Hubungan Baik Menantu dan Mertua

Saya bersyukur memiliki keluarga yang baik, dipertemukan dengan orang baik dan mertua dengan keluarganya yang baik. Meski ada masa kami memiliki konflik, tapi saya masih bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk kembali memperbaiki hubungan. Banyak di luar sana yang memiliki konflik berkepanjangan dan tak henti. Bahkan sampai menguras energi dan fikiran.

Tentu tidak mudah dalam berkonflik. Saat masih tinggal bersama mertua, memang lama bisa hidup berdampingan hingga anak pertama lahir. Pasti tidak mudah menjadi ibu muda yang tinggal bersama mertua, sebaik apapun mertua. Ibu kandung hanya dua minggu bisa menemani karena tidak enak berada di rumah mertua terlalu lama. Saya harus kembali mandiri dan belajar sendiri. Berusaha untuk tidak merepotkan. Apalagi tidak ada ART yang membantu, jadi semua kami kerjakan sendiri. Mau tidur tidak nyenyak kalau belum selesai pekerjaan rumah.

Awalnya memang menyenangkan, tapi ada saat dimana hati ini terluka untuk pertama kalinya. Saat hujan deras, seorang keponakan dititipkan di rumah. Hari ini mungkin berat untuk ibu mertua. Dia harus memasak, saya tidak bisa membantu banyak karena si bayi harus saya temani. Dia sedang belajar merangkak, takut meninggalkannya sendiri. Saya sempat ke belakang, memang agak banjir, saya langsng masuk kamar lagi. Keponakan asik main, ibu mertua masih sibuk di dapur. Tiba-tiba ibu mertua masuk dengan sedikit marah dan kesal, "Saya capek daritadi kerja sendiri. Semua jalan kesana kemari, tapak kakinya dimana-mana."

Saya kaget. Shock dimarahi untuk pertama kalinya. Hatiku langsung hancur. Tangis tak bisa terbendung, kupeluk si kecil dengan erat. Tak kuperlihatkan air mataku, mencoba menyembunyikan darinya yang sedang bahagia. Bahagia dengan tumbuh kembangnya. Saat itulah saya merasakan untuk pertama kalinya berkonflik dengan mertua, meski saya tahu kalau cepat atau lambat pasti akan terjadi. Mertua memang tipe orang yang pembersih. Semua harus bersih dan rapi termasuk anak-anak tidak boleh bermain terlalu berantakan.

Sore itu saya langsung tidak berani keluar kamar. Syukurnya si bayi sudah mandi dan saya pun tidak mandi. Makan tidak berani hingga ibu mertua menawarkan mengajak makan masuk kamar. Saya hanya diam, tidak berani keluar makan. Tidak berani keluar kamar. Bahkan untuk bercerita pada suami pun saya tidak berani. Saya memilih diam. Memilih memendamnya sendiri. 

Setelah itu, semua berjalan seperti biasa. Saya mulai belajar untuk membagi waktu, mencari cara bagaimana mengurus si kecil dan membantu ibu mertua mengurus rumah. Apalagi saat itu keuangan kami masih belum baik, semua keperluan masih dipenuhi ibu mertua. Kami hanya membeli kebutuhan kami sendiri saja dan membayar air dan listrik. Kedua mertuanya memiliki gaji pensiuan yang cukup lumayan karena sebelum pensiun jabatan mereka juga cukup tinggi. 

Kemarahan beliau terjadi lagi karena rumah yang berantakan. Ibu mertua kalau ada saudaranya datang, pasti kumpul di rumah adiknya di Blencong dan bisa meninggalkan rumah cukup lama. Kadang menginap, kadang tidak. Saat itu, beliau menginap beberapa hari. Saat pulang, melihat keadaan rumah, langsung beliau marah.

Aku takut, saat itu aku sedang mengurus si Sulung. Beliau langsung beberes, menyapu samping. Aku mencoba membantu, meraih sapu lidi, "Biar saya, Bu."

"Nggak usah!" katanya. Jleb! hancur hatiku seketika. Mataku berkaca-kaca.

