Menjadi ibu kos memang bukan impian, tetapi sebuah kenyataan yang harus
diterima saat menikah. Aku tidak pernah tahu kalau ternyata calon suamiku punya
usaha kos-kosan enam kamar yang dibangun di sebuah lahan seluas 2 are. Setelah menikah,
barulah kami mulai mengelola satu-satunya aset yang kami punya.
Saya mulai belajar mengelola kos-kosan dan mengelola anak kos. Saya yang
awalnya hanya sesekali bersih-bersih kos, lalu sesekali menerima anak kos,
berlanjut ke menyeleksi anak kos, menerima keluhan dan memperbaiki fasilias kos
yang akhirnya diserahkan sepenuhnya urusan kos ke saya.
Nah, dari situlah saya mulai belajar tentang mengelola kos. Pernah menjadi
anak kos, saya sedikit banyak mengerti kebutuhan kos. Air yang agak bau menjadi
kendala terbesar bagi kos. Saya selalu memberi tahu siapa saja yang kos tentang
air sumur bor yang agak bau, saya tidak mau mereka kecewa karena airnya yang
tidak sesuai yang mereka mau. Sebisa mungkin saya memperlihatkan keadaan kos
yang sesungguhnya.
Setiap yang mau booking, saya selalu memintanya melihat kondisi kos. Tidak ingin
mereka kecewa saat sudah menempati. Terkadang, foto tidak sesuai dengan
realita, jadi saya tidak mau mereka kecewa saat sudah datang karena percaya
foto. Mulai memegang kos secara penuh, saya juga mulai tahu tipe-tipe anak kos.
Awalnya, saya menerima pekerja ataupun mahasiswa. Namun, ternyata menerima
mahasiswa membuat banyak temen yang kerja merasa terganggu karena banyak teman
dan terlalu ramai. Mereka sering membawa banyak teman dan bertamu sampai malam
dengan suara yang cukup keras. Banyak yang kerja merasa terganggu dan tidak
nyaman. Terlalu banyak orang juga saya khawatir kos yang aman menjadi tidak
aman. Sejak itu, saya yang sering mendapat laporan dari anak kos yang kerja
akhirnya memninimalisasi anak kos mahasiswa, terutama mahasiswa baru.
Saya biasa menerima mahasiswa semester akhir saja yang memang sedang fokus
skripsi. mereka lebih tenang dan tidak membawa banyak teman karena fokus
menyelesaikan tugas akhir jadi tidak terlalu bising. Ketenangan di kos menjadi
kenyamanan tersendiri bagi mereka. Selain itu, kos juga bukan kos bebas meski
yang kos ada yang cewek dan ada juga yang cowok. Ada satpam dan RT setempat
yang membantu saya mengawasi. Kalau sudah berkeluarga, tetap saya minta Kartu
keluarga atau buku nikah yang membuktikan kalau memang suami istri. Saya tidak
mau kos menjadi tempat berbuat tidak baik.
Beberapa kali memang saya kecolongan, ada yang membawa pacarnya menginap
bahkan ada temannya yang berbuat tidak baik di kos dan digrebek satpam dan Rt. Meski
sudah saya ingatkan di awal, ditambah saya pertegas saat akan masuk, tapi ada
saja yang masih tidak mengindahkan. Setelah terkena grebek, malu dan akhirnya
keluar. Saya tidak masalah, malah daripada saya usir lebih baik mereka tahu
diri. Sayangnya, yang sering seperti ini justru anak mahasiswa. Sedih rasanya
mereka melakukan itu. Sekolah saja masih dibiayai orang tua, tapi tindakan
mereka semaunya. Mereka yang bekerja justru tidak pernah ada masalah karena
menggunakan kos untuk tempat istirahat.
Miris sekali, semakin kesini, semakin banyak yang mencari kos bebas. Bahkan,
mereka terang-terangan bertanya apakah bisa kos dengan pacar. Sedih sekali
menerima pertanyaan ini apalagi saat saya tanya ternyata masih kuliah. Apakah norma
sudah tidak berlaku? Dimana agama yang mereka pegang sebagai pedoman hidup? Dimana
budaya ketimuran yang selama ini ditanamkan oleh orang tua mereka? Dimana sopan
santun yang telah diwariskan turun temurun?
Apa yang ada di pikiran mereka sampai mencari kos bebas yang bisa menginap
bersama pacar? Mau apa mereka tinggal sekamar tanpa ikatan pernikahan? Inilah yang
merusak generasi muda zaman sekarang. Hidup bebas tanpa mau diatur. Melanggar aturan
seperti sebuah kebiasaan yang sudah tidak perlu malu. Urat malu sudah
benar-benar putus, tak ada lagi norma yang membentengi diri.
Memang ternyata banyak kos bebas di Mataram. Pergaulan sudah sangat
mengerikan. Narkoba menjangkit dimana-mana tak pandang bulu. Pondasi iman yang
kuat yang bisa menjadi benteng untuk banyaknya hal negatif dari lingkungan. Mereka
yang memilki kedekatan dengan keluarga dan dekat dengan Rabb nya lah yang bisa
menjaga diri dari segala yang tidak baik.
Bukan berarti tidak ada mahasiswa yang baik ya. Banyak juga yang baik dan
Shalih yang menjaga dirinya dari pengaruh buruk lingkungan. Mereka yang memilih
bermanfat untuk banyak orang dan mengejar citanya dengan jalan yang benar pun
tidak sedikit. Mereka yang mencari kos dekat masjid dengan lingkungan yang baik
pun banyak. Jadi, semoga lebih banyak orang tua di luar sana yang bisa lebih
memperhatikan putra-putrinya. Banyak yang terlihat baik di depan orang tuanya,
ternyata di belakang masih saja berbuat tidak baik. Hanya iman yang bisa
membuat mereka tahu mana yang baik dan mana yang tidak.
Semoga semua ini bisa berubah seiring berjalannya waktu, tidak ada lagi
pertanyaan “Bebas tidak, Bu?” atau “Boleh kos dengan pacar?” atau “Boleh pacar
menginap, Bu?”.
Comments
Post a Comment