Cerita Perjalanan renovasi

Alhamdulillah.... sampailah kami di penghujung penantian. Pulang ke rumah setelah tiga bulan lebih menginap di rumah neneknya anak-anak menunggu renovasi. Rasanya sangat lama dan banyak cerita selama tinggal di rumah mertua. Tentu, banyak pelajaran yang bisa kami petik selama berada di sana. 

Saat pertama kali mengetahui rumah ini akan mulai renovasi, aku sadar kalau kami akan tinggal sementara di rumah neneknya anak-anak. Ada kekhawatiran yang tak bisa dibendung. Seperti ada trauma yang tak bisa diceritakan. Entah darimana datangnya, tiba-tiba asam lambungku naik. Perut terasa begitu perih sore itu. Tepat ketika hari dimana aku diberikan informasi kalau rumah akan segera direnovasi.

Rasanya begitu berbeda. Rasanya begitu tak karuan. Semua menjadi sangat tidak nyaman. Semua menjadi sangat tidak menyenangkan hanya karena kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan. Aku belum tahu apa yang akan terjadi nanti ketika tinggal satu atap dengan mertua untuk beberapa bulan ini. Namun, pengalaman yang sudah terjadi, banyak sekali ketidaknyamanan yang membuatku takut bahkan untuk memulainya.

Sedikit demi sedikit mencoba untuk mengubah perspektif, mencoba untuk berfikir positif. Niatkan tinggal disana sebagai salah satu cara bakti kepada mereka sebagai orang tua. Entah bagaimana rasanya begitu berat. Itulah kenapa agama bahkan memberikan tuntunan untuk berpisah rumah ketika sudah menikah bila memungkinkan. Tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi rumah tangga tersebut. 

Kami memilih untuk mandiri, hidup terpisah dari orang tua karena mereka masih bisa mengurus diri mereka sendiri. Meski Bapak mertua sakit, tapi beliau masih bisa diurus oleh ibu dan kami pun bersama dengan kakak membayar ART untuk menemani dan membantu pekerjaan rumah beliau. Bukan kami tidak mau, tapi akan lebih nyaman saat kami mengaturnya seperti ini. Kapanpun beliau butuh, kami akan selalu ada.

Satu hal yang paling saya tidak nyaman saat berada satu rumah dengan mertua atau orang tua adalah ketika mereka mengintervensi pola didik dan pola asuh kami. Kami memang bukan yang paling benar dalam mendidik anak, tapi kami tahu kemana tujuan kami mendidik anak-anak. Kami belajar bagaimana membersamai mereka untuk mereka bisa menjadi pribadi yang baik, sholehah dan memiliki pondasi kuat untuk menjalani kehidupan yang kelak akan sangat berbeda dengan saat ini, tapi mereka tetap bisa menjadi pembawa kebaikan dan kemanfaatan.

Benar saja, banyak hal yang berbeda diantara kami tentang pola asuh. Saya adalah tipe yang memang lebih ketat tentang disiplin dan kemandirian agar anak-anak bisa menjadi pribadi yang kuat dan mandiri sesuaid engan usianya. Namun, seperti kebanyakan semua nenek dan kakek, mereka lebih mendahulukan kesukaan dan kesenangan cucunya dibandingkan mendampingi tumbuh kembangnya untuk menyiapkan generasi penerus yang bermanfaat.

Daripada melihat cucunya tidak makan, mereka memilih menyuapi. Daripada melihat cucunya berantakin rumah, lebih baik disodorin HP. Tentu hati emak meronta-ronta. Kedisiplinan yang telah terbangun runtuh seketika dengan pembelaan dari nenek kakeknya pada cucu yang mereka sayangi. 

Menurut beberapa referensi yang saya baca, nenek dan kakek tentu memiliki tujuan yang berbeda. Nenek dan kakek akan lebih memilih menyayangi cucunya dengan memanjakan karena mereka ingin selalu dekat dengan cucunya. Berbeda dengan orang tua yang lebih banyak memikirkan masa depannya. 

