Ibu yang Menang

Sebut saja namanya Setia, dia lahir di sebuah keluarga miskin. Ayahnya seorang kuli yang bekerja padseorang juragan pasir di desanya. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang pandai memasak dan sering dimntai tolong untuk memasak di beberapa acara hajatan ataupun menerima pesanan. Kakaknya, Mas Lis, begitu Setiani Putri memanggilnya, lebih tua tiga tahun darinya. Mereka hidup pas-pasan dengan penghasilan dari ayahnya yang hanya seorang kuli dan hasil jual kerupuk ibunya.
Kegemaran ayahnya berjudi makin membuat kehidupan keluarga mereka menderita hingga mereka harus kehilangan rumah pemberian dari kakak kandung ibunya Setia (Pakdhenya Setia). Putri kedua keluarga itu masih kecil saat mereka harus pindah ke rumah adik kandung Budhe Tum, begitu orang-orang memanggil ibu Setia. Mereka berempat harus tinggal menumpang di rumah sempit yang masih terbuat dari kayu dan berlantaikan tanah. Setia harus tidur bersama Bulek Tami dan putrinya yang seumuran dengannya. Bulek Tami yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta sering meninggalkan rumah sehingga Setia sering tidur berdua dengan Rani, putri tunggal Bulek Tami. Tak ada yang tahu siapa ayah Rani dan bagaimana ceritanya sebab tak pernah ada yang mau membahasnya. Sedangkan Mas Lis tidur sendiri di ruangan bekas gudang yang sudah dibersihkan dan dirapikan di dekat kamar Setia.
Dua kakak beradik itu belum mengerti benar penderitaan orang tua mereka. Mereka hanya dua anak kecil polos yang masih memandang bumi sebagai tempat bermain yang menyenangkan. Mereka tak merasakan beban dan tak merasa menderita dengan keadaan mereka sekarang.
Budhe Tum harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sebab suaminya tak bisa memenuhi kebutuhan keluarga itu. Padahal, kedua anak mereka harus sekolah dan membutuhkan banyak biaya untuk kebutuhan mereka. Tak hanya tidak mencukupi nafkah keluarganya, Pakdhe Dam sering memukul istrinya kalau marah atau berselisih pendapat. Namun, Budhe Tum menerima semuanya dengan keikhlasan dan kesabaran. Tak pernah ia mengeluh meski merasa sesak dan capek dengan keadaan itu.
Ia tetap berusaha tersenyum dan terlihat tegar di depan kedua hatinya. Buah hati yang menjadi tumpuan harapan dan impiannya. Ia tak ingin kedua buah hatinya mengetahui kepiluan hati yang dipendamnya rapat-rapat. Ia ingin mereka tetap merasa bahagia dan hidup normal seperti anak-anak yang lain. Berbagai cara ia mencari tambahan uang agar tetap bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Mulai dari membuat kerupuk dari ampas perasan ketela yang sudah diparut hingga menjual masakannya di warung-warung. Hasil menjual kerupuk itu bisadigunakannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Ditambah dengan keahliannya memasak, kadang beliau membuat mie goreng atau cap cai yang dibungkus dengan daun pisang, dititipkan di warung sebelah rumah yang juga masih keluarganya. Tubuhnya yang makin tua digerogoti waktu tak pernah menyurutkan semangatnya untuk membuat kedua buah hatinya bahagia.
Tak lupa ia menanamkan ajaran agama pada kedua buah hatinya. Ia mengajarkan mereka untuk menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa. Setiap hari beliau memberi contoh pada mereka untuk melaksanakan sholat lima waktu di mushola dekat rumah. Meski tak bisa mengajari mereka mengaji dengan baik, tapi Dhe Tum mendorong mereka untuk belajar ngaji di TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) yang tak jauh dari rumah bersama anak-anak lain dengan harapan mereka bisa menjadi putra-putri yang soleh dan solehah. Ia akan melakukan apa saja demi kedua buah hatinya, tumpuan harapan dan impiannya. Kebahagiaan mereka adalah pengobat kepiluan hatinya karena keadaan dan suami yang tak bisa memberikan ketenangan batin.
Kedua buah hati Dhe Tum tumbuh menjadi anak-anak yang pandai. Sejak kecil, keduanya selalu medapat prestasi di kelasnya, Mas Lis bahkan selalu menjadi juara kela. Setia pun tak kalah pandai disbanding kakaknya, ia selalu mendapat peringkat lima besar di kelas. Mas Lis mendapat beasiswa melanjutkan STM Pembangunan favorit di Semarang sehingga dia harus kos. Sejak hari itu, dia jarang di rumah, mencari tambahan uang untuk memenuhi kebutuhannya selama di kos. Berkat kepandaian dan ketekukananya, setelah lulus sekolah langsung direkrut sebuah bank BUMN. Karena harus ditempatkan ke daerah-daerah di luar jawa, dia melanjutkan kuliahnya di Palembang dengan hasil kerjanya sendiri. Dia juga membantu membiayai sekolah Setia hingga adiknya setu-satunya itu kuliah.
Setia berhasil menembus menembus SMA favorit di Salatiga yang kemudian menekuni bidang IPS. Setia tak mau mengecewakan ibu dan kakaknya, dia berhasil lulus dengan nilai yang cukup baik. Ia ingin sekali bias masuk STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) yang menjadi impian banyak orang. Namun, saat dia menjalani seleksi STAN, diia harus menerima kenyataan kalau dia tak diterima. Semangatnya tak luntur hanya karena kegagalan itu, justru sebaliknya, niatnya untuk melanjutkan di bangku kuliah makin membara hingga akhirnya ia diterima di sebuah Universitas Swasta di Semarang jurusan ekonomi akuntansi.
