Mbah Put, Tak Ada Alasan Pulang Lagi


Rasanya baru kemarin rencana pulang ke Jawa menjenguk Mbah Put tercetus. Ada sedikit uang yang bisa kami tabung untuk bisa kami gunakan untuk menjenguk satu-satunya Simbah yang masih saya punya. Beliau sangat ingin melihat kedua anakku, kedua buyut yang belum pernah bertemu bahkan cucu menantunya pun belum pernah bertemu.

Bukan karena tak berniat mempertemukan, tapi ada trauma yang masih belum bisa terhapus. Ada trauma yang ingin kubuang , tapi rasanya masih menggelayut. Aku bahkan tidak ingin berhubungan lagi dengan orang-orang di masa kecilku di sekitar tempat tinggalku dulu. Memang tidak semua memandang kami bersalah, tapi melihat mereka rasanya membuka luka yang sudah berusaha kututup sendiri. Melihat mereka seperti melihat kegelapan di masa lalu. Tak ingin kukenang lagi, aku hanya ingin hidup untuk hari ini dan masa depan, tak lagi menengok ke belakang. Cukup semua itu menjadi pelajaran hidup untuk bisa lebih bijaksana dalam mengelola titipanNya.

Mamak beberapa kali cerita, mimpi ibu mertuanya. Simbah putri yang biasa kami panggil Mbah Put. Beliau sangat ingin bertemu sosok yang semala hampir 20 tahun dirawatnya. Mertua yang sudah dianggapnya sama dengan ibu sendiri, diperlakukan dan dirawat seperti ibu sendiri. Ditinggalkan bapak proyek ke luar kota membuat mamak jadi satu-satunya yang mengerti betul kesehatan dan keadaan kedua mertuanya. Beliau pun sayang pada Mamak yang tulus pada beliau. Sayangnya, Simbah Kakung meninggal disaat yang hampir bersamaan dengan meninggalnya Papuq Nina (nenek dalam bahasa sasak) di Lombok. Saat itu kami sudah memutuskan untuk tinggal di Lombok.

Aku dan kedua adikku juga kebetulan ada di Lombok. Setelah meninggal Simbah Kakung, akhirnya si nomor dua kembali ke Jawa. Memilih untuk mengais rezeki di tempat yang disukainya. Tempatnya memiliki banyak teman dan banyak lapangan kerja dibanding di Lombok dengan modal ijazah SMA. Sejak saat itu, dia menetap dan menikah di Semarang. Meski tidak menempati rumah di Ambarawa, tapi dia sering ke Ambarawa untuk menjenguk Simbah dan mengantarkan titipan Bapak atau Mamak untuk Simbah.

Menjadi jembatan komunikasi kami dengan Simbah. Bapak pun sama sepertiku, tak sanggup menginjakkan kaki di rumah itu meski rindu mendayu. Ada luka yang tak ingin dibuka kembali, meski mungkin keadaannya tidak seperti dulu. Sudah banyak yang berubah, sudah banyak yang tidak sama, tapi luka itu masih terasa.

Hingga akhirnya berita Simbah tutup usia membuat kami sangat terpukul. Mamak baru saja sampai di Lombok setelah menyempatkan bertemu beliau. Menyempatkan melihat beliau. Sempat Mamak mengatakan, “Biar nggak kecewa.” Ternyata ini maksudnya. Itulah kali terakhir Mamak bertemu Simbah, sedangkan aku sudah sepuluh tahun yang lalu bertemu Simbah. Hanya doa yang bisa kupanjatkan untuk beliau. Tangis tak bisa kubendung. Kudekap erat putri sulungku yang tidak tahu apa yang terjadi.

Perlahan ku jelaskan alasanku menangis. Memberikan pengertian padanya kalau suatu saat semua orang akan meninggak termasuk kami. Tak adayang tahu kapan ajal akan menjemput, itulah mengapa harus terus berbuat baik dan beribadah agar meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Meninggal dalam keadaan yang sangat mulia, diterima amal ibadah dan diampuni dosanya.

Meski si sulung masih belum mengerti betul, tapi dia tak mau melepasku. Dia terus menemaniku, mendekapku dan ikut meneteskan air mata. So sweet sekali punya anak perempuan. Kami saling berpelukan dan menguatkan. Karena kasihan, aku pun menidurkannya setelah memberinya pengertian kalau aku sudah lebih baik.

Ingatanku kembali pada sosok Almarhum Mbah Kakung yang sangat mirip sifatnya dengan Bapak. Pendiam, tapi cerdas. Beliau memang bukan orang berpendidikan tinggi seperti adik-adiknya, tapi ingatannya sangat kuat. Aku sempat diberitahu tentang huruf kanji, saat penjajahan Jepang dulu beliau belajar. Beliau sering menceritakan tentang masa kecilnya hidup di zaman peperangan. 

Menceritakan bagaimana rasanya mengungsi dan rumahnya terbakar oleh tentara Belanda.
Hidup di dua zaman menjadikan beliau saksi hidup sejarah. Beliau sering diminta untuk bercerita saat hidup di zaman perang ketika memperingati hari kemerdekaan. Di kampung kami, setiap malam 17 Agustus, ada cerita tentang masa lalu yang diisi oleh sesepuh yang pernah mengalami zaman penjajahan. Aku sudah sering mendapat cerita dari Simbah Putri dan Simbah Kakung. Bagaimana mereka terpisah dari keluarga karena menyelamatkan diri, bagaimana mereka mencari keluarga mereka dan bagaimana mereka masih bisa bertahan di zaman yang sangat sulit itu.