Rasanya masih tidak percaya kami memulai merenovasi rumah. Dana yang kami punya bahkan jauh dari estimasi total biaya renovasi yang dibuat oleh pemborong dengan kesepakatan desain yang kami i ajukan. Kami memang membutuhkan dua kamar tambahan untuk anak-anak yang kami tempatkan di atas. Kamar di bawah hanya kamar utama kami saja dan ruang tamu berserta ruang keluarga yang dibuat tanpa sekat dan lebih luas untuk menerima tamu. 

Desain yang unik dan berbeda menjadi impian kami. Bukan rumah mewah dan megah karena kami memang tidak suka rumah megah. Kami hanya ingin rumah yang nyaman untuk kami tinggali dan tidak membuat bosan untuk berada di rumah. Memang karena kami juga lebih suka berada di dalam rumah berlama-lama.

Saat rumah ini mulai dibangun, kami pun tinggal sementara di rumah Nenek Kakeknya anak-anak dari suami. Mereka sangat senang karena rumah menjadi ramai dengan suara anak-anak. Tak ada cucu yang tinggal disana karena kami semua memilih untuk mandiri. 

Konsekuensi yang harus kami hadapi saat tinggal di rumah Nenek adalah jauh dari sekolah dan tempat mengaji. Sekolah si Sulung yang sudah SD membutuhkan waktu sekitar 25 menit untuk sampai dari rumah Nenek. Padahal, kalau dari rumah kami hanya butuh waktu 5 menit saja. Selain itu, mengaji setiap sore di kompleks membuatku harus kembali mengantarnya di sore hari.

Sebenarnya kegiatan itu membuatku bisa menghindari berada di rumah mertua lebih lama. Bisa menghindari konflik yang mungkin akan timbul saat di rumah mertua berlama-lama. Namun, selalu ada konsekuensi dari setiap apa yang kita lakukan. Tubuhku terasa sangat lelah saat malam tiba. 

Tentu kelelahan dan ketidaknyamanan berpengaruh besar pada psikologis saya. Saya jadi mudah marah, mudah sedih dan mudah merasa tidak percaya diri. Merasa kalau pola didik pada anak diintervensi, disalahkan oleh Mbahnya dan tidak bisa leluasa mengorganisasi keluarga seperti biasanya. Apalagi tipe seperti saya yang tidak suka diikutcampuri, tidak suka diintervensi dan diprovokasi. 

Di rumah mertua juga ruang gerak saya terbatas. Tidak bisa melakukan apresiasi pada diri dengan menulis atau melakukan kegiatan yang saya suka seperti menulis. Saya terjebak pada rutinitas, tidak ada waktu me time, tidak ada waktu refreshing, travelling seperti biasanya. Keseharianku terasa sangat membosankan dan tak menyenangkan. Satu-satunya refreshing yang bisa kulakukan hanya ikut suami ke tempat dinasnya sekalian ke rumah orang tuaku di desa. 

Bisa ngobrol dengan banyak orang, bisa melepaskan sedikit beban pikiran yang terasa penuh dan melakukan kegiatan yang aku sukai. 

Buka hanya itu, saya juga masih tetap harus mengurus kos-kosan yang dibangun oleh suami dan sekarang saya kelola. Mengurus kos-kosan bukan hanya perkara menerima bayaran kos dan menyiapkan untuk yang kos selanjutnya. Namun, mengurus kos-kosan lebih daripada itu. Mengurus kos-kosan juga termasuk memberi warna untuk kos.

Saat kami sedang renovasi, kos ternyata juga butuh banyak perhatian. Perhatian yang bahkan meminta lebih dari biasanya. Pompa air mulai sering minta diperbaiki, belum lagi halaman kos yang kotor dan rumput yang tumbuh subur kalau tidak sering dibersihkan. Saya pun tak bisa seperti dulu punya banyak waktu untuk membersihkan halaman karena ada dua sholehah yang harus diurus belum lagi renovasi rumah yang menyita fikiran dan tenaga. 

