40 Tahun Bunga itu Masih Mekar

“Tidak bisa,sayang” tangan lembut itu membelai rambutku memberikan sentuhan ketulusan.
Mata itu masih memancarkan cinta. Dikelilingi kulit yang sudah mulai keriput, wajah ayu yang masih terlihat dibalik kerut-kerut yang mulai tumbuh disana terbalut senyum tulus penuh keikhlasan.
Perpisahan yang dipaksakan empat puluh tahun silam tak membuat cinta itu sirna. Bunga itu masih tumbuh dengan indah disana. Di sudut yang tak terjangkau oleh siapapun. Bunga yang selama ini tak pernah dirawat dan disingkirkan juga dikucilkan diantara bunga-bunga lain yang tumbuh di taman, ia masih ada di sana. Masih seindah saat dicampakkan dan masih semerah saat disingkirkan ke sudut.
Tak ada yang menyangka bunga itu masih tumbuh selama empat puluh tahun meski tak dirawat dan dipandang sebelah mata. Cinta eyang putri dan eyang kakungku.
Empat puluh dua tahun silam, bunga itu mulai tumbuh di hati mereka masing-masing. Dua anak manusia di sudut Lombok Timur dipertemukan di sebuah rumah yang sedang didirikan. Eyang kakung yang saat itu masih berumur dua puluhan membantu ayahnya yang seorang tukang kayu mendirikan rumah pesanan seorang tetangga yang mendirikanya di samping rumah kembang desa di desa Lenek. Meskipun berasal dari keluarga biasa saja, tapi gadis desa itu dilamar banyak pria yang memiliki cukup harta untuk dijadikan mahar pernikahan apabila sang gadis mau.
Namun, eyang putri muda terlanjur jatuh hati pada eyang kakung muda yang hampir setiap hari dilihatnya.
“Tapi eyang buyutmu tidak setuju. Beliau ingin eyang menikah dengan pemuda kaya yang meminang eyang. Eyang tetap bersikeras untuk menikah dengan eyang kakungmu sampai eyang jatuh sakit karena tidak ingin berpisah dengan eyang kakungmu. Akhirnya eyang buyut menikahkan kami dengan terpaksa. Eyang hidup tenang di Masbagik, di rumah eyang kakungmu bersama keluarga besar yang menerima eyang dengan sangat baik. Mereka adalah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Eyang senang berada di antara mereka.  Setahun kemudian Bundamu lahir, putri pertama yang juga cucu pertama dari keluarga kami berdua,” sesekali eyang meneguk teh hangat yang baru saja kubuatkan untuknya. Beliau terlihat sangat bahagia menceritakan kiasah cinta masa lalunya yang sampai sekarang masih terukir di hatinya. “Eyangmu itu bijaksana, sabar dan apa adanya, itu yang eyang suka darinya,” senyumnya menyembul dari gurat kecantikan yang tergambar jelas di wajahnya.
“Bahagia sekali saat itu. Kami merasa keluarga kami sangat sempurna. Ibumu menjadi rebutan, diminta kesana, diminta kesini. Mereka semua ingin memberi nama padanya hingga akhirnya nama yang dipakai adalah nama dari orang tua eyang kakung. Kami fikir, eyang buyutmu sudah merestui pernikahan kami, ternyata kami salah. Beliau memaksa kami untuk berpisah disaat umur bundamu masih belum genap lima tahun. Kami pun tak bisa berbuat banyak saat eyang buyutmu mulai mencoba memisahan kami. Eyang kakung sampai masuk penjara karena fitnah yang dituduhkan eyang buyut padanya. Eyang buyut kakung berusaha membela kami, tapi beliau tak punya banyak kekuatan karena keinginan ibu sangat kuat. Beliau tetap ingin memisahkan kami.
