alami, nafas kami makin memburu. Dinginnya udara masih belum membendung keringat yang bercucuran. Namun, semangat masih belum mengendurkan semangat kami. Setelah keluar dari jalan setapak di tengah hutan, kami bertemu anak tangga lagi. Kali ini lebih tinggi. Mataku terlbelalak, berharap itu Cuma fatamorgana trus waktu sampai di anak tangga terbawah, berubah jadi jalan landai lagi. Sayangnya itu Cuma khayalan. Anak tangga dari semen itu sudah mulai lumutan, pegangannya pun sudah rusak dan digantikan oleh bambu panjang. dengan nafas memburu kami menaiki satu persatu anak tangga. Di puncak anak tangga terakhir kami harus melewati selokan yang dibuat jalan seperti rel kereta api, yang dibuat di atas sungai (kayak di deket rumah Ambarawa, jadi kangen). 

Melompati satu demi satu lubang yang beraturan sambil melihat aliran air selokan yang bening. Aku berhenti sejenak di pinggir sungai, asal air selokan, menunggu Kian yang masih tertatih digandeng Mas Gugun. Dia kelihatan takut. Nggak lebih dari dua menit, Kian sudah sampai dan kami malanjutkan perjalanan. Kali ini ditemani riak air sungai dari air terjun. Di samping sebuah bendungan, tertempel sebuah papan bertuliskan “dilarang berbuat asusila; di sebuah pohon. Anas yang pertama melihatnya langsung memanggil kami untuk membacanya. Benar-benar menggelitik perut kami.

Melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat karena sudah mulai terdengar jelas gemericik air yang jatuh. Kami pun sampai di sebuah sungai yang cukup lebar dengan bebatuan besar yang harus dilewati. Track kali ini benar-benar seru, penuh tantangan, pengalaman dan penasaran. Kayak lagi outbond waktu pramuka, pake lewat sungai segala. Dengan kehati-hatian ekstra, kami pun berhasil menakhlukkan sungai dan bebatuannya itu.

Keluar dari sungai, lagi-lagi ketemu hutan dan nggak sampai lima belas menit, kami tiba di tempat yang membuat kami penasaran. Pertama kali melihat air yang jatuh itu, hanya satu kaya yang terucap, “Subhanallah”.

Amazing, perjalanan panjang dan penuh liku terbayarkan dengan pemandangan indah itu. Lebar dan tinggi.

 







Inilah indahnya Tiu Kepep. Katanya Tiu berarti tiup sedangkan Kelep dalam bahasa sasak artinya terbang. Jadi arti Tiu Kelep itu tiupan yang membuat terbang.

Jarak 5 meter dari air terjun saja cipratan airnya masih terasa, muka dan baju kami basah semua. Air sedingin es membasahi wajah kami, itu menggantikan cucuran keringat setelah perjalanan yang cukup jauh.

Bebatuan besar, debiat air dingin yang jatuh, hijaunya dedaunan, semuanya indah. Harmoni yang memanjakan mata. Kata presenter jalan-jalannya Tran7 waktu disana, dosa besar kalo nggak mandi.

Setelah puas foto dan nunggu Kian mandi, kami pun pulang. Melewati track yang sama lagi dan kecapekan lagi. Menaiki anak tangga menuju gerbang masuk terasa sangat melelahkan. Dua kali Kian mengajak kami istirahat padahal pas berangkat ke Tiu Kelep tak ada kata istirahat, yang ada hanya semangat.

Sampai di warung tempat menitipkan tas, kami kalab. Makan popmie, minum, beli makanan kecil. Kian, Mas Gugun dan Anas nginep di rumah jadi kami pulang lewat jalan yang berbeda. Yang lebih dekat ke Lombok Timur meski kata ‘dekat’ itu bukan dalam arti yang sebenarnya.

Kami pun melanjutkan perjalanan setelah setengah jam beristirahat. Kami melewati desa Bayan, disana terdapat Masjid pertama yang dibangun di Lombok. Masjid yang masih terbuat dari kayu dan atap alang-alang itu sudah tak pernah digunakan lagi karena bangunannya sudah terlalu tua. Di sampingnya juga masih banyak terdapat beberapa rumah adat. Sayangnya kami tidak bisa mampir masuk kesana karena sudah terlalu sore. Kak Ewin menjelaskan track naik gunung melewati daerah itu.

Kami sampai di pinggir pantai Obel-Obel. Daerah pantai yang panas dan gersang di sisi kiri dengan jalan berliku ditemani pemandangan pegunungan di sisi kanan. Jalan berliku menurun yang berliku, terlihat hamparan laut di depan dengan sebuah gili tampang mengapung di atasnya. Di sebelah kanan, terlihat deretan pegunungan yang hijau. Tempat kesukaanku dan Kak Ewin. Pemandangannya selalu menimbulkan rasa tersendiri, bahagia yang tak terkatakan, syukur yang terk berujung, puji pada keagungan keindahan ciptaanNya.

Sampai di pantai Obel-Obel, Kian meminta berhenti sebentar, mengabadikan keberdadaan mereka disana. Kami pun istirahat sejenak, menikmati hembusan angin pantai yang bersih. Setelah puas mengambil gambar dengan kamera digitalnya, kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah. Melewati Sambelia, Lombok, Pringgabaya, Aikmel, Lenek, Anjani, kami baru sampai di Masbagik.

Motor matic yang dipakai Kian untuk ketiga kalinya mengisi bensin di daerah Lombok (nama Kecamatan) sedangkan motor Kak Ewin dan Anas masih belum mengisi sejak berangkat.
Kami sampai di rumah jam setengah delapan malam disambut nasi plecing kangkung, urap gerangggang bebiru (rumput laut) dan tahu goreng yang lembut dan gurih.

Lengkap sudah perjalanan indah kami. Seharian baru makan waktu sampai di rumah. Eksotisnya pulau ini membuat perut tak terasa lapar. Hoho...

Setelah diliat di peta Lombok, aku dan Kak Ewin sudah mengitari setengah pulau Lombok. Wow...jauh juga ternyata. Gempornya kaki dan pantat tak mennyurutkan niat untuk mengunjungi air terjun itu lagi. Semoga bisa kesana lagi bersama suami....Amiiin...:)

Comments