Sudah Gila

Satu persatu yang ia miliki mulai lepas. Pekerjaan yang menyangga kebutuhan ekonomi keluarganya sudah tak punya. Padahal Simbok baru saja di-PHK dari pekerjaannya sebagai pegawai pabrik garmen. Banyak pabrik gulung tikar dengan mengurangi karyawannya karena tak mampu menggaji mereka sesuai UMR. Pesanan sepi, bahan baku mahal. Mau tak mau, semua harus menerimanya. Rakyatlah yang kembali merasakan kesengsaraan. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Namun, tak sedikit yang kaya jadi miskin. Sebaliknya, yang miskin jadi kaya justru amat sangat jarang sekali.
Kredit motor tak mampu dibayarnya beberapa bulan ini sehingga motor kesayangannya harus ditarik kembali oleh dealer. Usahanya di Kalimantan setelah masa kontraknya di pabrik selesai, tak membuahkan hasil. Yang ada, dia telah ditipu oleh temannya sendiri dan sekarang entah ke mana orang itu.
Di saat sulit seperti ini, Simbok malah baru saja melahirkan adik bungsunya. Ditambah masalah hubungannya dengan kekasihnya, Anik. Padahal mereka sudah berkomitmen untuk serius dan Iwal telah memperkenalkan calon istrinya itu pada keluarga besarnya. Hubungan mereka ditentang keras oleh keluarga Anik.
“Kalau kamu nekat menikahi anak saya, saya jamin hidupmu nggak akan tenang dan saya nggak akan memberi restu pada kalian. Kamu punya apa mau menikahi anak saya? Pekerjaan saja nggak punya, adikmu banyak. Mau dikasih makan apa anak saya?” kata-kata terakhir yang diingatnya ketika terakhir ke rumah Anik untuk meminta izin pada mereka menikahi putri sulungnya.
Semua yang membuatnya bersemangat telah hilang. Tak ada yang tersisa. Bahkan, kekasihnya telah menikah dengan pemuda pilihan orang tuanya. Tak ada niatan dari mereka untuk sekedar memberitahu Iwal akan pernikahan itu. Saat Iwal kembali dari Kalimantan, dia mendapati mantan kekasihnya telah berbadan dua.
Hancur. Berkeping-keping. Tak tersisa. Melihat orang yang dicintainya bersama orang lain. Tanpa perasaan bersalah, Anik tersenyum padanya. Menyapa, mengobrol seolah tak pernah ada hubungan spesial apapun di antara mereka.
Begitu kejamkah dunia? Mengapa semuanya direnggut dalam waktu yang bersamaan? Tak tersisakah asa untuknya?
“Apalagi yang bisa kubanggakan? Aku hanya sampah… sampah… sampah….” Katanya lirih sambil masih menatap genteng kamarnya. Kosong. Hanya ingin sendiri. Hidup tanpa ada orang lain yang akan membuatnya makin hancur. Sendiri, tak ada teman, sahabat, keluarga, bahkan pendamping hidup. Benar-benar sendiri.
Tanpa siapa pun dan apapun. Sendiri.
Itulah yang ada dalam benaknya. Seorang pemuda lugu yang berusaha menjadi seseorang yang berguna untuk banyak orang telah kehilangan asanya. Sepulang dari Kalimantan, dia hanya mengenakan celana pendek dengan kaos oblong lusuh berwarna biru dan dasi warna biru tua yang sepertinya sudah ketinggalan jaman.
Sontak semua kaget saat melihatnya. Katanya, dia berjalan lebih dari tiga kolimeter dari terminal tempatnya turun bus. Tak ada tas, dompet, handphone ataupun surat identitas dirinya. Hanya tiga potong pakaian itu saja yang dipunyainya.
“Aku kecopetan semua,” satu kalimat yang dikatakannya sebelum tidur nyenyak beberapa jam. Membuat semua orang yang ada di sekitarnya menjadi khawatir akan keadaannya. Lusuh, seperti tak pernah mandi dan hidup di jalanan berbulan-bulan. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Tak ada yang tahu. Simbok dan Simbah hanya diam dan membiarkannya tidur.
Tidur dalam kegundahan dan kecemasan juga kekecewaan yang mendalam.