Setelah menyapu samping, beliau menyapu lantai dalam rumah lalu mengepel sambil bilang, "Rumah nggak pernah disapu ya?"

Astaghfirullah.... air mataku tak terbendung. Aku diam. Bapak mertua mencoba menengahi, melihatku kebingungan, beliau bilang, "Sudah... sudah."

Aku sudah tak tahan. Kubawa si kecil main ke tetangga depan rumah. Kutumpahkan air mataku disana. Mbak Sinta, mengelusku, menguatkanku. Mencoba mengertiku. Ibu memang tidak bisa kalau melihat rumah kotor dan berantakan, tapi Mbak Sinta mengerti kerepotanku, apalagi aku juga sempat sakit.

Aku tak berani keluar kamar, hanya kekamar mandi untuk wudhu atau buang air saja kembali ke kamar. Ibu adalah tipe yang kalau sudah marah, sudah, tapi aku tidak. Si kecil main di luar pun, aku masih diam di kamar. Ibu menawariku makan karena melihatku sama sekali tidak makan apapun sejak dia datang. Aku menolak, lampu kamar kuredupkan. Si kecil datang masuk dan kuajak tidur.

Si Mas pulang. Aku tak tahu dia sudah makan atau belum, dia rebahan di kasur. Aku mendekatinya perlahan, kuceritakan yang kualami.

"Mungkin kamu kurang bersih."

"Iya, kalau memang begitu ajak aja aku bersih-berish, jangan giniin aku. Sakit rasanya, Mas."

Aku tak kuasa menahan air mataku. Aku masih tidak keluar kamar untuk sekedar makan. Perutku rasanya juag takut untuk lapar. Enggan keluar kamar melihat ibu mertuaku dengan muka yang tadi diperlihatkannya padaku.

Sejak hati itu, aku bertekad ingin segera mandiri. Segera pindah dari rumah itu. Namun, kami belum memiliki cukup uang untuk menyewa rumah. Lagipula tidak enak dengan ibu kalau menyewa rumah, sedangkan ibu hanya berdua dengan Bapak. Kabetulan saat itu aku suami tugas di Lombok Timur, kami bisa membeli tanah murah dan rencana akan kami bangun. Sepertinya dia mempertimbangkan ucapanku saat itu.

Dikumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk bisa membangun dengan bantuan Mbah, saat itu masih sehat. Kami ingin segera menyelesaikan rumah itu dan bisa ditempati. Qodarullah, suami dapat promosi. Ada masa percobaan satu tahun utnuk bisa lolos ke grade yang baru, tapi beberapa instentif dipangkas. Bonus pun tahunan, tidak bulanan lagi. Uang kami habis, pembangunan dihentikan. Aku sedih.

Impian bisa punya rumah sendiri harus kandas. Memang ibu mertua tidak setuju aku membangun di Lombok Timur. Namun, pertimbangan murah dan ada Mbah yang bisa membantu membangun dan menalangi biaya tukang membuat kami ingin segera menyelesaikan rumah. Aku menangis, meminta suami untuk bisa mandiri. Dia bilang tidak ada uang sama sekali bahkan untuk menyewa rumah. Aku terdiam. Kupendam anganku, kucoba menata hatiku, menguatkan yang sudah retak.

Aku semakin tertekan berada di rumah ini. Hingga akhirnya kami berhasil membeli rumah dengan harga miring. Bukan rumah baru memang, tapi sudah bisa ditempati. Hanya dapurnya yang masih kurang pas karena terlalu terbuka, tapi sudah bisa digunakan. Kami memutuskan membeli dengan susah payah. Dalam diam, dia memikirkan tentang perasaanku yang mulai tidak nyaman berada di rumah itu.


