Workshop Kepenulisan bersama Tere Liye di Mataram



Kamis tanggal 22 Desember 2022 kemarin, Pesantren Sayang Ibu menyelenggarakan Workshop kepenulisan yang dibuka gratis untuk umum. Antusias pesertanya MasyaaAllah. Ada sekitar 300 peserta lebih yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, guru dan orang umum yang menghadirinya. Semua antusias dengan membawa buku karya Tere Liye yang mereka punya untuk bisa mendapatkan tanda tangan penulis di akhir acara. 

Menjadi penulis dulu pernah menjadi cita-citaku karena memang sejak kecil sudah suka membaca dan ingin memiliki tulisan seperti buku yang sering kubaca. Ingin punya naskah berupa buku yang bisa dibaca banyak orang sampai pernah curhat sampai 50 halaman tentang seseorang yang pernah membuat banyak cerita saat SMA. Saya sadar kalau tidak mudah mengungkapkan isi hati melalui kalimat sehingga saya lebih nyaman dengan tulisan. 

Buku diary sudah banyak yang habis karena hampir setiap hari menulis kemudian beberapa kali berimajinasi menulis fiksi yang akhirnya mentok lalu kemudian ganti ide tulisan. Namun, saya baru sadar kalau itulah cara saya untuk bisa mengendalikan emosi. Setelah marah meluapkan lewat tulisan, rasanya lebih lega daripada hanya diam. Saya menjadi makin nyaman menulis sampai akhirnya membuat blog untuk bercerita banyak tentang apa yang ada di sekitar saya. 


Sejak saat itu juga, saya sering mengirim tulisan ke media meski hanya satu dua yang bisa terbit. Mengikuti kompetisi menulis dan hanya beberapa kali menang. Menulis adalah hobiku, cara untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku. Namun, seiring berjalannya waktu orientasi menulisku berubah. Bukan lagi untuk bisa membuat buku best seller, tapi yang penting tulisanku bisa terbaca orang dan ada makna baik yang bisa diambil dari membaca tulisanku.


Meski sempat berhenti menulis karena pekerjaan yang luar biasa dan memiliki bayi, tapi akhir-akhir ini saya kembali suka menulis untuk menceritakan apa yang ada di sekitar saya berharap bisa bermanfaat untuk bisa diambil kebaikannya.


Itulah juga alasan saya ikut workshop menulis Tere Liye yang diadakan oleh Pesantren Sayang Ibu. Bukan untuk lagi bisa menerbitkan karya, tapi saya ingin bisa mendengar cerita proses beliau dalam menapaki kehidupan.  Mengambil hikmah dan kebaikan-kebaikan secara umum yang bisa dibagikan kepada lebih banyak orang. 

Beliau mengawali dengan menceritakan pengalaman hidup beliau yang merupakan anak asal Sumatera Selatan. Beliau tinggal di kampung yang jauh dari perkotaan. Rumahnya rumah panggung dari kayu yang seperti banyak kita temui di perkampungan lama. 

Beliau menceritakan kehidupan dulu sangat menyenangkan dengan kenaturalannya.. Saat perkumpulan keluarga, orang tua berkumpul di teras membicarakan tentang ladang, hewan masuk perkampungan, permasalahan penangkapan ikan dan masih banyak lagi tentang mata pencaharian mereka. Anak-anak bermain di dalam rumah kemudian seorang Kakek mendongeng pada mereka sebagai satu-satunya hiburan karena radio apalagi TV belum ada ketika itu. Hanya orang kaya saja yang punya radio. Dongeng menjadi hiburan anak-anak yang dinanti dari orang tua. 

Bang Tere yang ternyata nama aslina Darwis itu menceritakan bagaimana setiap bulan bertemu dengan Mbah Wo, sebutan untuk salah satu sesepuh di keluarganya yang sering mendongeng. Beliau selalu bertanya pad aanak-anak ingin mendengar dongeng tentang apa. Anak-anak bergiliran menyebutkan apa yang ada di pikiran mereka. Meski cerita dongengnya itu intinya sama, tentang seorang putri yang ditawan oleh naga kemudian kesatria diminta mencari sesuatu yang ajaib yang bisa mengalahkan naga itu, tapi pengemasan ceritanya selalu berbeda. Awalan cerita dibuat berbeda, cara menceritakan dibuat berbeda juga terkadang dibuat dengan tokoh yang berbeda. Padahal, inti ceritanya sama, tentang penculikan dan penyelamatan dengan sesuatu yang ajaib yang harus dengan perjuangan mendapatkannya kemudian akhirnya menang dan hidup bahagia.

Beliau ingin memberikan pesan kalau cerita yang intinya sama, pengemasan dan penyampaian dengan cara yang berbeda akan terasa berbeda oleh pembaca. Cari lebih banyak sudut pandang dalam bercerita.