Daripada melihat orang yang kita sayangi menderita, eyang pun memutuskan untuk berpisah dengan eyang kakungmu. Kesabaran dan ketulusannya membuat eyang sangat sedih meninggalkannya. Namun hidup harus terus berjalan sampai kami memiliki keluarga lagi, masing-masing dan memiliki keturunan,”
Eyang putri tersenyum bahagia. Bahagia karena pernah bersama eyang kakung dan bahagia karena sudah merasakan hidup bersama orang yang disayanginya meski tak lama. Namun, aku bisa merasakan bahagia itu, aku bisa merasakan wangi bunga yang masih ada di di hatinya, aku bisa merasakan atmosfer cinta itu masih ada dari pancaran matanya. Pancaran mata ketulusan yang masih disimpannya selama berpuluh-puluh tahun mengarungi hidup.
setelah Ninik (panggilanku untuk ayah tiri Bunda) meninggal, eyang putri tidak menikah lagi. Penyakit diabetes yang menggerogoti tubuhnya yang semakin terlihat tua. Komplikasi membuat beliau terlihat lebih tua dari umurnya. Tangan kurus banyak kriput itu membelai rambutku dengan lembut. Wanita yang kata Bunda tak pernah marah itu selalu tersenyum dalam keadaan apapun. Beliau berjuang untuk tetap kuat demi putra bungsunya yang masih duduk di bangku SMA ketika ninik meninggal.
Aku masih ingat ketika eyang putri dan eyang kakung berdua datang ke rumah kami di Semarang saat sunatan Raden, adik laki-lakiku. Mereka terlihat sangat serasi. Meski saat itu eyang kakung masih didampingi ibu tiri Bunda yang sekarang sudah memberikan enam orang putri, tapi mereka tetap terlihat serasi. Terpancar kebahagiaan di wajah Bunda melihat kedua orang tuanya. Seperti keluarga utuh yang sangat diidamkannya selama ini.
Tahun lalu, ibu tiri Bunda meminta eyang kakung menceraikannya karena kesalahan beliau yang merasa sudah tridak pantas untuk eyang kakung. Karena tak kuasa menahannya, eyang kakung pun menceraikan beliu.
“Suruh eyangmu cari yang lain aja, eyang putri udah sakit-sakitan, nggak bisa ngapa-ngapain,”  beliau kembali membelai rambutku. Menyandarkan kepala di pangkuannya sangat meneduhkan. Kata demi kata yang terurai dari kelembutan dan kesantunan katanya mampu menyiratkan simpati dan cinta yang dalam pada ayah kandung bunda.
“Tapi eyang kakung maunya sama eyang putri, katanya kalo nggak eyang putri nggak, “ jawabku sambil nyengir.
“Nanti eyang malah ngerepotin, bukannya bantuin,”
“Kata eyang kakung, yang penting ada yang diajak ngobrol aja. Udah ada kami yang ngurusin rumah, ada eyang duah cukup kok, nggak perlu ngapa-ngapain,”jawabku, “Bunda juga pengen liat oang tuanya berkumpul lagi, eyang”
Peyakit yang menggerogoti tubuh beliau yang membuat beliau tak bersedia menerima pinangan eyang kakung. Meski beliau tak mengelak kalau masih ada rasa yang sama, tapi beliau tak ingin merepotkan lebih banyak oang karena penyakitnya yang semakin hari semakin membuat tubuh rentanya makin lemah.
Waktu tak menggerogoti cinta mereka. Bunga itu masih tumbuh meski tak pernah dirawat, ia tumbuh dengan ketulusan dan kesabaran. Cinta tak mengenal kata terlambat, cinta mencari jalannya sendiri, cinta memilih jalannya untuk bahagia. Inikah cinta sejati? Empat puluh tahun lebih masih tumbuh indah tanpa dirawat. Cinta tak mengenal usia karena cinta ada di setiap hati manusia. Cinta tak bisa dipaksakan dan tak bisa dimusnahkan dengan mudah.
Mataku terpejam, terlelap di pangkuannya. Mimpi indah tentang eyang putri dan eyang kakung. Mereka kembali bersama di mimpiku. Bersama merajut cinta mereka kembali. Memupuk dan menyiram bunga yang sempat mereka campakkan. Membuat taman indah yang lebih indah dari sebelumnya. Lebih penuh warna dengan bunga-bunga lain yang tumbuh di taman itu dari putra-putri dan cucu-cucu mereka. Tanpa sadar, senyum tersunging di mulutku, eyang putri tersenyum melihatku sambil masih membelai lembut rambutku di bale-bale belakang rumah yang langsung menghadap ke sawah.

Comments