Alm Simbah Kakung selalu mengingatkan kami untuk selalu bersyukur sudah bisa hidup nyaman setelah kemerdekaan. Tidak ada penjajahan dan tidak lagi mengungsi.  Entah kenapa aku sangat suka cerita zaman perjuangan. Aku lebik suka menyebutnya zaman perjuangan karena sedang berjuang merebut kemerdekaan dibanding kata penjajahan. Zaman penjajahan itu seolah kita mau dijajah.
Simbah Kakung pernah bercerita kalau beliau pernah tinggal di Pulau Buru. Namun, beliau tidak pernah menceritakan alasannya. Aku pun mengira itu bagian dari perjuangan. Namun, saat mbah Kakung sakit, beliau memintaku untuk membaca buku tulisan tangannya. Sebuah buku usang yang ditulisnya menggunakan tangan. Mbah Kakung sama sepertiku, suka menulis. Beliau juga suka membaca berbagai macam buku. Aku suka membeli buku dan beliau banyak membaca bukuku. 

Sering aku sengaja membelikan buku agama untuk beliau sekalian aku belajar agama.
Bapak menuruni sifat teratur dan gemar membaca dari Simbah Kakung. Beliau juga tipe pencatat yang rapi dan kuat ingatannya. Itulah mengapa beliau selalu teratur. Simbah Kakung memiliki jadwal sehari-hari yang sangat teratur. Mulai dari ke sawah setekah sholat Subuh, sarapan pagi di jam 10 dilanjutkan membantu Simbah Putri membuat keripik, lalu sholat Dzuhur. Bangun, beliau biasa duduk sambil membaca atau menunggu jemur gabah. Setelah sholat Ashar beliau biasa mengaji dan malam setelah Isya, beliau biasa mendengartkan radio BBC sebelum tidur.

Aku sampai hafal kebiasaan setiap hari beliau sampai suatu ketika, beliau tidak bisa tidur. Bahkan saat malam sekalipun. Beliau terus ingin bercerita,menceritakan masa lalunya, masa ketika beliau masih muda dan harus ada yang mendengarkan beliau bercerita. Tidak seperti biasanya, Simbah Kakung yang cenderung pendiam itu kini berubah menjadi sangat agresif. Aku bahkan sampai diketuk pintu kamar untuk mendengarkan beliau bercerita. Saat tidak ada orang di rumah, beliau pergi ke rumah Paklek saat hujan hanya untuk mencari orang yang mau mendengarkan beliau bercerita.

Herannya, daya tahan tubuh beliau menjadi begitu kuat. Biasanya kalau terkena air hujan sedikit saja beliau akan sakit, tapi beliau masih sehat saja. Hingga berhari-hari beliau tidak bisa tidur, seperti ada kelainan Jiwa, beliau terus ingin bercerita dan didengar. Sampai beliau memberikan sebuah buku tulis usang berisi tulisan tangannya. Beliau berpesan untuk aku bisa menuliskan cerita hidupnya. Aku masih tidak mengerti, aku hanya mengiyakan.

)^^^^
Buku itu hanya kutaruh di deretan buku-bukuku selama beberapa saat. Mbah Kakung akhirnya harus berobat ke Rumah Sakit Jiwa sebelum terlambat. Beliau diberi obat penenang agar bisa istirahat. Beliau boleh dijenguk sekali seminggu dan anak-anaknya bergantian menjenguk. Tidak butuh waktu lama, sekitar satu bulan Simbah dirawat, beliau sudah diperkenankan pulang.

Selama tidak ada Simbah Kakung, rumah terasa sangat sepi. Meski beliau pendiam, aku rindu cerita masa lalu beliau. Aku rindu beliau duduk di belakang kami menonton televisi. Aku rindu keberadaan beliau meski jarang berbicara banyak. Iseng kubuka buku yang diserahkannya padaku.

Ditulis dengan huruf tegak bersambung, berisi sepuluh halaman. Menggunakan bahasa Jawa halus, ada beberapa kata yang tidak bisa kutahu artinya. Namun, aku mengerti maksudnya. Beliau menceritakan siapa beliau, menceritakan masa kecil yang sangat bahagia meski hidup di zaman perjuangan. Aku sudah pernah diceritakan tentang masa kecil beliau,

Sampai pada cerita issue PKI, beliau yang hanya seorang hansip diciduk paksa kemudian dipenjarakan, dituduh PKI. Mulai saat itu, kisah pilu itu baru kutahu. Beliau dipenjarakan berpindah-pindah, harus meninggalkan anak dan istri tanpa pesan. Beberapa kali keluarganya menjenguk dan berusaha meyakinakan kalau Simbah tidak bersalah, tapi semua sia-sia. Beliau harus dipindahkan ke Nusakambangan lalu diasingkan ke Pulau Buru.

Perlakuan yang tidak manusiawi diterimanya, tapi beliau tidak menceritakan secara detail bagaimana penyiksaannya. Beberapa kali beliau hanya menyebut kalau diperlakukan sangat buruk tidak seperti manusia.

Setelah ini saya akan share ringkasan catatan buku yang Mbah Kakung tulis sendiri. Korban salah tangkap oleh pemerintah yang dianggap PKI hingga 14 tahun. Bagaimana beliau tidak pernah menyesali kehilangan 14 tahun meninggalkan anak dan istri sehingga harus menerima konsekuensi yang cukup banyak. Bagaimana beliau bersyukur atas nikmat yang masih Allah SWT berikan pada beliau.





Comments