Hidup Tak Pernah Terduga

Ternyata di pulau kecil seperti ini malah ketemu sama kakak kelas SMA dulu. Kami bertemu di tempatku bekerja dulu, di Selong. Karena logat Jawanya yang khas, aku pun iseng menanyakan asal tempat tinggalnya yang ternyata setelah obrolan berlanjut kami pernah sekolah di SMA yang sama. Meski nggak ketemu karena dia lima tahun lebih dulu daripada aku, tapi surprise juga ketemu kakak kelas di sudut pulau kecil ini. hahaha
Kami menjadi lebih sering ngobrol baik lewat handphone maupun ketemu waktu makan siang. Cerita yang akhirnya sampai juga pada kehidupan kami masing-masing. Tak pernah menyangka kalau dia ternyata sudah menduda beberapa bulan ini. Kehidupan rumah tangga yang diinginkan langgeng sampai dunia akherat ternyata harus kandas tak lebih dari dua tahun. Ia sudah menikah dengan seorang gadis yang baru dikenalnya tiga bulan. Saat itu, ia masih bertugas di Wamena, Papua sedangkan calon istrinya tinggal di tempat asalnya, Salatiga. Mereka pun memutuskan menikah tak lama setelah kenal dan dianugerahi kehamilan setelah menikah. Keadaan membuat sang istri harus tinggal di Salatiga sedangkan teman saya kembali melaksanakan tugasnya di Wamena dan berjanji akan sering pulang untuk menjenguk anak dan istrinya. Dia pun berniat akan membawa kedua belahan jiwanya kalau keadaan sudah memungkinkan. Wamena masih sangat rawan karena sering terjadi perang adat yang mengharuskan semua warga berhati-hati. Namun, ia yakin akan tetap bisa membawa istri dan anaknya kelak.

Semua berjalan lancar dan baik-baik saja sampai anak mereka terlahir cantik ke dunia. Seorang bayi perempuan yang lucu dan mungil. Teman saya pulang untuk melihat buah hatinya, tapi tak bisa terlalu lama karena jatah cutinya sudah habis saat menikah dulu. Ia pun tak bisa pulang sebulan sekali karena mahalnya biaya transportasi Papua-Jawa dan meminta pengertian istrinya agar uang gajinya bisa lebih banyak digunakan untuk kebutuhan buah hati mereka.

Tanpa disangka, saat kepulanganannya kedua beberapa bulan kemudian setelah anaknya lahir, ia sudah tak diizinkan lagi bertemu buah hatinya. Istrinya pun tak mau bertemu dengannya menurut mertuanya. Ia pun tak bisa berbuat apa-apa ketika surat panggilan dari pengadilan agama atas gugatan cerai istrinya tiba. Tak pernah ada pertengkaran antara mereka berdua, tapi tiba-tiba istrinya meminta cerai. Ia pun tak punya kesempatan untuk berbicara langsung dengan istrinya. Hanya mertua, orang tua istrinya, yang menjadi juru biacaranya. Berniat bicara baik-baik, ia pernah kerumah mertuanya untuk bertemu istri, tapi ditolak dan istrinay tak pernah mau bertemu dengannya kata mertuanya. Komunikasi apapun sudah diputus begitu saja secara sepihak.

Ia pun menerima gugatan cerai yang menuduhnya telah menelantarkan anak istri dan melakukan tindak KDRT. Sudah tak ada cara lain untuk bekomunikasi, ia pun menerima gugatan itu dan menceraikan istrinya. Yang membuatnya lebih sedih, ia tak pernah bisa bebas bertemu anaknya ketika ia menyempatkan pulang ke Salatiga. Gadis mungil yang sudah hampir dua tahun itu tumbuh sangat cerdas kata tetangga saat beberapa kali teman saya mencoba menemuninya tapi tak pernah diizinkan. Pernah sekali bertemu, mantan mertuanya menyuruh gadis kecil itu memanggil ayahnya sendiri dengan "Om". Perih memang, tapi ia bersyukur masih bisa bertemu putrinya dan buah hatinya tumbuh sehat.

Tak pernah ada yang tahu garis nasib kita. Tak pernah ada yang mau pula kalau rumah tangganya harus berakhir seperti teman saya ini. Namun, ia hanya menjalani tugasnya sebagai hambaNya. Menerima ketetapannya saat segala ikhtiar sudah dilakukannya dengan maksimal.

Comments