***
Pagi-pagi sekali, Iwal membuka seluruh pintu dan jendela rumahnya. Menghilangkan kesan pengap dan sempit di dalam rumah. Kondisinya makin parah. Dia seperti orang yang sakit jiwa. Saat temannya datang menjenguk, dia mengaku kalau motor milik temannya itu adalah motor miliknya. Tak boleh dibawa pulang atau pun dipegang Indro, si empunya motor.
“Ini punyaku, jangan kamu bawa,” katanya sambil memeluk motor berwarna hitam itu. Dia memeluk dan mengelusnya berkali-kali. Seperti seorang kekasih yang telah rindu karena bertahun-tahun tak bertemu.
Kadang, memang seperti tak terjadi apa-apa dengannya. Tiap kali diajak bicara, sepertinya dia mengerti dan menuruti perkataan Simbok dan Simbah. Namun, ketenangannya tak bertahan lama. Dia kembali melakukan hal-hal yang aneh. Mandi di rumah tetangganya dan akan menguras semua bak yang ada di sana, bertanya tentang banyak hal yang tak tentu, mengitari rumah berkali-kali seperti mencari sesuatu dan masih banyak hal aneh yang dilakukannya.
Keanehan Iwal terdengar oleh warga sekitar. Ketua RT dan beberapa tetangga datang menjenguk untuk mengetehui kondisi yang sebenarnya. Benar saja, obrolannya sudah tidak karuan. Sangat terlihat kalau dia sedang depresi berat dan sangat tertekan. Seakan tak ada semangat untuk melakukan apapun dan tak punya asa.
Iwal mengangkat televisi miliknya saat semua orang tengah berbicang-bincang dengan Simbok yang tak henti meneteskan air mata melihat kondisi putra sulungnya, tulang punggung keluarga justru menjadi seperti itu.
“Mbok, aku jual aja ya TV ini? Buat makan nanti malam. Udah nggak punya uang kan?”
“Ya Allah, Iwal. Jangan… itu satu-satunya yang kita punya. Simbok masih punya simpanan untuk makan nanti malam,” Simbok mendekati Iwal untuk mencegahnya membawa barang itu pergi dan merusaknya sebab sudah beberapa pintu rusak karena dibuka paksa oleh Iwal. Tadi pagi saat akan mandi, Iwal membukanya dengan mendobrak pintu dengan kakinya, padahal pintu kamar mandi tak terkunci.
Bu RT mendekaki Iwal.
“Kalau kamu jual, adik-adikmu mau nonton apa? Kasihan kan mereka kalau nggak punya TV.
“Oh, ya… ya… ya….” Katanya sambil tersenyum-senyum. Menunjukkan ekspresi mengerti yang berlebihan. Dia sudah tak ingat makan dan tak mau makan.
Tiap kali disuruh makan, dia selalu menolak.
“Nggak. Aku udah nggak butuh makan.
Setiap malam, rumahnya dijaga oleh tetangga-tetangganya agar tak melakukan hal-hal yang membahayakan sebab semakin hari kondisinya semakin parah dan tindakannya semakin tak terkontrol. Warga sekitar takut kalau dia akan merusak banyak barang dan menyakiti orang-orang yang ada di sekitarnya. Hampir semua perabot di rumahnya tak utuh lagi akibat tingkahnya.
“Untuk sementara ronda malam kita gunakan untuk menjaga Iwal agar dia tak merusak semakin banyak barang-barang di rumahnya. Mulai malam ini, saya harapkan bapak-bapak berjaga di dekat rumah Iwal. Bapak-bapak yang tidak mendapat jatah ronda juga boleh ikut menjaga. Terima kasih.
Ketua RT 04 memberi pengarahan pada warganya. Beliau ikut berjaga setiap malam. Tak hanya tetangga dekatnya saja, beberapa teman yang akrab dengannya pun ikut membantu berjaga-jaga. Kadang, mereka mengajaknya ngobrol untuk mengingatkan kembali pada kebiasaannya. Namun, tak berhasil juga. Tak ada perubahan apapun.
Melihat tak ada perubahan ke arah membaik, Pak RT merundingkan keadaan Iwal dengan pihak keluarga. Bersama pengurus RT yang lain, Pak RT mendatangi rumah Mbok Liro yang masih terbuat dari bambu setengah tembok itu. Beberapa bulan yang lalu, mereka mendapat bantuan dari pemerintah melalui P2KP. Rumah mereka yang awalnya sepenuhnya bambu, kini sudah separuh tembok dan lebih kokoh.
