Masih seperti dulu, dia
masih seceria dulu. Entah sudah berapa lama tak mendengar suaranya, tak
mendengar gelak tawa yang khas dan candaannya yang membuatku lupa akan permasalahan
yang sedang kualami. Dulu kami sering komunikasi lewat telfon, sekarang sudah
sangat jarang. Tak seperti dulu yang paling nggak dua bulan sekali kami pasti
telfon-telfonan sekedar menceritakan apa yang kami alami di tempat kami saat
itu.
Persahabatan kami
terjalin sejak kami duduk di bangku SD. Damar Sadewo Adi namanya, tapi aku
memanggilnya Dewo. Ada juga yang manggilnya Ambon karena mirip orang Ambon yang
imut (item mutlak). Dewo sebulan lebih tua dariku dan kami tinggal di satu
desa. Waktu Taman Kanak-Kanak, kami berada di sekolah yang sama, tapi dia
setahun lebih dulu dariku. Waktu itu kami masih tak saling mengenal karena beda
kelas.
Lulus dari TK, Dewo yang
terkenal nakaldi kampungku dimasukkan ke pondok pesantren oleh Bapaknya dengan
harapan bisa lebih baik dan nggak nakal lagi. Kenakalan seorang anak yang
berontak karena orang tuanya bercerai. Dewo kecil kecewa dengan kedua orang
tuanya yang memutuskan bercerai karena bapaknya tak mau mengakui anak yang ada
dalam rahim istrinya adalah darah dagingnya. Pertengkaran hebat dan suasana
rumah yang sangat tidak nyaman membuat Dewo kecil yang ketia itu antara
mengerti dan tidak mengerti terkena imbasnya. Kasih sayang mereka pada ketiga
putra yang ada di hadapannya berkurang. Tak ada lagi kebahagiaan dan kehangatan
keluarga di rumah itu.
Setelah bercerai, ibu
kembali ke rumah orang tuanya sedangkan ia bersama kakak dan adiknya tinggal
bersama Mbah (orang tua bapak) dan bapak.
Sesuatu yang sangat
dibutuhkannya ketika itu, perhatian dan kasih sayang. Ia pun mencari perhatian
di luar rumah dan mencari kesenangan yang tak didapatkannya di rumah. Mengajak
teman-teman sebayanya main tak kenal waktu di sawah atau mencari ikan di
sungai. Banyak orang tua yang mengeluhkan kenakalan Dewo yang suka mengajak
anak-anak mereka bermain hingga petang tak kenal waktu.
Hingga akhirnya bapak
memutuskan untuk memasukkannya di pondok pesantren dengan harapan putranya bisa
lebih baik dan mengurangi sedikit kenakalannya.
“Ya terserah kamu aja,
kamu kan bapaknya. Kalau menurutmu itu yang terbaik ya sana, tapi apa Dewo
mau?” tanya Mbah Putri kerika bapak menyampaikan maksudnya menaruh Dewo di
pondok terdekat.Meski sebenarnya bapak yang sedikit keras kepala tidak
sepenuhnya meminta pendapat Mbah Putri.
Niat bapak sudah bulat
bertekad untuk memasukkan Dewo ke pondok pesantren karena sudah tak sanggup
mengurus Dewo yang nggak bisa lagi dicegah. Disaat teman-temannya
berbondong-bondong masuk SD negeri dan sebuah SD swasta yayasan kristen
terdekat, Dewo merasa aneh karena hanya dirinya yang tak dihebohkan dengan
pendaftaran sekolah seperti teman-teman yang lain.
“Waktu itu aku diajak
bapak, katanya mau diajak maen. Tumben, pikirku. Ternyata aku dibawa ke pondok.
Tapi aku nggak tahu mau ditinggal disana” Dewo menceritakan ini ketika kami
duduk di bangku SMA. Lari pagi di taman yang baru dibangun untuk area lari pagi
membuat kami banyak bercerita.
Ia ditinggalkan oleh
bapak ketika sedang melihat kamar diajak Pak Kyai.
“Ini kamarmu, kata Pak
Kyai. Langsung aku tahu kalau aku ditinggal disana. Aku keluar cari bapak udah
nggak ada”ceritanya datar sambil berlari kecil, sedikit terengah-engah.
“Trus kamu gimana?”
“Ya ngamuk, aku rusak
lemari kamarku. Aku ngamuk minta pulang, tapi trus dinasehatin Pak Yai, jadi
aku agak tenang. Tapi aku lupa apa nasehatnya.haha...”
Dewo cerita kalau dia
sering membuat masalah saat masih di pondok, makanya dia terkenal paling sering
dihukum. Bolos satu kegiatan, nggak mau menuruti aturan dan merusak inventaris
pondok adalah yang paling sering dilakukannya.Hukuman udah jadi makanan
sehari-harinya, itulah yang membuatnya terkenang hingga saat ini.
