Kemah di Camping Ground 1000 Meter Sembalun

Lebaran kedua di masa pandemi. Lebih ketat dari tahun lalu, lebaran kali ini sepertinya banyak yang sudah mulai silaturahim. Bukan hanya karena memang sudah new normal, tapi seperti balas dendam lebaran tahun lalu yang sama sekali tidak bisa saling mengunjungi dan semua serba terbatas. Masih ada beberapa orang yang sangat menjaga untuk tidak saling bersalaman, tapi sebagian besar sudah lebih santai menanggapinya.

Beraktifitas dengan tetap memperhatikan untuk mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Saya adalah salah satu dari segelintir yang lebih santai menghadapinya. Kami beberapa kali melakukan stay cation bersama teman dekat atau keluarga inti saja dengan tetap berusaha mematuhi protokol kesehatan. Kami bukan mengabaikan, tapi kesehatan jiwa juga perlu dirawat agar tiadk menjadi boomerang untuk masalah yang lain.

Rencana menyeberang pulau harus kami kesampingkan karena pandemi. Cuti besar si Ayah yang memang terjadi pada saat pandemi membuat kami justru bisa mengalihkannya untuk membuat sebuah hunian kecil pengganti kos untuk si Ayah yang dinas di Lombok Timur. Sebuah investasi kecil yang bisa kami gunakan sebagai sarana menabung untuk anak-anak.

Salah satu yang termasuk dalam kurikulum pendidikan kami dalam mendidik anak-anak adalah memberikan pengalaman dan memori pada mereka tentang banyak hal. Beberapa kali kami mengajakanya stay cation untuk memberikan memori indah untuknya kelak memiliki banyak kenangan bersama kami. Kenangan yang juga mengajarkan banyak hal padanya tentang bumi Allah yang begitu luas dan Allah Yang Maha Kuasa.

Idul Fitri kedua Keluarga Piknikus tidak ada yang mudik karena pandemi, kami pun merencanakan untuk kemah di Sembalun. Salah satu dari kami pernah kemah bersama tetangganya dan kali ini mengajak kami merasakan hal yang sama. 

Kami sepakat untuk kemah di Kemping Ground 1000 meter di bawah kaki Bukit Pergasingan Sembalun. Wisata pegunungan menjadi terasa berbeda dengan kemah dan kabin yang disediakan oleh pemilik lahan. Kemah yang disediakan beragam, mulai dari yang utnuk dua orang hingga cukup untuk 4 orang. Kami tidak bisa semua ikut karena ada yang harus pulang ke Sumbawa untuk menjenguk orang tuanya yang sedang sakit. Satu lagi sakit yang tidak memungkinkan untuk bepergian jauh karena masih sakit. 

Kami pun berangkat dengan tiga kendaraan yang terdiri dari emapt keluarga. Tiga keluarga dengan dua anak, sedangkan satu keluarga hanya seorang saja karena masih sendiri. Kami melakukan perjalan di lebaran ketiga yang infonya penjagaan di beberapa titik diperketat untuk menghindari kerumunan di beberapa tempat wisata. Oleh karena itu, kami pun berangkat setelah Sholat Subuh lewat jalur utara yang lebih jauh menuju Sembalun. 

Kami membawa bekal untuk sarapan di jalan karena takut belum ada warung yang buka sedangkan nanti disana kami bisa membeli langsung di lokasi yang menyediakan makanan. Kami melewati pesisir Pantai Senggigi sampai ke Pemenang Lombok Utara lalu lewat Bayan yang terdapat Masjid tertua di Lombok. Daerah tersebut merupakan gerbang masuknya Islam di Lombok. 

Setelah melewati Bayan, Senaru, Kokok Putek, kami pun sampai di daerah Sembalun yang mulai terasa dingin. Masih sangat pagi, sekitar jam 9 pagi kami sudah sampai di lokasi perkemahan. Keluarga Mas Catur yang pernah kesini bersama tetangga kompleksnya sudah melakukan reservasi sebelumnya, tapi beberapa tenda belum ready karena pengunjung belum check out.

Untungnya ada tempat makan dan tempat duduk yang bisa kami gunakan untuk main anak-anak. Kami menikmati bekal makanan yang sudah kami bawa sekalian menunggu tenda dan kabin kami siap digunakan. Kami memesan tiga tenda besar, satu tenda kecil dan satu kabin untuk sholat dan kumpul anak-anak. Kami bisa menyesuaikan dalam berbagai suasana, jadi kemanapun kami selalu bisa menyesuaikan. Kompor portable dan alat masak sederhana siap dengan mie instant berbagai rasa untuk menemani perut yang lapar karena udara dingin.

Kami menunggu beberapa orang yang sedang survei lokasi petik strawberry dan petik apel untuk anak-anak. Namun, ternyata hari itu pengunjung cukup ramai. Sepertinya memang banyak yang ke Sembalun untuk stay cation ataupun untuk sekedar menikmati suasana pegunungan dengan minum kopi dan petik buah dan sayur. Kami merupakan salah satu dari mereka yang mencoba untuk menghibur teman-teman yang tidak mudik dengan kemping bersama. 

