Berdamai dengan Hati

Hai Hati.... bersahabatlah. Ikhlaslah menjalani apa yang sedang menjadi kewajibanmu, baktimu dan jalan takdirmu. Kalau kau tak ikhlas, tubuh dan pikiranmu tak bisa ikut positif. Meski sulit karena ada trauma, takut melakukan kesalahan saat berada disana, tapi kamu harus bisa mengatasinya. Kesalahanmu hanya selalu ada pada kerapihan dan kebersihan. Itu saja yang harus diperhatikan. Kau pernah mengatakan kalau tidak suka menjadi pelampiasan atau kambing hitam, jadi kamu tidak perlu takut lagi menjadi pelampiasan.

Hai Hati... kamu berhak untuk bahagia. Lakukan yang membuatmu bahagia, tapi kamu tetap harus menjalani kewajibanmu sebagai anak. Kamu bukan menantu, tapi kamu anak. Kamu harus bisa memaafkan dan menyisihkan trauma mu karena yakin ia pun menyayangimu. Mereka adalah ladang baktimu meski kau harus selalu takut ketika sudah ada tanda sedang tidak enak hati. Ketika tutur dan sikapnya membuatmu tidak nyaman, carilah kenyamananmu bersama anak-anak dan apa yang kau sukai. Fokus pada apa yang membuatmu bahagia dan kesampingkan trauma.

Ia bukan dendam, ia bukan tak mau, tapi hanya ada sudut trauma yang tak bisa menepi. Saat kenangan itu membayangi, semua menjadi terasa sangat tidak nyaman. Ada banyak kenangan pahit yang menyisakan sudut trauma yang selalu mengikuti. Tak mau lepas, tak ingin pisah dan mengikuti kemanapun pergi.

Kamu masih beruntung hati, mendapatkan mertua yang baik. Namun, setiap manusia memiliki kekuarangan dan kelebihannya masing-masing. Saya pun tidak luput dari kekurangan. Saya sadar kalau beliau mengingatkan untuk kebaikan, tapi mungkin saat itu hati sedang tidak bersahabat. Merasa tertusuk dan menyebabkan trauma karena ternyata yang menjadi latar belakang adalah kesalahan yang sama. Versi bersih dan rapi saya dan mertua sepertinya berbeda.

Beliau selalu mempermasalahkan rumah saya yang tidak masuk kriteria bersih dan rapi menurut beliau. Yang membuat menjadi trauma adalah ketika hal itu diingatkan berulang dan dengan membandingkan. Hidup di lingkungan keluarga yang tak pernah membandingkan membuat saya sedikit tidak suka dibandingkan. Seketika memang kesel rasanya, tapi saat pikiran bisa mengendalikan hati, saya sadar kalau setiap orang memiliki sifat yang berbeda. Saya hanya perlu untuk tetap bisa berfikir positif. Beliau juga ingin melihat kami hidup nyaman dengan rumah yang rapi dan bersih. Namun, caranya memang tidak bijaksana.

Sering saya berdoa agar bisa meminimalisasi hal seperti itu dan mencoba menerapkannya pada anak-anak. Membersamai tumbuh kembang mereka tanpa memaksakan kehendak. Menanamkan akhlaq dengan memberikan contoh dan mendukung minat dan bakat mereka tanpa mengejudge dan membandingkan dengan berusaha mengarahkan agar menjadi lebih baik. Tidak mudah memang, tapi belajar itu harus terus dilakukan sebagai orang tua.

Mengambil hal baik dari apa yang ada di sekitar dan memperbaiki yang kurang baik meski tak ada yang sempurna. Menjadi pendidik itu tidak mudah, jadi doa untuk bisa istiqomah selalu kami panjatkan untuk bisa membersamai amanahNya yang kelak kami pertanggungjawabkan di akhirat.

Setiap kali belajar menjadi orang tua yang baik, saya selalu ingat Mamak, Bapak, Mbah yang tidak sempurna tapi berusaha memberikan kasih sayang dan menanamkan akhlaq pada kami untuk menjadi pribadi yang berfikir positif. Alhamdulillah berada di lingkungan keluarga yang luar biasa bijaksana yang membuat saya selalu bisa mengembalikan segala sesuatu pada Qodarullah.

Semoga dimudahkan menjadi orang tua yang baik, meski tidak sempurna, tapi tetap belajar untuk menjadi lebih baik. InsyaaAllah


Baik-baik ya, Hati... tetaplah bisa mengendalikan dan tidak mudah terpedaya dengan bisikan Syaitonirojim.


Comments