Mbah Seno

Jamper merah itu sudah lusuh. Tak jauh beda dengan celana kain hitam sebatas betis yang sepertinya sudah terlalu lama dipakai. Tubuhnya kecil terbungkus pakaian lusuh yang sudah saatnya diganti. Meski hanya melihatnya dari belakang, tapi aku tahu tubuh yang dibalut pakaian lusuh itu adalah tubuh renta. Dari dalam bus yang sedang berhenti di depan Rumah Sakit Kasih Ibu Boyolali saat perjalanan pulang ke Ambarawa senja kemarin, mataku terus terpaku padanya.
Tubuh renta itu gemetaran sambli menata dagangan dalam gerobak kecil yang bisa dipindah-pindah. Berjualan sekedarnya untuk menyambung hidup menjadi pilihannya daripada mengemis di pinggir jalan, mengharap iba orang lain. Tubuh renta yang telah gemetaran itu tetap mau berusaha. Seorang anak laki-laki kecil duduk di bangku panjang yang ada di sebelah gerobak tua yang mungkin sudah bertahun-tahun menemani kakek tua itu mengais rezeki.
Anak laki-aki kecil yang duduk di bangku panjang itu mengamati setiap kendaraan yang lewat di depannya dengan sedikit heran yang terpancar dari raut mukanya. Senang bercampur kagum dengan terus mengamati kendaraan yang lalu lalang di jalan raya dan mobil yang keluar masuk Rumah Sakit. Mungkin, kakeknya tak memperbolehkannya beranjak dari bangku itu, makanya si anak kecil hanya bisa duduk sambil mengubah tengokan kepalanya ke kanan lalu ke kiri, mengikuti arah kendaraan yang sedang diamatinya. Dia seperti sedang berada di toko mainan yang menjual mobil-mobilan yang bias jalan sendiri.
Kakek itu membalikkan badannya, melihat bus yang sedang berhenti di depan gerobak tuanya. Tubuhnya yang hitam kurus kering terbalut jamper sampai  ke kepalanya. Mungkin, hawa di luar dingin sekali makanya kakek itu memakai penutup kepala, tapi saat aku melihat ke bawah, semakin terlihat kontras. Celananya hanya sebatas betis, tipis dan bagian bawahnya sudah sedikit robek. Sandal jepit yang dipakainya membuat dingin lebih mudah menusuk tulangnya.
Air mataku menetes tanpa kusadari. Masih banyak orang yang tak seberuntung aku. Meski aku juga sedang ditimpa musibah, tapi setidaknya aku pernah merasakan hidup berkecukupan sebelumnya. Sekarang pun, aku masih bisa melanjutkan kuliah meski harus dengan berdagang makanan tiap berangkat kuliah untuk uang saku. Ibu nggak punya uang buat untuk memberiku uang saku. Padahal sebelumnya, aku selalu diberi uang saku lebih dan bisa kutabung tanpa susah payah berjualan seperti ini. Di tengah lilitan hutang yang menimpa keluargaku dan membuat badan ibu jadi kurus kering, aku masih bisa tidur di kasur empuk dan tidak kedinginan. Masih banyak pakaian hangat dan jauh lebih layak pakai dibanding yang dipakai kakek dan cucunya itu.
‘Ya Allah…Ya Rabb…mungkin kami memang kurang bersyukur hingga terjebak hutang sebanyak ini, Astaghfirullahal ‘adzim….’ batinku.
‘Mereka yang hidup seperti itu setiap hari saja bersyukur, masih mau berusaha mencari uang halal, mengapa keluargaku yang sebenarnya diberi cukup rezeki masih merasa kekurangan sampai hutang bertumpuk-tumpuk dan sekarang nggak bisa bayar?’
Aku merasa menjadi manusia yang paling hina. Kurang mensyukuri nikmatNya yang tak sebanding dengan ketaatanku padaNya. Masih saja mencari kesenangan dunia yang lebih. Padahal, masih banyak orang yang jauh lebih sedikit diberi rezeki dari Allah, tapi mereka bersyukur dengan keadaan mereka.
