Libur Idul Fitri tahun ini lebih panjang dari sebelumnya. Pemerintah memberikan keleluasaanuntuk mudik, sehingga banyak diberikan cuti bersama yang lebih lama dari biasanya. Berita arus mudik yang padat memenuhi jalan dan semua alat transportasi umum membuat hati ini bergetar. Pernah merasakan mudik dengan mobil sekeluarga beberapa tahun yang lalu dan terjebak macet panjang juga antrian masuk kapal hingga 1km, perjalanan Boyolal-Ambarawa yang biasa hanya 1-1,5 jam bisa jadi 4 jam. MasyaaAllah rasanya memang luar biasa. Euforia mudik itu sangat terasa.
Sejak berkeluarga, memiliki suami dan anak, tak pernah merasakan mudik jauh karena mertua ada di satu kota dang orang tua saya hanya beda Kabupaten saja. Jadilah sejak menikah belum pernah merasakan safar yang jauh. Ada kelebihannya memang, saat pandemi panjang kemarin, kami masih tetap bisa berkumpul bersama keluarga.
Libur panjang kali ini kami rencanakan untuk mengurus taman depan gerbang yang terbengkalai sejak pasca renovasi. Sepertinya tanahnya sudah tidak subur sehingga perlu digemburkan dan dipupuk kembali. Kami bermaksud menanam tanaman menjalar yang bisa menutupi panas matahari sore yang mengenai rumah kami.
Wacana itu ternyata hanya angan. Kenyataannya banyak ajakan mendadak yang membuat kami urung berkebun. Setelah mengajak Bapak mertua, Mbanya anak-anak yang sakit,melihat sirkuit Mandalika yang kini menjadi ikon baru di Lombok, mendadak di penghujung libur kami diajak ke Gili Trawangan oleh seorang sahabat.
Padahal, hari itu Nada menginap di rumah Utinya di Lombok Timur. Hari itu dia akan diajak ke Pantai bersama keluarga Besar Ibuku. Saya tidak ikut karena memang sudah silaturahim, mereka membuat acara mendadak dan memang saya yang tingal jauh cukup sulit untuk bolak-balik.
Rencana ke Gili Trawangan ini sebenarnya bukan sekedar liburan keluarga, tapi Bapak-Bapak punya misi mengambil gambar untuk youtube mereke. Jadi mungkin ini juga sebagai misi tutup mulut biar kami nggak cerewet menanyakan kapan pulang dan berujung pada minta kompensasi. Haha
Emak nggak rela dong si Sulung nggak ikut apalagi rencananya mau menginap di Gili. Sudah lama saya ingin mengajak anak-anak merasakan naik perahu. Liburan bagi kami bukan tentang seberapa mewah atau seberapa nyaman tempatnnya, tapi sebagai salah satu bagian dari pembelajaran life skill. Ada cerita, ada pengalaman dan ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap safar kami. Alhamdulillah anak-anak sudah terbiasa dengan safar yang tidak nyaman, jadi mereka pun menikmati setiap perjalanan.
Apalagi si Sulung, dia memiliki segudang pertanyaan yang membuat perjalanan menjadi menyenangkan. Ditambah ada teman sebaya yang membuat perjalanan menjadi lebih seru. Kali iini kami pergi bersama keluarga sahabat Ayahnya anak-anak sejak SD. Mereka pernah tinggal bersebelahan saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun, mertua kemudian membangun sebuah rumah di kaplingan tanah yang sudah dibelinya. Letaknya memang tak jauh dari perumahan lama tempatnya tinggal, tapi rasanya lebih nyaman karena lebih luas tanahnya sehingga bisa menampung keluarga yang lebih banyak. Kompleks yang lama berada di Perumnas sehingga cukup terbatas untuk mereka.
Persahabatan mereka berdua bahkan sampai kini, sampai berkeluarga dan sering pergi bersama keluarga. Rencana menginap bersama keluarga ini pun sudah lama menjadi wacana, tapi tak pernah bisa terealisasi dengan rencana yang disusun sejak lama karena beda profesi, beda jadwal pekerjaan.
Semua perjalanan bersama kami biasanya mendadak.
Sama seperti hari ini, ba'da sholat Dzuhur kami berangkat dari Mataram. mampir ke toko frozen food untuk membeli bekal Grill yaitu daging beku, daging ayam fillet beku, sosis dan saos pelengkapnya termasuk sumpitnya. Tak lupa kami membawa mie instant untuk berjaga-jaga kalau nanti anak-anak terburu-buru makan karena lapar. Magic com dan beras sudah kami bawa untuk menghindari kebingungan mencari makanan nantinya.
Kami pun memilih ke Bangsal, pengebrangan menuju Gili dengan kapal umum, melewati Gunung Sari. Melewati perbukitan dengan jalan berliku ini lebih cepat bila dibandingkan melewati Pesisir Pantai dengan sedikit tikungan dan tanjakan. Kami berusaha segera bisa menyeberang sebelum angin dan ombak lebih besar bila semakin sore.
Membawa pasukan kecil tentu ada saja cerita yang tak terlupakan. Anak-anak kelaparan, kami pun mampir di warung bakso pinggir jalan di daerah Lombok Utara. Sudah tidak jauh dari penyeberangan. Bakso kampung yang memiliki citarasa berbeda dengan bakso yang ada di Jawa, tapi cukup masuk di lidah kami yang terbiasa makan bakso di Jawa.
