Mbah Gorengan

Mbakgorengane, Mbak…” suara itu sudah tak asing di telinga anak kost Bima Adi. Semua beranjak dari ‘kasur malas’ (dinamai kasur malas karena kalau udah tiduan sambil nonton TV, rasanya males ngapa-ngapain dan males beranjak dari kasur itu). Dari tadi mereka menunggu kedatangan ‘Mbah gorengan’ sebab perut mereka sudah mulai bernyanyi dan mereka malas keluar utnuk beli makan.
Nggih, Mbah…” Semua serempak menjawab dengan penuh semangat, akhirnya doa mereka dikabulkan. Menunggu memang pekerjaan paling membosankan apalagi dalam keadaan lapar. Semua impian buruk tlah sirna, berganti dengan kenyataan indah yang sedang menghampiri mereka.
Vina membukakan pintu untuk si Mbah. Dengan senyum khas orang desa, si Mbah berjongkok di depan pintu. Tanpa melepas sandal jepit yang sudah lusuh, beliau membuka penutup ‘tenggok’ (tempat membawa beras zaman dulu yang dibuat dari anyaman bamboo berbentuk seperti baskom besar).
Gedhang goreng, telo goreng, tempe goreng, mbak,,,anget niki. Enak” (pisang goreng, ketela goreng, tempe goreng, mbak…hangat ini. Enak) si Mbah mulai mempromosikan dagangannya. Enam anak kost Bima Adi yang kelaparan mulai mengerubungi si Mbah. Memilih apa yang mereka inginkan.
Pisang goreng yang berukuran sedang, ubi goreng berukuran agak besar (sepertinya akan kenyang sekali kalau makan satu saja) dan tempe gorrng tipis yang agak gosong.
Brambang aseme, wonten Mbah (brambang asemnya ada, Mbah)?” walaupun kepedesan, Mbak Rini paling hobi sama brambang asem (kangkung rebus dengan sambal dari bawang merah dan asem yang ditambah cabe dan gula merah). Nggak Cuma Mbak Rini, yang lain juga. Kalau ada brambang asem, pasti langsung beli semua.
Wonten, Mbak…Nasi pecel kaliyan nasi oseng nggih wonten(ada, mbak…nasi pecel dan nasi oseng juga ada),”
Kula nyuwun brambang asem, Mbah…(Saya minta brambang asem, Mbah) suara keenam cewek itu tak bersamaan membuat si Mbah bingung harus melayani siapa dulu. Tanpa melihat tampang-tampang kelaparan anak-anak kost, si Mbah mengambil bungkusan daun pisang dari ‘tenggoknya’. Keenap cewek itu udah nggak sabar  jadi mereka memutuskan untuk mengambil sendiri dari tenggok si Mbah. Belum sampai si Mbah mengambilkan untuk kedua kali, enam bungkus brambang asem sudah berada di tangan cewek-cewek kelaparan itu.
Mereka membeli gorengan si Mbah untuk menambah nikmat brambang asem sebab kalau nggak sama gorengan pedes banget. Vina dan Mbak Wati mengambil satu ubi kuning goreng yang sepertinya manis. Harga brambang asem hanya Rp 1.000,- sedangkan gorengan masing-masing Rp 500,-. Mbah tidak membuatnya sendiri. Dia hanya menjualkan saja, yang membuat orang lain jadi kalau tak ada yang membuat, dia tak bisa berjualan.
Vina yang paling iba melihat keadaan si Mbah. Tiap kali melihat si Mbah, dia jadi ingat neneknya di Lombok yang sakit-sakitan dan harus menjual jajanan untuk menambah biaya hidup. Meski tidak keliling, tapi mereka sama-sama menjajakan makanan, bedanya nenek menitipkan makanan kecil yang dibuatnya di warung-warung dekat rumah. Beliau memang pandai masak dan membuat makanan kecil. Bakat itulah yang menurun ke Ibu, tapi tidak untuk Vina sebab Vina lebih mahir bermain komputer daripada memasak.
Sekali mencoba makanan, mereka pasti langsung bisa membuatnya. Makanya, nenek dan ibu bisa membuat bermacam-macam variasi makanan keci. Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan informasi yang didapat nenek, ibu lebih banyak menguasai resep-resep dan makanan-makanan baru. Apalagi, ibu tinggal di Jawa dan banyak ikut aktifitas social jadi banyak pengetahuan.
“Vin, kamu apa lagi? Udah semua nih…kok malah bengong,” tanpa sadar, Vina melamun sambil memperhatikan si Mbah yang tampak bingung diperhatikan Vina. Kulitnya yang sudah keriput dan hitam legam itu masih terlihat bersih. Ciput yang dikenakan di kepalanya sepertinya tak pernah ganti, makin menyiratkan penderitaan dan garis kelelahan pada wajahnya. Seharusnya, di masa tua seperti itu beliau duduk di rumah, menikmati hasil jerih payah anak cucunya yang merawatnya.