Disaat yang sama pula, banyak yang keluar masuk kos. Ada 3 kamar yang sering berganti penyewa dengan segala dramanya seperti cover kasur yang sobek, dipan yang minta dilepas dan dipasang kembali, semua terasa begitu menyita pikiran, tenaga dan keuangan. Semua terasa begitu berat, tapi kami harus tetap kuat. Kami tidak ingin merepotkan lebih banyak orang. Kami tak ingin bisa berdiri sendiri, tak lagi merepotkan.

Saat itulah sepertinya emosi terasa campur aduk. Hati rasanya tidak tenang, ditambah anak-anak yang bosan di rumah mbah nya. Tidak ada mainan yang boleh berantakan, tak bebas berkreasi dan ditambah ibunya yang tidak bisa menerapkan disiplin pada anak. Rasanya saat itu sungguh seperti buah simalakama. Apalagi kalau mulai memberi ketegasan pada anak, dinilai berlebihan atau tidak sayang.

Pernah suatu hari saya sedang berdebat dengan si Sulung. Saya memang memberikan disiplin yang lebih untuk dia yang sudah mulai beranjak 7 tahun. Mengajarkan disiplin dan mengelola emosi. Saya adalah tipe yang ekspresif. Kami memiliki cara berbeda mengungkapkan emosi terutama amarah. Saya lebih suka diam sampai mereda amarah, sedangkan si Sulung lebih suka berteriak-teriak, ngomel bahkan sampai memukul2 tembok atau kasur sambil gulung-gulung. Bedanya, kami membutuhkan waktu yang berbeda untuk meredam emosi. 

Saat itulah, si Mbah yang mendengar cerita dari si Sulung yang bilang kalau dia sedang tidak diajak bicara Bunda dan Bunda lebih memilih adek. Satu kalimat itu membuat Mbah nya menyimpulkan kalau Bundanya tidak adil pada anak. Mbah nya mengejudge Bunndanya sebagai orang yang tidak adil dan mengingatkan kalau jangan sampai anak dendam pada orang tua.

Tentu saya menjadi tidak nyaman dan tidak leluasa mengelola emosi dan menemukan jalan untuk bisa mengatasi perbedaan cara kami mengungkapkan emosi. Saya menjadi tertekan selama berada disana, banyak hal harus saya redam, tapi rasanya sangat tidak nyaman. Akhirnya, anak-anak menjadi korban. Saya sangat sering marah pada anak-anak. Tentu ini tidak sehat.

Tidak sehat secara hubungan dengan anak, tidak sehat pula dengan komunikasi dengan pasangan. Kami butuh ruang untuk berkomunikasi dengan leluasa, tanpa dicampuri oleh pendapat orang lain selain kami dan untuk bisa benar-benar memahami satu sama lain.

Benar ternyata Islam mengatur segala sisi kehidupan manusia. Memang mandiri itu lebih baik dibanding harus bersama dengan orang tua, tapi dengan catatan bukan berarti meninggalkan kewajiban pada orang tua. Kapanpun orang tua membutuhkan, kita harus tetap ada untuk mereka. Agar sama-sama nyaman dan sehat secara psikologis.

Sampai akhirnya, kami pun kembali ke rumah dengan semangat baru dan suasana baru. Kembali ke rumah, kami bangun kembali tujuan kami, kami perbaiki psikologis kami. Meski mungkin dari segi finansial kami sedang tidak baik-baik saja, tapi dari segi psikologis jelas kami lebih sehat. Itulah yang penting bagi kami saat ini agar tetap bisa mendampingi anak-anak tanpa mudah tersulut amarah.

Semoga dengan perbaikan rumah ini, ibadah dan ilmu kami pun terus lebih baik sehingga menjadi keluarga yang Qurrota A'yun dan bermanfaat. 





Comments