Dia terkenal bukan karena
prestasinya, tapi karena kenakalannya.Yang namanya dikurung di gudang itu udah
langganan, dijemur di lapangan udah hobi dan bersihin kamar mandi udah
rutinitas. Semua hukuman sudah pernah dijalaninya. Katanya sengaja biar
dikeluarkan, tapi sayangnya usahanya nggak langsung disambut seperti dugaannya.
Pernah suatu kali dia
dihukum dikurung di dalam karung. Diikat di dalam karung yang kemudian
didiamkan di depan kelas. Ada beberapa teman yang iseng menendanginya.
“Aku marah banget trus
aku bolongin tuh karung biar bisa keluar. Habis keluar aku tendangin gantian
temen-temen yang nendangin aku. Eh, aku kena marah lagi sama Bu Nyai (istri Pak
Kyai pemimpin pondok pesantren). Habis itu dikurung di gudang. Haha...”ia
tertawa lepas. Aku tertawa mendengar cerita itu.
Hampir tiga tahun berada
di pondok pesantren dengan berbagai hukuman yang dijalaninya, ternyata masih
belum bisa membuatnya menjadi lebih baik sampai akhirnya ia memutuskan kabur
dari pondok bersama dua orang temannya. Ia mengajak dua orang teman yang
tinggal di Semarang untuk kabur dari pondok. Pondok yang terletak di Kecamatan
Grabag letaknya sekitar 20 km dari rumahnya yang ada di Kecamatan Ambarawa.
Sepakat kabur pagi-pagi,
mereka ngeloyor setelah sholat Subuh berjamaah, mencari pagar yang tak terlalu
tinggi untuk dipanjat. Rencana berjalan mulus, disaat yang lain sedang mengaji
dan ada beberapa yang antre mandi, tiga bocah laki-laki berkulit legam itu
memanjat tembok pondok yang cukup tinggi dan berhasil melarikan diri dengan
mulus.
Melarikan diri tanpa
bekal di umur yang baru 10 tahun adalah tindakan bodoh yang pernah
dilakukannya. Bukannya lebih baik tapi malah berhasil menorehkan sejarah gila
dalam hidupnya. Karena tak ada bekal uang sepeserpun, mereka harus rela
berjalan sekitar 20 km sampai rumah Dewo, rumah yang paling dekat diantara
mereka bertiga. Rumah dua orang temannya masih sekitar 30 km lagi dari rumah
Dewo jadi mereka memutuskan untuk singgah dulu di rumah Dewo.
Anak usia 10 tahun
berjalan lebih dari 20 km. Konyol.
Sampai di rumah Dewo,
mereka kelelahan akut. Mbah Putri kaget melihat cucunya yang difikir masih
belajar di pondok pesantren ada di hadapannya sore itu dengan wajah pucat dan
nggak sendiri. Beliau makin histeris melihat dua bocah bersama cucunya yang
wajahnya sama pucatnya dengan kekagetannya.
“Mbah, laper,” kata
pertama yang diucapkannya melihat wajah Mbah Putri yang shock. Namun, melihat
wajah cucunya yang kelelahan, ia pun lupa dengan semua pertanyaan yang menumpuk
di benaknya.
Langsung disodorkannya
minum untuk ketiga bocah yang ada di hadapan beliau. Disiapkan makan dengan
lauk pindang dan sayur asem yang dimasaknya tadi pagi yang tinggal sedikit.
“Sini sini makan dulu,”
katanya menyuruh ketiga bocah itu duduk di ruang makan.
Gimana nggak capek, jalan
kaki tanpa bekal dan tanpa istirahat lebih dari 20 km.gila.
Setelah makan, Dewo
meminta uang pada Mbah Putri untuk mengongkosi kedua temannya pulang sampai
rumahnya di Ungaran.
“Mbah, minta uang,”kata
Dewo kecil setelah kenyang.
“Buat apa?”
“Ongkos naik angkot
mereka pulang ke Ungaran”
“Rumah kalian di
Ungaran?” tanya Mbah Putri. Toni dan Agus mengangguk. Mbah Putri nggak banyak
tanya karena dia dalam benaknya pasti cucunya yang mengajak kedua anak berwajah
lugu itu kabur.
“Hati-hati ya, tau kan
angkutannya?” tanya Mbah sambil menyerahkan dua lembar uang Ribuan (dulu naik
angkutan masih lima ratus rupiah) pada kedua bocah itu.
Mereka pun pamit setelah
mendapat uang dari Mbah Putri. Diantar Dewo sampai jalan raya sampai mereka
naik angkutan.
Itulah yang kusuka
darinya. Pengertian dan setia kawan yang tak berubah sampai sekarang.