“Eh…iya. Pinten niki mbah (berapa ini, Mbah)?” sambil menunjukkan sebungkus brambang asem, sepotong tempe dan satu ubi kuning goreng.
Kalih ewu, mbak…(dua ribu, mbak…)”
Vina mengeluarkan uang dari sakunya yang sudah disiapkannya dari tadi. Dia yang paling sering beli makanya si Mbah nggak pernah absen memanggil anak-anak kost Bima Adi tiap sore. Apalagi, Vina juga males keluar kalau udah semedi di kost. Dia yang paling betah nggak keluar kalau nggak ada kuliah makanya anak-anak Bima Adi menjulukinya pertapa kost.
Pareng, Mbak…matur nuwun (permisi, mbak…terimakasih)”
Nggih, Mbah…”semua menjawab serentak.
Kadang, tak cuma sekali si Mbah pamitan. Sebelum beliau pergi, kadang sampai tiga atau empat kali berpamitan padamereka. Kadang, mereka dibuat tertawa karena beliau masih saja membereskan dagangannya sambil berpamitan dan tak henti berterimakasih. Yang menjadi tradisi unik orang-orang Jawa adalah menyentuhkan uang pembelian pertama mereka ke semua daganyannya sambil mengatakan “Laris…laris…”
Mitos itu dipercaya akan membuat dagangan menjadi laris kalau uang yang pertama diperoleh banyak. Iyalah, kan kalau pertama terjual sudah banyak, selanjutnya akan lebih sedikit yang harus dijual. Anak-anak kost cuma tersenyum memandang kebiasaan si Mbah kalau meeka adalah pembeli pertamanya.
Namun, dibalik senyum manis dan tulus Vina, ingatannya terus memperhatikan soosk renta yang masih mau bekerja, bukan mengemis, menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain.
*
“Mbah dateng nggak ya? Aku pengen brambang asem nih,” Mbak Ratri udah rese’. Udah dua minggu dia nggak ke kost karena mengurus skripsinya yang mengambil objek sekolah (Mbak Ratri adalah mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan jurusan ekonomi tingkat akhir) di luar kota Solo.
Hari ini mati lampu, keenam anak kost itu duduk di depan pintu sambil ngobrol nggak jelas dan kadang tertawa keras banget sampai tetangga depan menengok mereka sambil menggeleng-geleng. Mungkin, batinnya “Cewek kok ketawanya keras banget,”
Tapi mereka cuek aja. Tiba-tiba hujan turun nggak begitu deras. Mereka mulai putus asa, sepertinya bayangan brambang asem yag pedes harus mereka urungkan. Apalagi udah jam 4 lebih, biasanya si Mbah datang jam 4 tepat.
“Yah…ujan. Si Mbah nggak dateng kali ya, Mbak?” Mini nyeletuk sambil melihat keluar. Hujan turun mulai semakin deras membasahi bumi. Bau tanah yang kena air hujan terasa segar.
Mbak…gorengane, Mbak…”
“Lah, itu dia….Nggih, Mbah…” mereka mulai menyingkir. Sosok renta itu membungkus tubuh dan dagangannya dengan plastic bening besar agar terlindung dari hujan meski sudah menggunakan payung untuk melindungi jatuhnya air hujan yang mulai deras. Langit mendung terlihat tak bersahabat membuat mereka malas keluar.
Mlebet mawon, Mbah…ting njawi asrep (Masuk saja, Mbah.. di luar dingin)” Vina yang paling mahir bahasa Jawa kromo inggil karena kebiasaan dari simbahnya yang masih keturunan priyayi selalu membiasakan kromo inggil untuk berbicara dengan orang tua.
Sampun, mriki mawon, Mbak (sudah, disini saja, Mbak)” si Mbah mengambil tempat di dekta pitu, tak mau masuk terlalu dalam.
Kali ini si Mbah mencopot sandalnya dan mau agak masuk, tapi tak mau terlalu jauh dari pintu. Enam makhluk yang kepalaran itu langsung menyerbu masing-masing membeli brambang asem dan nasi oseng. Mereka juga membeli tempe goreng untuk pelengkapnya.  Kali ini, mereka beli agak banyak soalnya dingin membuat perut mereka terasa lapar. Mbak Rini, Mbak Muti dan Mini membeli masing-masing dua pisang goreng sedangkan Vina dan MbakWati yang sama-sama penggemar roti itu memilih membeli ubi goreng. Masing-masing satu.
Setelah selesai melakukan transaksi jual beli, hujan semakin menggila. Deres banget sampai menghalangi pandangan. Si Mbah minta izin untuk berteduh sampai hujan agak reda. Tak ada yang keberatan. Mereka duduk lesehan di dekat si Mbah duduk sambil ngobrol. Vina yang duduk paling dkeat Mbah sambil makan ubi goreng.