Mbak, mriki kosong (Mbak, sini kosong)?” seseorang bertanya padaku sepertinya. Suaranya dekat sekali denganku. Kuusap air mataku secepatnya lalu memalingkan pandanganku ke arah yang berlawanan dan menyingkirkan fikiran-fikiran yang baru saja menghampiriku.
Seorang nenek berpakaian kebaya kuno dengan jarik (kain batik yang digunakan untuk bawahan orang jawa) dan membawa tenggok (seperti keranjang sampah besar dari anyaman bambu) menunjuk bangku sebelahku. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Nggih, mangga pinarak (iya, silakan duduk),
maturnuwun (terimakasih),
Nenek duduk sambil memangku tenggok entah berisia apa. Hanya plastik bening yang terlihat agak menyembul.
Badhe tindak pundi, Mbak? (mau pergi kemana, Mbak?)” tanyanya sambil membenahi posisi duuknya. Aku berusaha lebih merapat ke tembok agar nenek itu bisa duduk dengan nyaman.
Wangsul, Mbah. Wonten Semarang, (pulang mbah, ke Semarang),
Bau apek keringat dari tubuh nenek tua itu menyengat hidungku.
Sadean napa Mbah? (Jualan apa Mbah?)”
Wajah tuanya yang sudah banyak kerut, gurat-gurat ketuaan itu tersenyum. Senyum kemenangan seorang pejuang kehidupan yang menjalaninya dengan ikhlas.
Sadean sekul,sayur,  gorengan, jajanan, werni-werni  Mbak. Keliling Rumah Sakit mriku (jualan nasi, sayur, gorengan, makanan kecil, macem-macem Mbak. Keliling Rumah Sakit itu),” katanya sambil melirik ke arah Rumah Sakit Kasih Ibu yang terlihat dari jendela sebelahku.
Aku pun bercakap-cakap dengannya. Meninggalkan angan tentang kakek yang sejak tadi kuperhatikan. Mbah Seno (Mbah adalah sebutan bagi nenek dan kakek dalam bahasa Jawa), begitu nama nenek tua itu memperkenalkan dirinya padaku. Dia berjualan makanan keliling dari kamar ke kamar seluruh Rumah Sakit untuk menjajakan dagangannya. Setiap jam enam pagi dan jam tiga sore, Mbah seno berangkat dari rumah baik bus antarkota seperti ini pergi ke rumah sakit. Katanya, nggak ada angkutan kota yang lewat gang masuk rumahnya jadi dia terpaksa harus berdesak-desakan naik bus besar seperti ini.
Nggak jarang, sopir bus nggak mau berhenti melihat Mbah Seno yang menyetopnya. Bagi mereka, orang tua seperti Mbah Seno yang sudah tidak gesit dan ringkih itu akan merepotkan saja. Kalau naik lama, turunnya ya lama. Tapi, Mbah Seno nggak pernah marah ataupun mengeluh, dia tetap sabar menunggu ada bus yang mau membawanya sampai Rumah Sakit. Sekarang, setelah lima tahun berjualan seperti itu, ada bus langganan yang mau membawanya tanpa memungkut bayaran.
Mas Kondektur, mesakke kalih kula, turene damel imboh tumbas dagangan mawon artane, (Mas kondektur kasihan sama saya, katanya buat nambahin beli dagangan saja uangnya),” kata Mbah Seno polos.
Sekarang, dia sudah tak lagi membayar ongkos naik bus. Ternyata, bus yang kau tumpangi ini berhenti agak lama di depan rumah Sakit untuk menunggu Mbah Seno. Inilah buah kesabaran Mbah Seno. Setelah setahun berjualan dengan untung pas-pasan untuk makan sehari, dia tetap tak gentar berjuang.
Sing penting halal, Mbak (yang penting halal, Mbak),” katanya sambil menyunggingkan senyum ketegaran yang jauh lebih kuat dari tubunya yang mulai rapuh dan kulit keriputnya.