Saat Iwal sedang pulas tertidur di kamarnya, Simbok mepersilakan Pak Karta selaku Ketua RT  setempat dan dua orang pengurus RT yang lain yang bersama beliau.
“Saya ke sini bersama bapak-bapak pengurus RT ini ingin membicarakan tentang Iwal, Mbok. Apakah Simbok sudah punya solusi yang mungkin bias kami bantu untuk Iwal agar menjadi lebih baik?”
“Belum, Pak.
“Maaf sebelumnya, apa boleh kami memberikan saran pada Simbok?”
“Silakan, Pak.” Mbok Liro mengusap air matanya berkali-kali dengan sapu tangan lusuh yang terus digenggamnya. Sejak Iwal pulang, Mbok Liro tak mau ke mana-mana. Matanya seperti sudah sangat lelah menangis setiap hari melihat kondisi putra sulung tumpuan harapannya selama ini menjadi seperti itu.
“Menurut hasil musyawarah pengurus RT, kami menduga Iwal terkena stress berat, Mbok. Kami menyarankan Iwal dibawa ke Rumah Sakit Jiwa di Magelang supaya bisa ditangani secepatnya oleh psikiater yang ada di sana.
Mukanya seperti tertampar. Secara tidak langsung, mereka mengira putranya sudah gila. Separah itukah putranya sekarang? Apa dia benar-benar sudah gila? Apakah pantas, seorang penurut seperti Iwal menjadi gila? Apa kata orang? Air matanya mengucur semakin deras sambil menahan perasaan itu. Walaupun menolaknya, tapi mau tak mau Mbok Liro harus mengakui kalau anaknya sedang mengalami gangguan jiwa alias gila.
Mbok Liro diam sejenak, memandang kamar anaknya yang masih terkunci dari dalam . Berharap dia tak mendengar percakapan mereka. Kembali Mbok Liro mengusapkan sapu tangannya untuk menghapus air mata yang tak henti mengucur.
“Kalau memang itu yang terbaik untuk dia, saya manut saja, Pak. Saya tidak tahu apa-apa. Walaupun saya nggak rela anak saya dibilang gila, tapi kenyataannya memang dia seperti itu.
“Mbok, tidak semua orang yang masuk ke sana itu orang gila. Iwal hanya stress karena kehilangan banyak hal yang berharga miliknya dan dia putus asa. Semoga saja dia bias lekas sembuh dan kembali seperti dulu lagi sepulang dari sana.” Pak RT mencoba menenagkan hati Mbok Liro agar tak semakin tertekan putranya akan dibawa ke RSJ.
“Lalu biayanya bagaimaa, Pak?”
Kini, Pak Judi yang angkat bicara karena bapaknya pernah dibawa ke sana.
“Mbok nggak usah khawatir. Di sana nggak bayar, kok. Mbok ingat kan waktu bapak saya salah obat jadi ngak bisa tidur dan ngomong terus itu, beliau saya bawa ke sana. Sekarang, Mbok bisa lihat beliau sudah jauh lebih baik dan kembali seperti dulu. Waktu itu, keluarga saya memang membayar biaya perawatan karena kami hanya menitipkan bapak untuk bisa istirahat dan tenang di sana. Kebanyakan mereka  yang di sana nggak bayar kok, Mbok. Mbok Liro nggak usah khawatir, tidak usah memikirkan masalah biaya. Kalau memang harus membayar, kami akan berusaha membantu.
Mbok Liro masih diam. Ibu beranak empat yang belum genap setahun menjanda karena suaminya meninggal itu terdiam sejenak. Ia menghirup nafas dalam-dalam sambil mengangguk dan memaksakan tersenyum.
“Terima kasih.
“Mbok, kami hanya ingin Iwal kembali seperti dulu. Dia anak yang baik.
“Iya, Pak. Terima kasih atas perhatian bapak-bapak semuanya. Semoga Allah membalas kebaikan bapak-ibu semua yang telah membantu saya”
“Amin…” jawab tiga orang bapak yang ada di hadapan Mbok Liro.

Comments