Karena si Mbah nggak bisa bahasa Indonesia padahal teman yang lain nggak mahir bahasa kromo, akhirnya Vina yang mengajaknya bicara.
Dalemipun pundi Mbah? (Rumahnya mana mbah?”
Kula mbak? (Saya mbak?). mriku, wingking, caket pabrik tahu (disitu, belakang, cekat pabrik tahu)” katanya sambil menunjuk arah belakang kost. Sekitar dua ratus meter di belakang kost memang terdapat pabrik tahu yang lumayan besar dekat ‘warung ijo’. Kayakanya yang punya pabriknya juga yang punya warung ijo (warung makan murah belakang kos) makanya oseng tahu nggak pernah abesen dari deretan lauk dan sayur yang tersedia di sana.
Ting dalem kalih sinten mawon Mbah (di rumah sama siapa saja mbah)?”
“Piyambak, Mbak (sendiri, Mbak”
Si Mbah mulai bercerita tentang putra semata wayangnya yang gila karena keadaan yang tak sesuai impiannya, pemuda berusia 25 tahun itu beberapa kali kena PHK karena pabrik tempatnya bekerja gulung tikar. Awalnya, dia mau kerja serabutan, tapi keadaan ekonomi mereka makin memburuk dan dia tak kunjung mendapat pekerjaan yang lebih layak. Apalagi dia sudah waktunya menikah dan belum berani mendekati seorang wanita pun karena malu. Namun, dia berusha kuat di depan simboknya.
Bayaran menjadi kuli bangunan sebenarnya cukup kalau untuk hidup mereka berdua, tapi Aris, nama pemuda itu, dia ingin memperbaiki rumah mereka yang sudah reot. Namun, pekerjaan makin hari makin sulit. Bahkan, tawaran jadi kuli pun sepi. Dia terpaksa jadi tukang angkat junjung di pasar.
Menawi wangsul, traose pegel sedaya awake (kalau pulang, katanya pegel semua badannya). Kula nggih jane mboten tego, nanging pripun malih mbak…menawi mboten ngoten nggih mboten saged mangan. pancen rekasa dadi wong ora nduwe (saya sebenarnya nggak tega, tapi bagaimana lagi mbak…kalau nggak gitu ya nggak bias makan. Memang susah jadi ornag nggak punya)” air mata Vina mulai menetes.
Teman-temannya yang lain juga terdiam, mereka ikut menitikkan air mata. Hanya suara hujan yang jatuh di atap dan di tanah menjadi backsound cerita si Mbah Gorengan itu.
Semua yang dipendam pemuda 25 tahun itu mulai meluap. Ia tak bisa lagi menahan rasa yang selama ini ditahannya. Semuanya tumpah dan menjadi tercecer kemana-mana. Sejak setahun yang lalu, dia gila. Dia tak mau kembali ke rumah. Tidur di depan taman Jurug, dekat UNS.
Riyin kula kerep ngirim sekul kaliyan jangan enjing sonten. Nanging, sampun sewulan Aris mboten ketingal wonten mrika. Mboten ngertos sakniki teng pundi (dulu saya sering mengirim nasi dengan sayur pagi sore. Tapi, sudah sebulan Aris tidak erlihat di sana. Tidak tahu sekarang dimana)”
Mbah tinggal sendiri dan tak punya siapapun. Putra semata wayang yang seharusnya bisa menjadi sandaran hidupnya di masa tua justru meninggalkannya. Air mata membahasi pipi keenam anak kost yang mendengar penuturan si Mbah. Mengalir sederas hujan yang mengguyur kota Solo.
Sesekali si Mbah memandang ke luar, berharap hujan segera reda dan bisa kembali menjual dagangan yang masih lumayan banyak itu.
Nggih, mugi-mugi Aris cepet wangsul. Saged kados riyin malih. Kula pasrah kaliyan Kuasaning Gusti (ya moga-moga Aris cepat pulang. Bias seperti dulu lagi. Saya pasrah pada Kuasa Tuhan)” si Mbah menerawang ke luar.
Hujan sudah mulai reda. Beliau berpamitan untuk melanjutkan jualan. Vina mengamati si Mbah Gorengan lekat. Dia masih memandang perempuan renta itu berjalan menyusuri hujan yang terus mengguyur dengan langkah tuanya yang terlihat lelah hingga sosok itu menghilang di belokan menuju kost yang lain untuk menawarkan dagangannya.
Kisah itu membekas di hati Vina dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan dan berbakti kepada kedua orang tuanya dan tak akan menyiakan mereka di masa tuanya. Sejak hari itu, seminggu sekali Vina menyelipkan selembar uang dua puluh ribuan di tepi tenggok tanpa sepengetahuan si Mbah Gorengan.
‘Semoga uang itu bias berguna dan Allah menyampaikannya pada si Mbah Gorengan itu’

Comments