Saat kami masih beberes rumah, keponakan masuk rumah sakit karena DBD. Ibu mertua full di Rumah Sakit. Qodarullah saya juga agak demam naik turun, pegel seluruh badan, ditambah harus beberes rumah yang baru kami beli karena kami rencana akan segera pindah. Meski belum rapi, yang penting sudah ada ruangan cukup yang bisa digunakan, kami mau berusaha mandiri. Rumah besar tanpa ART, punya balita belum dua tahun, wastafel bocor, ketambahan keluarga dateng, harus siapin kamar dan rumah harus bersih.

Selalu ada rasa takut setiap kali Ibu tidak di rumah. Takut tidak sesuai dengan kriteria bersih menurut Ibu mertua. Benar saja, suatu hari si ibu mertua pulang dari RS karena adik bungsu bapak nginep di rumah sekeluarga. Keponakan juga sudah lebih baik, atau entah dia tidak percaya aku dapat mengurus rumah dengan baik apalagi ada tamu. Beliau adalah tipe yang kalau ada orang yang datang ke rumah, rumah harus dalam keadaan seperfect mungkin. Rapi dan bersih paripurna. Mungkin beliau tidak percaya padaku.

Benar saja, baru datang langsung lihat meja makan yang sedikit berantakan (menurutku) langsung berubah raut muka. Apalagi kedua anak Mbak Ipah membuat nutrisari dan mie sendiri. Bungkus nutrisari masih di meja, dapur beantakan pula. Setelah Mbak Ipah pergi, beliau langsung marah.

"Kalau saya nggak pulang, rumah kayak kapal pecah ya Mbak?" Nada marah dengan muka yang sangat kutakutkan.

Rencana kepindahan rumah yang awalnya beliau minta diundur, tidak jadi kami undur. Kami sesegera mungkin mau pindah dengan kemampuan seadanya. berbekal kasur, lemari, kompor, gas dan kipas angin, kami siap mandiri. Ibu mertua awalnya agak marah karena tiba-tiba kami mulai memindahkan barang. Beliau bilang kami tidak pamit. Aku terjebak lagi diantara ibu dan anak ini. Ibu mertuaku  mudah tersinggung, suamiku kelewat pendiam. Katanya mereka sedang berkonflik entah apa. Ibu mengingatkan sesuatu, suamiku tidak terima. Aku pun tak mengerti.

Sampai akhirnya kami pindah. Aku pikir ini akan menjadi awal yang bagus, paling tidak, tidak setiap hari ada gesekan. Memang awalnya berjalan lancar meski aku agak risih beliau setiap datang selalu beberes rumahku. Memindahkan barang-barang dan merapikan rumahku seperti aku tidak merapikan. Aku sering malas beliau datang. Merasa kalau aku tidak berguna di rumah. Beliau selalu mengingatkan yang rapi dan bersih. Salah saja yang sudah kulakukan. padahal setiap beliau akan datang, selau kubersihkan dan kubereskan. Namun, masih salah juga.

Sampai akhirnya Bapak mulai tidak bisa sering keluar, aku ditinggal menginap di Sembalun oleh suami. Awalnya, aku tidak mau menginap di rumah mertua karena aku berani di rumah sendiri. Namun, suami memaksa karena tidak tega melihatku dirumah berdua saja. Aku pun menurutinya. Ada trauma kalau berlama-lama disana. Selalu ada perasaan tertekan dan takut berada di rumah itu terlalu lama.

Sampai akhirnya suatu hari aku kecapekan cabut rumput dan beberes rumah. Aku sudah hamil saat itu. Beberapa kali beliau menelepon kapan kerumah, aku menjawab belum tahu. Sampai akhirnya maghrib beliau tanya, aku bilang tidak bisa kesana karena capek, beliau marah. Aku selalu takut kalau mau bilang tidak kesana dulu. Takut beliau marah dan memang benar beliau marah. Beliau bilang tidak perlu lagi kerumah.

Saat itu, hatiku sangat hancur. Semalaman aku menangis menceritakannya pada suami. Ia berusaha menenangkan, "Mamak memang begitu, besok juga baik."