Semakin dewasa, kedua kakak beradik itu tahu persis perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan Dhe Tum untuk mereka. Penderitaan yang selama ini dipendamnya tak bisa luput dari pandangan kedua buah hatinya yang sudah beranjak dewasa. Keadaan itulah yang membuat mereka bangkit dan bersemangat untuk membahagiakan sosok yang sangat menyayangi mereka hingga rela berkorban segalanya untuk kebahagiaan mereka. Mas Lis dan Setia berjanji akan membahagiakan sosok yang sudah semakin tua. Ia tak seperti dulu lagi, keriput kulit tubuhnya mulai bermunculan. Kekuatannya tak seperti dulu lagi, sosok itu sudah kelelahan.
Kehidupan keluarga mereka mulai membaik dengan hasil kerja Mas Lis yang dikirimkannya setiap bulan untuk Budhe Tum. Pakdhe Dam juga sudah mulai berubah, ia tak lagi bermain judi dan memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya. Kesabaran Dhe Tum berbuah manis. Meski sholatnya belum lima waktu, tapi Pakdhe Dam sudah mulai meninggalkan judi yang selama ini menjadi hobinya dan sudah mulai mau belajar sholat. Sedikit-demi sedikit penghasilan Pakdhe Dam dan Mas Lis dikumpulka. Dengan hasil itu, mereka sudah mulai bisa membangun rumah di tanah warisan orang tua budhe Tum.
Setelah menyelesaikan program sarjananya di Palembang, karir Mas Lis di bank itu mulai merangkak naik sehingga bisa mengirim uang lebih utnuk membangun rumah mereka hingga berdiri tegak dengan tembok kokoh dan ubin keramik lengkap dengan mebelair dan barang elektronik lainnya. Mereka dapat hidup lebih baik sekarang.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Dhe Tum mulai sakit-sakitan. Sesak nafas yang awalny membuat perempuan paruh baya itu harus dirwat di RS untuk beberapa hari. Penyakitnya itu sering kambuh di saaat-saat tertentu.
Kebahagiaan keluarga itu kembali bertambah saat Setia lulus dalam waktu 3,5 tahun dengan IPK cumlaude. Tak lama berselang, ia diterima di Departemen Keuangan seperti saran Mas Lis yang selalu memberi arahan padanya. Setia sangat mematuhi kata-kata kakaknya yang menjadi panutannya sehingga ia berhasil lolos seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil.  
Di tengah bahagia yang mereka rasakan, penyakit kembali menggerogoti ibu mereka. Kali ini stroke yang menyerang sosok yang lembut hatinya itu. Sepertinya luka yang selama ini dipendamnya telah menumpuk yang menyebabkan penyakit yang baru muncul saat putra-putrinya berada di tengah keberhasilan mimpi mereka. Beberapa kali beliau harus keluar masuk Rumah Sakit yang membuatnya tak bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Mulai dari bicaranya yang tak jelas, jalan pun tak bisa. Ia harus berbaring dan tak bisa lagi melakukan aktivitas sebagai juru masak handal lagi.
Beberapa kali Mas Lis harus pulang untuk menjenguk ibunya. Ia pun membayar pembantu rumah tangga utnuk merawat ibunya. Ia ingin memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik untuk sosok yang sangat berjasa dalam hidupnya. Motivator yang berkorban banyak hal untuknya. Sewa kamar VVIP saat beliau dirawat di Rumah Sakit pun belum seberapa dibandingkan semua yang telah ibunya berikan padanya.
Pakdhe Dam yang sudah meninggalkan dunia maksiat dan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab pada keluarganya mulai merasa bersalah. Ketabahan dan keikhlasan istrinya itu takkan tergantikan oleh apapun. Ia menyesali perlakuannya pada istrinya yang kini berbaring lemah di hadapannya. Tangis penyesalannya tak bisa mengubah apapun.
Hingga akhirnya sosok inspiratif yang berhasil mengantarkan putra-putrinya meraih mimpi mereka itu menghadap Sang Khalik. Di tengah keberhasilan kedua putra-putrinya dan disaat pernikahan Setia akan berlangsung, Dhe Tum sudah harus mengakhiri perjalanannya di dunia. Tugasnya telah berakhir. Namun, pelajaran ikhlas dan sabar selalu melekat di hati kedua buah hatinya.

-Kisah ini terinspirasi dari sebuah kisah nyata. semoga manfaat ^_^

Comments

  1. Apa yang kita berikan pada ibu kyknya ga ada apa2nya Ven...
    semoga Allah yang memberikan pahala atas pengorbanan dan kesungguhan seorang ibu...
    Amin...

    ReplyDelete
  2. amin...
    subhanallah...pengorbanan seorang ibu, semoga kita juga bisa menjadi ibu yang baik untuk buah hati ikita kelak ya mbak..
    Oh ya maaf mbak pake nama itu, ada beberapa bagian yang jadi bisa diambil teladan dari kisah itu, maaf ada beberapa yang aku lebih2kan mbak...maaf ya mbak,

    ReplyDelete
  3. jiahhhh....pura-pura nya kan aku ga tau itu sapa...hehehhehe...cuman pembaca yang mau ambil hikmah dari cerita itu...gitu dong Ven...
    Xixixixiixixi...

    ReplyDelete
  4. owh,hoho...oke deh...makasih ya mbak,semoga manfaat...^_^

    ReplyDelete

Post a Comment