Selesai dengan urusan perut, kami pun segera menuju penyeberangan umum ke Gili. Sebenarnya ada dua alternatif penyebrangan menuju ke 3 Gili yang ada di Lombok Utara ini. Ada Teluk Nare yang bisa menjadi pilihan apabila menggunakan speed boat. Harganya tentu berbeda karena sampainya pun lebih cepat. Dari Teluk Nare ini juga ada speed boat yang menuju ke Bali langsung.
Kami memilih menggunakan transportasi umum saja dengan kapal seperti kapal nelayan yang menempuh perjalanan sekitar 15 menit sampai di Gili Trawangan. Kami memarkir mobil khusus untuk menginap dengan membayar biaya parkit Rp 50.000,-/malam.
Biaya penyeberangan kami 5 orang dewasa, 3 anak-anak diatas 6 tahun dan 1 balita yang tidak kena biaya semuaya Rp 140.000,-
Sekitar pukul 15.00 WITA kami menyeberang. Ombaknya lumayan besar, tapi masih bisa membuat kami tenang. Anak-anak menikmati perjalanan ini. Kami pun sampai di Gili Trawangan yang menjadi tujuan pengunjung saat ke Lombok. Gili Trawangan adalah primadona, tapi sejak gempa disusul pandemi kemudian dibuat Sirkuit Mandalika, pusat perhatian orang mulai bergeser ke daerah Kuta Mandalika di Selatan Lombok Tengah. Namun, Gili masih banyak wisatawan yang berkunjung karena suasananya yang memang cocok untuk berlibur.
Sesampainya di Gili Trawangan, kami istirahat sebentar di Pos Polisi menunggu Bapak-Bapak mencari penginapan. Kedua teman seperjalanan kami suami istri adalah Anggota Kepolisian jadi kami pun mendapat tempat yang nyaman untuk istirahat sejenak. Penginapan milik rekan sesama Anggota dipilih agar lebih cepat dan harga terjangkau. Memang tak di pinggir pantai, tapi tidak masalah. Kami butuh ruangan yang cukup untuk anak-anak.
Bapak-bapak memutuskan untuk mengambil satu kamar extra besar dengan 2 king bed dan 1 extra bed karena ada bujang bersama kami yang jago videografi yang diajak untuk membuat content bersama duo Bapak dua anak ini.
Perjalanan menuju ke penginapan memang agak jauh. Masih harus masuk gang sekitar 300 meter. Rasanya dibandingkan saat 2011 ke sini, daerah ini jauh lebih sepi. Karena efek pandemi atau memang sudah tidak setenar dulu, saya tidak tahu. Dulu memasuki gang seperti ini saja ramai sekali yang menawarkan kamar menginap bahkan di rumahnya. Harga murah dengan fasilitas seadanya. Saya masih ingat ketika mengantar saudara bersama teman-temannya dari Kalimantan Timur saat belum kerja.
Kini, Gili Trawangan tak seramai dulu. Memasuki kawasan penginapan bergaya klasik dengan furniture yang didominasi kayu berukir ini seperti bangunan lama yang tak terawat. Ada 4 bungallow yang dibuat seperti rumah panggung di bagian paling dekat pintu masuk seperti rusak. Di bawahnya ada dibuat seperti penampungan air, mungkin dulu digunakan untuk kolam.
Pemilik Penginapan yang merupakan anggota Polisi yang juga atlet Muaitai bersama istri yang juga seorang atlet volli Nasional itu menyambut kami dengan senyum ramah.
"Silahkan, maaf ya seadanya, kami baru buka seminggu," katanya ramah.
"Siap, tidak apa. Kami yang terimakasih."
"Ayo silahkan."
Beliau menunjukkan kamar paling ujung yang ada di lantai 2. Anak-anak yang sudah basah mandi di pantai sudah nyemplung di kolam renang yang ada di tengah penginapan.
Sejak pertama setelah mendapat penginapan, suami sudah memberitahu kalau penginapan kali ini tidak sama seperti saat kami stay cation biasanya. "Jangan kaget ya, kamarnya biasa. Kayak kamar kos, tapi ada kolamnya, lumayan buat anak-anak berenang. Kita semua sekamar, kamarnya besar."
Saya pun sudah mempersiapkan diri untuk tidak berespektasi lebih. Tidak mengapa juga, anak-anak juga harus merasakan banyak pengalaman dalam perjalanan. Tak selalu dengan fasilitas yang bagus, tapi harus bisa dengan fasilitas yang seadanya dan mungkin kurang nyaman. Namun, anak-anak sih yang penting bisa main dan berenang itu sudah menyenangkan bagi mereka.
Pegangan tangga menuju keatas terbuat dari kayu dan sudah agak lapuk. Begitu pula dengan pengaman balkon. Pintunya pun tak bisa ditutup rapat. Ruangan di dalamnya memang cukup luas, ada 2 king bed, 1 extra bed yang cukup tebal juga satu set kursi ruang tamu terbuat dari kayu yaitu satu kurs panjang, dua kursi single dan satu meja kayu. kamar mandi dan kloset terpisah dan tidak terlalu luas juga tidak terlalu sempit. Standart.
Comments
Post a Comment