Komunikasi dalam Keluarga

Sejak menjadi istri, menjadi ibu, saya jadi banyak belajar tentang hubungan dan pola komunikasi dalam keluarga. Saya dan suami memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Saya berasal dari keluarga sederhana dan biasa saja, sedangkan suami berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, bisa dibilang kehidupannya sedikit lebih menengah ke atas.

Bapak menjadi satu-satunya orang yang bekerja di keluarga, menghidupi istri, tiga anaknya dan kedua orang tua yang saat itu ikut bersama kami. Berasal dari kalangan keluarga biasa, Bapak juga membantu saudaranya dan saudara mamak untuk biaya sekolah karena keterbatasan dana. Kami hidup bahagia dalam kesederhanaan. Bapak pulang sebulan sekali atau dua kali dan kami bersama berkumpul menghabiskan waktu bersama di rumah maupun keluar rumah. Memanfaatkan quality time bersama dengan bergotong royong mengerjakan pekerjaan rumah. Kami juga suka bercerita pengalaman kami masing-masing. Semakin beranjak dewasa, Bapak yang sangat pendiam berubah menjadi sosok yang suka curhat dengan saya. Mungkin karena saya anak pertama dan perempuan, jadi kami cukup dekat. Namun, dengan Mamak pun aku juga dekat bahkan seperti sahabat.

Semakin dewasa, menikah, saya merasa berada di lingkungan keluarga yang tidak pernah memiliki masalah dalam komunikasi. Kami banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol dan terbuka. Orang tua memberikan perhatiannya dan kami sebagai anak pun mengerti kesulitan orang tua. Kami saling membantu dan suka rela tanpa mengeluh dan tanpa disuruh. Memberikan perhatian secara tulus tanpa harus memiliki banyak materi.

Setelah menikah, saya mempelajari pola komunikasi baru di keluarga suami. Sangat berbeda dengan keluarga saya yang memang tidak banyak keinginan. Mereka memiliki mobilitas yang tinggi dan gaya hidup yang berbeda. Mereka suka makan di luar dan kumpul keluarga di luar. Pada awalnya menyenangkan, tapi semakin lama saya menemukan pola komunikasi yang kurang baik antara orang tua dan anak. Ada pola komunikasi yang tidak satu frekuensi, ada ketidaksamaan pemahanan antara orang tua dan anak. Mereka jarang duduk bersama membahas banyak hal. Saya pikir mungkin karena anak mertua semua laki-laki, jadi kurang bisa ngobrol. Namun, adik laki-lakiku tetap bisa asik ngobrold an berkumpul bersama.

Ada banyak hal yang mereka lewatkan sepertinya saat dulu. Bapak dan Ibu bekerja, kedua anak banyak bersama ART yang tentu membuat kedekatan dengan orang tua menjadi kurang. Empati anak pada orang tua pun kurang terbangun karena komunikasi yang kurang efektif. Mereka hanya berkomunikasi saat ada hal penting yang memang harus dibicarakan. Mereka jarnag bahkan tidak pernah duduk bersama hanya untuk membahas hal sepele atau bercerita tentang hari ini. Mereka lebih memilih duduk terpisah dengan kegemaran mereka sendiri. Kalaupun Bapak dan kedua putranya duduk bersama, mereka lebih sering diam sambil asik dengan gadgetnya.

Terkadang, saya merasa kasihan pada ibu mertua yang akhirnya lebih banyak bercerita dengan kami menantu. Bahkan sampai sekarang saya sering menemukan perselisihan hanya masalah komunikasi. Ibu tidak bisa mengerti cara berkomunikasi yang efektif dengan anak, sedang anak tidak bisa mengerti maksud ibu. Mereka tidak bisa saling menyesuaikan, tidak bisa saling mengerti dan berempati.

Bukan membandingkan, tapi saya dan kedua orang tua sangat jarang berkonflik tentang masalah komunikasi sejak beranjak dewasa. Beda pendapat itu pasti ada, tapi kami sama-sama mencoba untuk mengerti dan memahami, bukan mengedepankan ego. Bukan hanya anak yang mengerti, orang tua pun juga mencoba mengerti meski mungkin tidak seperti yang mereka inginkan. Itulah menurut saya yang memang harus dibangun sejak kecil. Bonding orang tua dengan anak tidak bisa instant. Bonding orang tua dengan anak harus dipupuk sedini mungkin. Meski kami hidup sederhana, tapi kami bisa membangun komunikasi dengan efektif sehingga saling  mengerti dan menghargai.

Saya rasa, perempuan ataupun laki-laki sama saja tentang kedekatan dengan orang tua.



Comments