Petik strawberry penuh, jadilah kami hari itu hanya di perkemahan. Menemani anak-anak yang berkeliaran kesana kemari asik bermain. Bapak-bapak entah sedang asik dengan apa, yang pasti mereka lebih betah ngobrol lama dibanding kami ibu-ibu yang akhirnya memilih untuk tidur siang di tempat yang berbeda. Ada yang memilih di tenda, di bangku depan dan saya memilih di kabin bersama anak-anak yang main keluar masuk.

Selesai sholat Ashar, kami mencoba menaiki bukit yang tidak terlalu terjal dan jalannya pun estetik dengan pohon bambu yang dipagari sehingga dibuat wisata bambu. Sampai di parkiran jalan menuju Bukit Tangkok, anak-anak ketiduran karena capek. Jadilah saya harus menunggu anak-anak di bawah, sedangkan yang lain naik lebih tinggi dari saat kami naik dulu. 

Urusan naik bukit, memang setelah menjadi ibu dua anak, saya kurang suka karena lelah apalagi harus menggendong si kecil yang masih berumur dua tahun, Menunggu di parkiran yang terdapat rumah adat yang rusak terkena gempa bersama dua anak yang pulas sekali tidurnya karena lelah bermain seharian. Begitu masuk mobil, keduanya sudah tak tahan mengantuk.

Selesai mendaki Bukit Selong, kami kembali ke perkemahan. Rencana grill harus gagal karena ternyata rumah makan yang biasa menyediakan bahannya sudah habis. Sepertinya hari ini memang banyak sekali pengunjung. Strawberry yang merah sudah tak banyak terlihat di wisata petik terbesar di daerah itu. Roti tawar, sosis dan telur yang kami harapkan bisa menjadi sarapan pagi kami pun harus pupus karena habis. Antrian di minimarket retail yang menjamur pun tak terbendung. Banyak yang stay cation karena pantai dan tempat wisata lain ditutup. Namun, Sembalun cukup ramai hari ini terlihat dari beberapa hotel yang terlihat ramai mobil yang parkir. Tempat kami berkemah pun terlihat cukup ramai karena parkiran mobil penuh. Apalagi ada lagi satu keluarga yang ikut bergabung malam itu dengan menambah satu tenda besar yang berkapasitas delapan orang.

Kami pun menikmati malam dengan teh dan kopi hangat juga mie instant yang kami bawa. Selain itu, yang lain memilih untuk membeli makanan di warung yang menyediakan rawon juga mie instant rebus untuk menghangatkan badan. Anak-anak asik bermain di Kabin saat udara menjadi terasa semakin dingin. Jaket, kaos kaki dan selimut sudah kami keluarkan untuk menahan dingin yang merasuk ke tulang. Namun, anak-anak speerti tak merasa kedinginan karena terus bergerak dan bermain.

Saat satu per satu mulai mengantuk dan tidur, kami pun masuk tidur. Bapak-bapak masih asik dengan gitar dan bernyanyi di luar. Ada sekelompok anak muda yang membuat api unggun di sisi lain yang juga bermain gitar dengan lebih energik. Membuat suasana malam menjadi terasa begitu syahdu. Ini pertama kali saya berkemah selain saat masih sekolah. Beberapa kali sahabat mengajak berkemah, tapi saya tidak pernah mau karena mempertimbangkan kamar mandi yang kalau kemah sesungguhnya pasti tidak ada kamar mandi bersih bahkan harus buang air di semak-semak. Itulah yang saya tak pernah mau diajak berkemah meski memiliki sahabat dekat sejak kecil suka sekali naik gunung.

Paginya, kami tidak memilih naik ke Bukit Pergasingan yang berada tepat di depan kami karena waktu tempuhnya yang lumayan sekitar 2 jam sampai di puncak dengan jalan yang cukup terjal. Kami memilih menikmati suasana pagi dan menyambut matahari di gundukan tanah yang cukup tinggi di dekat tempat berkemah. Seluruh mata memandang hanya ada bukit dan Gunung Rinjani yang menjulang memperlihatkan keperkasaanya. Memperlihatkan betapa Maha Besar Allah yang menciptakan bumi dengan segala isinya.

Mengajarkan pada anak-anak kalau ada banyak hal yang harus kita capai dengan susah payah seperti mencapai puncak bukit di depan kami saat itu. Mendaki gunung tidak mudah, tapi keindahan di atasnya bisa melihat bumi Allah dari ketinggian adalah bonus yang bisa didapatkan ketika mau berusaha dan menghadapi tantangan juga rintangan selama perjalanan. Melihat Bumi Allah lebih banyak saat diatas dan banyak keindahan lain seperti bisa menyentuh awan melihat matahari terbit dan tenggelam serasa lebih dekat. 

Melihat betapa suburnya lembah gunung dan lereng gunung meski beresiko terkena lahar saat gunung berapi aktif tersebut meluapkan lahar dari perut bumi. Begitulah Allah SWT mengatur segalanya dengan keseimbangan dan harmoni yang membuat bumi ini adalah tempat untuk belajar dan beribadah. Hal itulah yang selalu ingin saya sampaikan kepada kedua buah hati kami. Tak selamanya hidup itu nyaman. Akan ada masa ketika kita harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu atau hanya sekedar untuk bertahan. Ada kalanya mudah, tapi ada kalanya sulit bahkan mungkin tak tercapai. Yakin pada takdir Allah adalah landasan ikhlas dalam menerima setiap apa yang terjadi dalam hidup. 







Comments