Matanya menyorotkan ketegaran dan kejujuran.  Aku malu padanya, dengan tubuh renta dan ringkih itu, beliau mau bekerja keras untuk mengais rezeki halal darinya dan menerimanya dengan ikhlas. Dengan untung sekitar sepuluh ribu sekali berjualan, Mbah Seno tetap bahagia. Senyum keikhlasan selalu mengembang di bibirnya. Sedangkan aku yang diberi banyak kenikmatan oleh Allah dengan dibeikan tempat tinggal yang layak, kasur empuk untuk tidur, bisa sekolah dengan uang saku yang lebih, sekarang bisa kuliah dan membeli apa yang kubutuhkan tanpa harus bekerja keras, tapi masi kurang bersyukur. Hutang menumpuk sampai tak bisa membayarnya, bahkan rumah dan tanah yang ayah punya nggak bisa menutup hutang yang melambung itu. Sekarang, kami terancam diusir dari rumah yang katanya akan dilelang untuk membayar utang. Aku sempat merasa menjadi orang paling menderita karena cobaan itu. Beberapa minggu ini aku murung, malas kuliah dan putus asa. Ketakutan akan kehidupan kami selanjutnya bagaimana kalau rumah itu benar-benar dilelang. Bagaimana aku kuliah? Bagaimana adik-adikku sekolah? Dimana kami akan tinggal? Aku takut. Aku takut tak mendapat rezekinya. Padahal karunia Allah tak terbatas, Allah Maha Kaya dan Maha Kuasa.
Mbah Seno saja bisa bertahan hidup seperti itu. Dengan tabah dan ikhlas, pasrah padaNya, dia dapat menjalani hidup dengan langkah pasti.
Jam pinten, Mbak?(Jam berapa Mbak?)”
Kulirik jam tanganku “Jam setengah enem, Mbah, pripun? (Jam setengah enam, Mbah. Kenapa?)”
Mboten napa-napa. Berarti taksih saged ndherek sholat maghrib sareng-sarang wonten mesjid riyin sakderengipun wangsul, (nggakpapa. Berarti masih bias ikut sholat maghrib berjamaah di masjid dulu sebelum pulang),”
‘Subhanallah…simbah yang setua ini masih rajin sholat berjamaah sedangkan aku? meski nggak pernah lupa sholat lima waktu, tapi jarang sekali sholat berjamaah di masjid. Sholat berjamaah di rumah bersama ayah saat pulang seperti ini, itupun Cuma mahgrib sama Isa saja,’
Mbah Seno kembali bercerita tentang kehidupannya. Saking asiknya ngobrol sama Mbah Seno, aku sampai nggak tahu kalau bus sudah melaju dari tadi dan sekarang sudah masuk terminal Boyolali. Seperti biasa, bus akan berhenti agak lama sambil menunggu penumpang yang lain dan menjaga jarak dari bus sebelumna yang baru saja berangkat biar nggak saling mendahului. Banyak pengamen dan pedagang makanan yang naik turun bus.
Ternyata kakek dan cucunya yang dari tadi aku amati itu suami Mbah Seno dan cucunya. Mereka sama-sama dipanggil Mbah Seno. Nama Seno sebenarnya nama suaminya, Suseno, tapi orang-orang sering memanggil mereka Mbah Seo kakung (laki-laki) dan Mbah Seno Putri (perempuan). Mereka sama-sama mengais rezeki di lingkungan rumah Sakit itu sejak putra semata wayangnya dan istri meninggal dalam kecelakaan kendaraan menuju Surabaya lima tahun yang lalu dan meninggalkan seorang putra yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Ya itu, anak kecil yang asik mengamati kendaraan, namanya Amin.
Sejak itu, Mbah Seno yang awalnya menggarap sawah warisan orang tua yang sempit menjual sawahnya dan memilih berjualan di depan Rumah Sakit dengan gerobag tua yang dibuatkan tetangganya dari kayu bekas. Mbah Seno kakung tidur di gerobak itu sehari-harinya, beliau baru pulang seminggu sekali dan nggak pasti hari apa. Cucunya dititipkan pada saudaranya yang mampu untuk menyekolahkannya, tapi dia sering kangen mbahnya makanya kadang ikut jualan Mbah Seno kakung dan tidur dalam gerobak sempit itu, baru paginya dijemput orang tua angkatnya untuk sekolah.
