Frekuensi Pasangan yang Makin Seirama

 Menikah. 

Sebuah kata yang banyak orang menilai sebagai sebuah pencapaian. Banyak yang membuatnya menjadi target hidup dan impian karena semua berharap menikah adalah untuk seumur hidup. Bagi mereka yang belum menikah, pasti memiliki espektasi yang tinggi tentang menikah. Namun, jarang yang bisa menerima kenyataan dan peristiwa tak terduga yang terjadi setelah menikah.

Persiapan pernikahan biasanya menjadi titik awal banyaknya perbedaan dan selisih pendapat. Menyatukan dua manusia saja sulit, apalagi dua keluarga yang tentu memiliki harapan tersendiri tentang pernikahan impian putra-putri mereka. Perbedaan latar belakang, perbedaan susut pandang dan budaya sangat berpengaruh terhadap kelancaran acara. Mungkin memang mempelai lebih mudah menyepakati perbedaan, tapi kadang tidak dengan keluarga kedua belah pihak, apalagi cara komunikasinya pun tidak efektif.

Baru saja, seorang sepupu dari keluarga Ibu di Lombok Timur melangsungkan pernikahan dengan orang Lombok Barat. Masih dalam satu suku yang sama, meski mereka sudah tidak berasal asli dari suku sasak karena ada campuran darah Jawa. Namun, mereka sudah tingal lama di Lombok sehingga paham betul adaat istiadat daerah setempat. 

Komunikasi yang terjadi antara si calon pengantin dengan keluarganya terjadi kurang efektif karena perantara pihak ketiga, yaitu adik si laki-laki sehingga banyak terjadi salah paham. Si pengantin tidak langsung membicarakannya dengan orang tuanya karena dirinya bertugas jauh di pulau sebrang. Kesalahpahaman banyak terjadi karena informasi yang bias. Terkadang banyak perbedaan pendapat terjadi karena komunikasi yang tidak baik, bukan karena kedua belah pihak yang tak mau mengalah.

Kami yang sudah pernah mengalami proses ini pun menyadari pentingnya komunikasi efektif menjelang pernikahan. Banyak orang yang harus dijaga perasaannya, harus dimengerti dan dihormati untuk bisa membuat mereka tak kecewa. Sulit memang membahagiakan semua orang, tapi paling tidak meminimalisir kekecewaan.

Kami yang sudah lebih dulu membangun rumah tangga pun banyak belajar dari pengalaman. Kami yang baru kenal, bahkan belum sempat berkenalan dengan keluarga selain keluarga ini ketika itu, berusaha untuk sebisa mungkin menjembatani keinginan kedua belah keluarga yang ingin ikut merasakan bahagia. Meski jelas tidak ada yang sempurna, tapi paling tidak banyak hal yang bisa tertangani dengan baik. Banyak hal yang bisa berjalan baik dan tentu saja tetap ada yang berjalan tak sesuai keinginan.

Syukur adalah kunci setiap keikhlasan. Awal menikah adalah saat terberat kami. Baru kenal dan beradaptasi dengan kebiasaan masing-masing dan sifat masing-masing yang baru diketahui setelah menikah. Hamil anak pertama dalam keadaan sedikit tertekan karena banyak perbedaan ketika itu sempat membuat pendarahan. Namun, Allah masih memberikan kami kesempatan untuk merawat bayi pertama kami. 

Memberi kesempatan kami untuk terus belajar menjadi orang tua dan pasangan yang lebih baik meski masih sangat jauh dari sempurna. Apalagi ketika itu tinggal di rumah orang tua, komunikasi suami istri terjalin tidak efektif karena banyak yang harus kami redam tak terkatakan. Ditambah perbedaan pendapat kecil dengan orang tua yang kadang membuat kami harus mengalah, tapi hati tak sepenuhnya ikhlas. Orang tua sangat baik, tapi kami merasa tidak memiliki privasi. Banyak hal harus diketahui dan terkadang malu akan kekurangan kami sendiri.

Sampai akhirnya kami sepakat untuk mandiri. Tinggal di sebuah rumah kecil sederhana yang sedikit memaksa membeli agar bisa hdiup terpisah di umur Si Sulung 2 tahun. Komunikasi kami berjalan lebih baik dan bisa lebih terbuka. Banyak hal bisa kami bahas dengan leluasa dan kami masih terus belajar menjadi orang tua yang lebih baik karena nyatanya kami masih sering marah. Marah adalah satu hal yang sangat sulit dikendalikan seketika karena banyak faktor yang memicu. 

Pola komunikasi dan sikap kami pun berubah seiring berjalannya waktu. Kami saling belajar menjadi lebih baik dan menyamakan ritme juga tujuan hidup. Semakin lama, kami semakin banyak kesamaan. Meski banyak sifat yang belum berubah, tapi sedikit demi sedikit bisa menyesuaikan agar tak saling menyakiti dan menyalahkan.

Begitu pula dengan pola asuh anak-anak. Awalnya kami menyampaikan bagaimana keinginan kami tentang pola asuh anak-anak. Semakin lama, kami menemukan jembatan bagaimana cara yang menurut kami terbaik untuk kami terapkan pada anak-anak. Si Ayah yang cenderung memaknai belajar identik dengan membaca, menulis dan diam di meja sedangkan saya yang memaknai belajar adalah sebuah wawasan yang luas tentang kehidupan dan ilmu pengetahuan. Tak hanya tentang baca, tulis, buku dan sejenisnya, tapi termasuk mengenal lingkungan sekitar, berbuat baik (akhlaq), bersosialisasi dan mencoba hal baru adalah bagian dari belajar. 

Si Ayah juga selalu mengatakan kalau tingkat kesuksesan anak itu hanya dari akademik, tapi saya tidak. Sukses adalah saat dia mengerti apa yang dia mau, dia melakukan apa yang dia suka dengan baik dan bermanfaat lalu dia mengembangkan kesukaannya menjadi sesuatu yang berguna. Saya tidak pernah menjadikan materi atau sebuah angka sebagai pencapaian, tapi menjadi lebih baik dari sebelumnya dan bermanfaat bagi lebih banyak orang akan membuat kita menjadi hamba Allah yang tidak sia-sia.

Tentu ini tidak mudah. Bahkan sampai sekarang masih banyak yang belum bisa kami samakan tentang visi misi tujuan mendidik anak-anak. Namun, saya yakin suatu saat kami akan menemukan tujuan yang sama seiring berjalannya waktu dan kehidupan yang terus berubah. Ada Allah yang membolak-balikkan hati manusia. Kami hanya berharap yang terbaik untuk anak-anak kami yang kelak kami pertanggungjawabkan di hadapanNya.

Semoga kami tetap bisa menjadi orang tua yang amanah, menjaga dan mempertanggungjawabkan titipanNya.

Bersyukur telah memberikan keluarga yang baik, lingkungan yang baik dan banyak kebaikan lain dalam hidup kami. Semoga kami bisa lebih bermanfaat untuk orang di sekitar kami. 





Comments