Tapi tidak untukku. Kuceritakan pada Mbak Yanti, Mbak Yanti juga bilang yang sama. Mbak Yanti menyuruhku agar memint suami bicara pada Ibu agar aku bisa tidak sering kesana karena hamil dan bawa anak balita. Namun, suamiku tipe yang malas berkonflik. Dia memilih diam dan tidak memihak. Sempat beberapa kali dia menyuruhku ke rumah mertua sebelum dia pulang dari Sembalun, tapi aku menolak. Aku tidak berani. Aku mau kesana saat bersamanya saja.

Benar saja, saat aku datang, menyalami ibu, beliau agak berkaca-kaca. Aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa meski luka itu tak bisa benar-benar sembuh. Selalu saja ada ketakutan tiap kali memasuki rumah ini dan berlama-lama. Kadang ibu marah dengan membanting semua barang sambil beberes. Sering beliau marah ke Bapak, aku pun terkena imbasnya. Inilah yang membuatku takut lama berada di rumah ini.

Sampai Bapak kembali anfal dan harus dirawat di Rumah Sakit selama 10 hari. Sekembalinya ke rumah, Bapak masih harus menerima asupan makanan dari selang. Ibu tidak bisa melakukan sendiri karena tangan kirinya tidak kuat. Kedua anaknya sepakat mencari ART menginap untuk menemani orang tuanya. Kami, anak menantu tetap akan kesana menengok saat sempat karena sekarang suami bertugas di Lombok Timur dan  anak-anak sekolah.

Qodarullah, dua kali mendapat ART hanya bertahan seminggu. Setelah itu, pandemi Covid membuat kami tidak berani menerima ART. Mas Indra, sulung, takut menerima orang dari luar karena sudah banyak terjangkit positif. Apalagi orang kampung kurang pengetahuan dan tidak paham dengan social distancing, jadi mereka (kedua anak Bapak ibu Mertua) memutuskan untuk bergiliran menjaga orang tuanya. Bisa seminggu bergliran atau berapa hari sesuai situasi dan kondisi. Aku mulai takut lagi. Selalu ada ketakutan dan rasa tertekan di rumah itu. Trauma itu belum hilang.

Sampai akhirnya giliranku pulang dan keluarga kakak suami yang datang. Saat menyatakan akan pulang, ibu marah padaku. Katanya mungkin karma beliau karena tidak mau menunggui mertuanya dulu saat suaminya mengajak pulang ke kampung halamannya. Sekarang beliau menerima karma tidak ada yang mau menemaninya. Anak-anak masih libur sekolah, beliau memintaku tetap disana bersama beliau sampai keadaan membaik. Namun, aku tidak bisa. Rasanya selalu ada perasaan tertekan dan takut di rumah itu.

Ibu mendiamkanku. Beberes dapur sambil menangis sepertinya. Aku tidak berani mendekat. Beliau membawa bapak masuk ke kamar lalu menutup pintu. Aku kembali takut, bingung, gemeteran. Syukurnya keluarga kakak suami segera datang. Ibu membuka pintu kamar, berusaha bersikap biasa saja. Aku pamit pulang mencium tangan ibu, tapi muka beliau datar. Kuceritakan pada suami di jalan, dia mencoba mengerti aku.

Sejak itu, aku semakin takut kesana. Takut tidak diperbolehkan pulang, takut saat pulang didiamkan lagi. Namun, ternyata ibu mengingatkan suamiku membuat suamiku sedikit marah. Dia memilih diam dan mengajakku pulang. Saat pulang pun tidak pamit ibunya. Namun, tetap membelikan apa yang diminta sebelum mereka berkonflik. Aku mencoba tidak tahu apa-apa padahal ibu sudah cerita padaku.

Seminggu kemudian, giliran kami lagi menginap. Aku pikir suamiku sudah tidak marah, ternyata masih diam. Bahkan, dia tidak berani BAB di kamar mandi kamar orang tuanya yang masih menggunakan WC jongkok. Dia tidak bisa menggunaka toilet duduk. Dia memilih pulang ke rumah, meninggalkanku dan anak-anak di rumah ibunya. Aku masih biasa saja. Memang saat malam kutanya sampai kapan dia bilang aku dan ana-anak cukup sampai minggu, sisanya nanti dia sendiri yang menginap. Mungkin dia memikirkan kalau pulang malam agak repot. Aku malah sempat berfikir untuk ikut saja sampai Rabu atau Kamis jadi pas seminggu disana.