Mbah Seno kakung ternyata seorang Ustad dan guru ngaji. Dulu, ia sering menjadi imam di masjid dekat rumahnya (tempat Mbah Seno putri masih sering sholat berjamaah) dan mengajar ngaji anak-anak kecil tiap sore juga memberi kajian agama tiap pagi setelah sholat Subuh. Ia seorang takmir masjid, tapi setelah putranya yang setiap bulan mengirim uang untuk kebutuhan mereka sudah meninggal, Mbah Seno tak bisa mengandalkan hasil dari sawahnya. Itulah yang membuatnya memutuskan untuk berjualan di Rumah Sakit yang lebih bisa menghidupi kebutuhan dua orang tua renta itu.
Sekarang, Mbah Seno sering menjadi imam di Masjid Rumah Sakit Kasih Ibu. Setiap setelah Subuh, beliau juga masih sering memberikan kajian, membagi sedikit ilmu yang didapatnya saat belajar di pondok pesantren di kota Jombang saat masih muda dulu. Sampai sekarang, Mbah Seno masih tetap belajar dari buku-buku yang dipinjamnya dari penjual buku islami dekat tempatnya berjualan makanan kecil dan gorengan yang dititipkan orang-orang di sekitar Rumah Sakit atau sisa jualan Mbah Seno Putri.
Mbah Seno tak mau hidup dari belas kasihan orang lain meski banyak orang yang menawarkan untuk memberinya santunan setiap bulan asal mau menjadi pengurus masjid saja, tapi Mbah Seno tidak mau mencampur adukkan kepentingan dunia dan akhirat.
Tak terasa, percakapan kami sudah hampir setengah jam dan Mbah Seno putri harus turun.
Mangga, Mbak. Kula riyin (mari, Mbak. Saya duluan),” katanya sambil tersenyum. Masih sama seperti saat pertama kali aku melihat senyum itu. Tak ada keputusasaaan.
Mbah Seno putri turun dibantu kondektur bus. Aku mencoba melihatnya, tapi terhalang bangku di belakangku.
Maturnuwun nggih, Mas (Makasih ya, Mas)” masih terdengar sayup-sayup suara Mbah Seno putri yang sudah tidak terlalu jelas intonasinya karena sudah banyak giginya yang tanggal dimakan usia.
Nggih, Mbah. Sami-sami, ngatos-atos, Nggih (Iya, Mbah. Sama-sama. Hati-hati ya),” kata kondektur bus lalu cepat-cepat naik ke bus , “Yo,” keras sekali supaya sopir bus mendengar dan langsung melaju kembali.
Aku mencoba mencari sosok renta yang baru saja mengajarkan arti ikhlas dalam hidup itu, tapi tak kutemukan. Sosoknyamenghilang sangat cepat.
Waktu kondektur yang tadi ngobrol sama Mbah itu berjalan di sela kerumunan orang yang nggak dapet tempat duduk untuk menarik ongkos bus. Saat sedang mengambil ongkos bus penumpang yang duduk sebelahku, bekas tempat duduk Mbah Seno, aku coba menanyakan sesuatu pada kondektur itu.
“Mas, kenal sama Mbah Seno ya? Beliau udah tua, tapi tetep kelihatan sehat dan semangat ya, Mas? Salut sayasama beliau”
Seketika wajah kondektur yang udah kucel itu pucet seketika.
“Mbak kenal Mbah Seno dimana?”
“Lho kan barusan duduk di sini (menunjuk bangku di sampingku yang sekarang diduduki ibu-ibu). Mas kan juga ngobrol kan pas beliau mau turun tadi,”
Wajahnya semakin terlihat pucat dan ketakutan.
“Mbah Seno kan udah setahun lalu meninggal ditabrak bus, Mbak”

Comments