Ku masih terdiam,
menghayal. Memberi warna di kehidupanku dengan mimpi dan cita. Tanpa masa depan,
takkan pernah ada keinginan dan takkan pernah ada usaha. Menyesali apa yang
sudah terjadi itu tak berarti, tapi bermimpi tanpa berusaha itu juga sama tak
berartinya.
Membuka laptop,
menghidupkannya. Memandangi layar untuk beberapa saat. Masih menerawang mimpi
dan asa yang bergelayut di benakku. Banyak bayangan berkelebatan yang muncul
satu persatu memenuhi otakku, berdesakan mendapatkan ruang terbanyak. Semakin
lama, semakin ada yang tersisih dan kumulai menemukan apa yang sebenarnya
kuharapkan untukku dan orang-orang yang kusayangi.
Mulai kutulis satu
persatu apa yang ingin kucapai. Mimpi menjadi penulis, impianku sejak duduk di
bangku sekolah. Semua orang bisa menulis, semua orang bisa membuat sebuah
rangkaian kata, tetapi tidak semua bisa jadi penulis. Penulis bukanlah bakat,
tapi keinginan untuk berbagi.Berbagi cerita, pengalaman hidup dan belajar dari
apa yang dialami orang lain itulah yang terkadang sulit untuk diungkapkan.
Sejak SMA sudah kumulai
mencoba menulis. Kata guru Bahasa Indonesia, aku punya bakat menulis fiksi
sebab tulisan fiksiku cukup lumayan. Kucoba mengirim beberapa naskah ke surat
kabar Solo Pos yang baru saja sosisalisasi tentang kepenulisan di sekolah.
Namun, dari sekian banyak yang kukirim, hanya satu yang diterima dan kala itu
aku mendapat honor Rp 90.000,- yang cukup besar untuk penulis pemula.
Meski belum punya komputer,
aku tetap berusaha untuk bisa mengetik naskah-naskah ku di rental komputer dan
menyimpannya di disket. Biasanya pulang sekolah aku mampir sebentar di retnal
komputer dekat pasar untuk sekedar mengetik satu atau dua naskah. Nanti dipirint
kalau sudah dibaca ulag.
Kelas dua SMA, orang
tuaku punya cukup rezeki untuk membelikanku komputer dan aku mulai gila
menulis. Setiap a waktu aku menulis, setiap ada kesempatan aku menulis dan aku
pun menghasilkan banyak karya yang kucoba kirimkan ke banyak media dan
penerbit. Namun, belum berhasil karena banyak karyaku tanpa jiwa.
Kucoba untuk mencari
karya yang memeiliki jiwa dengan terus menulis. Hingga akhirnya aku pun
menemukan kenyamanan menulis fiksi tapi bukan fiksi romantis. Aku bahkan nggak
tahu kenapa tiap kali menulis fiksi romantis nggak pernah ada jiwanya. Hingga
akhirnya aku memenangkan sebuah sayembara menulis fiksi yang bertemakan tentang
kegigihan menghadapi kehidupan.
Sekarang aku masih mencoba
untuk menulis novel atau artikel yang dapat mempunyai jiwa.
Dua cita-citaku yang
masih belum kumulai adalah menjadi dosen dan enterpreuner. Sejak lama aku
sangat ingin menjadi dosen karena dosen memiliki peran yang cukup banyak.
Seorang pengajar, peneliti dan pengabdi pada masyarakat. Sekali merengkuh
dayung dua tiga pulau terlampaui. Dan yang paling membuatku sangat tertarik
dosen memiliki tugas pengabdian masyarakat. Profesi yang sangat kuinginkan.
Namun, gelar sarjana yang kumiliki belum cukup untuk mewujudkan mimpi itu,
sehingga aku masih berniat untuk sekolah lagi dan masih mengumpulkan uang untuk
itu.
Menjadi pengusaha adalah
mimpi yang paling belum terencana di buku langkah ke depanku. Inilah mimpi yang
masih benar-benar mimpi, belum terbersit apa dan bagaimana lagkah untuk menuju
kesana.
Takkan kubiarkan mimpiku
menguap begitu saja, aku akan meraihnya suatu saat. Dan satu yang pasti sangat
diidamkan setiap wanita, menjadi sosok yang sempurna. Menjadi sosok sebagai
kodratnya wanita pelengkap bagi kaum pria. Memiliki rumah tangga sakinah,
mawadah dan warohmah dalam sebuah ibadah menuju ridhoNya.
Comments
Post a Comment