Tak hanya soal itu, si anak kampung yang jauh dari kota ini ternyata memiliki cita-cita yang tinggi hingga akhirnya bisa kuliah di Universitas Indonesia. Tak banyak orang memikirkan kuliah pada masa beliau. Namun, beliau bisa masuk di UI meski harus menempuh perjalanan panjang dengan bus PATAS menyeberang selat sunda untuk bisa pulang ke kampung halamannya setahun sekali. 

Banyak cerita menginspirasi di hari itu dan ituah yang saya cari sebenarnya. Mendengar pengalaman beliau yang ternyata pernah melalakukan hal yang mungkin sekarang bisa ditertawakan. Beliau suka menulis dan sempat ditolak tulisannya. Kemudian menulis artikel dan opini yang dimuat di media lokal hingga beliau beralih ke menulis fiksi. Buku pertamanya adalah Hafalan Surat Delisa. Setting tanah Sumatera menggambarkan asal beliau.

Buku itu ternyata sempat ditolak oleh 3 penerbit besar hingga akhirnya Republika menerimanya. Namum, lucunya buku novel itu malah dipajang di Buku Agama yang sempat dianggap menyesatkan karena dikira isinya surat yang tidak sesuai dengan ajaran Al Qur'an. Butuh waktu lama sampai akhirnya buku itu laku dan difilmkan. Beliau belajar untuk menulis judul yang lebih menarik sehingga tidak dipajang di tempat yang tidak tepat di toko buku. Meski saat itu bingung membuat  akhir cerita yang bagaimana, akhirnya beliau menyelesaikan di saat sudah tidak bisa melanjutkannya lagi. 

MasyaaAllah.... tidak ada yang instant di dunia ini. Semua butuh proses untuk sampai di titik tertentu. Terkadang kita tidak tahu maksud Allah SWT menunda kesuksesan kita, kadang kita tidak tahu rahasia langit membuat kita terpuruk sampai di titik terendah. Namun, mereka yang mampu mengambil hika
Beliau pun bercerita alasan menjadi penulis dan melakukan roadshow ke seluruh Indonesia untuk bisa memantik jiwa penulis anak muda usia SMP SMA. Usia inilah usia yang paling bagus imajiansinya. Usia yang pas untuk berproses.

Beliau juga pernah cerita kalau pernah salah melakukan riset selama beberapa tahun untuk menulis buku Rindu. Buku Rindu  yang banyak orang mengira cerita remaja galau ternyata tentang perjalann haji tahun 1938 yang saat itu masih menggunakan Kapal Laut. Beliau menuliskan kapal itu bersandar di Bengkulu dan penumpangnya bisa istirahat menikmati pantai. Seorang dosen mengritik kalau tahun itu belum ada pelabuhan disana. Beliau pun sadar kalau melewatkan riset soal Bengkulu kala itu. Hal itu bukan menjadikan beliau sedih, tapi harus lebih teliti dan lengkap lagi saat melakukan riset untuk membuat sebuah buku.

Menulis itu bisa dilakukan oleh semua orang, apalagi teknologi smartphone yang bisa berkomunikasi melalui whatsapp membuat kita setiap hari harus menulis. Jadi, tidak ada alasan tidak bisa menulis. Semua orang bisa menulis.

Tere Liye memberikan 5 tips menulis versinya yaitu:
  1. Topik tulisan bisa apa saja, tapi penulis yang baik bisa menemukan sudut pandang yang spesial
  2. Penulis membutuhkan amunisi, tanpa amunisi tidak bisa menulis. Amunisi bisa didapatkan dengan riset, memperbanyak baca, bertemu orang dan banyak perjalanan
  3. Gaya bahasa adalah kebiasaan. Kalimat pertama adalah mudah, menyelesaikannya lebih gampang lagi.
  4. Mulailah dari tulisan kecil, pendek yang bertenaga. sederhana, tapi bermanfaat
  5. Latihan
Tidak ada tips khusus untuk menulis karena pada dasarnya semua orang bisa menulis. Hanya saja, untuk mendapatkan tulisan yang membuat pembaca menikmati tulisan. Selain itu, penulis adalah orang yang memiliki wawasan dan sudut pandang yang luas sehingga bisa menghadirkan tulisan yang bisa dinikmati pembaca dengan informasi yang utuh dan menyeluruh. 

Melakukan perjalanan, bertemu orang dan membaca adalah kunci penulis menghadirkan tulisan yang berkualitas. Tulisan akan menjadi lebih bermakna dengan banyak pengetahuan dan kebijaksanaan. 

Beliau menekankan pentingnya literasi sejak dini.

#ceritaventi


Comments