Dalam kebimbangan, kebingungan dan ketidakmenentuan pikiran si sulung nyeletuk. "Kita mau pulang Bunda?" mungkin dia melihat tak ada Ayahnya, lalu aku menyuruhnya memakai baju karena hanya pakai celana dalam dan kaos dalam saja. Langsung ibu mertua marah lagi. Beliau bilang kalau mau pulang tidak apa-apa. Beliau tidak mau membebani anak-anak. Kalau memang keberatan boleh pulang. Beliau bilang aku terlihat tidak tulus menemani, seperti keberatan harus berada di sini bergiliran menemani beliau. Tidak seperti keluarga kakak suami yang tulus datang dengan gembira dan ceria. Terlihat dari raut wajah dan perilaku.

Terjadilah yang kutakutkan. Beliau bilang anak kandungnya saja diingatkan marah sampai sekarang. Beliau tahu kalau dia pasti pulang. Beliau menyuruhku pulang saja tidak apa-apa. Mau malam itu, atau besok pagi sekali jangan terlalu siang. Aku gemetar, bingung. Kalau tidak mau menjemput, biar dinaikkan taxo online. beliau menganggap aku tidak ikhlas menunggui beliau. Aku selalu takut drama ini setiap kali akan pulang atau membicarakan pulang.

Sampai aku minta dijemput suami karena takut, aku mencoba berpamitan dan meminta maaf pada beliau. Beliau malah menunjukku setelah kucium tangannya.

"kamu juga berat kan nginep disini? Mulai sekarang inget ya, jangan injak rumah ini lagi. Inget itu."
"Kok saya, Bu?"
"Iya, kamu jangan pernah injek rumah ini lagi. Kamu juga nggak ikhlas kesini kan? Saya tahu, saya bisa merasakan. Sudah berhenti kesini lagi."

Remuk redam hatiku saat itu. Hancur lagi puing yang kucoba rekatkan. hatiku semakin tak bisa utuh. Ketakutan itu terjadi. Tekanan di rumah ini begitu besar, aku tak berani tinggal lama lagi disini. Bukan tidak ikhlas, aku takut pada ibu yang marah seperti ini.

Keluargaku adalah keluarga yang luar biasa. Kami memiliki keterbukaan komunikasi, marah pun tak pernah lama. Kami lebih memilih untuk mengerti dan memahami, tidak mengedepankan ego. Kami berusaha untuk menyerahkan semua pada Allah , selalu ada jalan keluar dibalik kesulitan dan ketidaknyamanan. Apalagi hanya masalah komunikasi, kami bisa mengatasinya dengan mengedepankan pengertian dan kasih sayang.

Sepertinya keluarga ini bermasalah dengan komunikasi. Yang muda tak mau mengalah, yang tua pun tidak mengerti cara berkomunikasi yang efektif dengan anak-anak. Aku hanya bisa berdoa mudah-mudahan Allah mengampuni dosaku. Mungkin memang ada yang salah dengan niatku sampai dua kali aku diperlakukan seperti ini oleh Ibu. Aku sadar kalau satu-satunya yang membuatku terlihat tidak nyaman di rumah ini adalah ketakutan dan trauma luka hati saat tinggal disini. Meski banyak kebaikan ibu, tapi ibu adalah tipe yang mudah berubah mood. Sedang aku adalah tipe yang sensitif. Aku sedih saat diperlakukan seperti itu.

Syukurnya, ada rumah yang bisa membuatku lebih tenang. Sejenak melupakan sakit yang kembali terulang, retak yang semakin dalam, berdoa semoga Ibu melupakan semua itu nanti. Kami bisa berkumpul kembali dengan kasih dan bahagia dalam bulan suci Ramadhan yang tinggal menghitung hari di tengah pandemi ini.







Comments