*_*_*
Tak mau kejadian yang sama terulang lagi dan
terlanjut malu dengan orang pondok, bapak memasukkan Dewo di SD Negeri tempatku
sekolah. Ketika itu sudah hampir kenaikan kelas, Dewo dimasukkan di kelas 3 SD,
satu tingkat di atasku. Namun, karena baru beberapa bulan sekolah, akhirnya dia
tak dinaikkan bersama teman-teman sekelasnya.
Kami pun berada di satu
kelas, ketika itu image kabur dari pondok membuatnya dicap anak nakal. Begitu
pula denganku yang terimbas oleh issue itu karena banyak orang tua yang tak
suka anaknya main dengan Dewo yang terlalu bebas. Aku tak pernah mau dekat
dengannya ataupun main dengannya, hanya sekedar sebagai teman sekelas.
Seiring waktu berjalan,
semua persepsi itu berubah. Waktu membuktikan semuanya. Adik laki-lakiku,
Ardis, berada di kelas di bawah kami. Aku dan adikku hanya selisih satu tahun.
Ia begitu dekat dengan Dewo, sering pulang bareng dan main bareng selama berada
di sekolah. Mamak sudah sering mengingatkannya jangan sering main sama Dewo,
tapi adek nggak pernah menghiraukan. Malah dia lebih menurut dengan Dewo
dibanding denganku sampai aku sempat kesal dengan anak bandel yang sering bikin
kecerobohan di kelas itu.
Hingga semua persepsiku
tentangnya berubah.Ia, anak bandel itu, setia menunggu Dek Ardis yang sakit
pulang sekolah. Dia mengantar adek sampai di rumah disaat aku sendiri nggak
tahu kalau adikku sakit. Mamak dan aku kaget melihat keadaan adikku yang pucat
dan tubuhnya panas setibanya di rumah.
“Mak, Ardis sakit,” kata
Dewo dengan wajah polosnya melihat mamak duduk di depan rumah.
“Oh, iya. Makasih ya udah
nganter,” kata mamak yang langsung khawatir melihat wajah pucar adikku.
“Dewo nunggu aku,
berkali-kali aku berhenti di jalan tadi nggak kuat jalan. Cuma dia yang mau
nunguin aku dan nganter sampai ke rumah,”kata adikku setelah Dewo pergi sebelum
sempat mamak bertanya banyak hal padanya.
Hari itu adalah hari yang
tak terlupakan bagiku. Rasa bersalah dan simpati berkecamuk. Sejak hari itu,
persepsiku tentangnya eberubah seketika.Aku pun mencoba bersikap lebih baik
padanya meski sikap cueknya masih membuat hubungan kami tak banyak yang
berubah.
*_*_*_*
Seleksi pelajar teladan
kelas lima mendekatkan kami. Kandidat pelajar teladan cowok yang seharusnya
Nuri tiba-tiba diganti Dewo oleh Bu Lasmi. Entah dengan pertimbangan apa si
cuek ini dipilih sebagai wakil dari sekolah untuk mengikuti seleksi pelajar
teladan seKecamatan.
Sejak itu kami jadi
sering belajar bersama. Malam-malam dia kerumah dengan sepeda kesayangannya
untuk belajar bersama dua hari sebelum kami bertanding otak. Sampai di rumah,
listrik padam. Kami pun belajar dengan lilin sampai jam 10 malam. Karena belum
nyala juga, akhirnya Dewo pulang diantar Mamak dan Budhe Warni (tetangga depan
rumah).
Malam itu, kami merasa
sudah seperti keluarga.
Bu Ratmi sempat bilang
“Kasihan Dewo. Dia kecewa dengan orang tuanya yang cerai. Makanya dia nggak mau
ikut ayah ataupun ibunya,” katanya ketika kami menunggu guru tariku bersiap
melatihku untuk pertandingan esok. Dewo nggak masuk sepuluh besar di seleksi
ujian tulis jadi tinggal aku yang berjuang sendiri di ujian kesenian dan
ketrampilan.
Ketika itu aku masih
berumur 11 tahun, duduk di kelas 5 SD, masih belum mengerti betul maksud Bu
Ratmi.Hanya mengangguk sok ngerti.
“Dia marah pada orang
tuanya yang bercerai, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa,” kalimat ini sedikit
memperjelas meski ketika itu aku masih belum paham benar. Yang pasti aku mulai
sayang padanya, seperti kakakku, kuanggap dia seperti keluargaku sendiri.
Sebelum kami lulus SD,
bapak menikah lagi. Dewo punya ibu tiri. Ia membenci ibu tirinya dan memandang
buruk semua yang dilakukan ibu tirinya. Ia membuang uang yang diberi ibu
tirinya, memandang perhatian ibu tirinya hanya untuk merebut hati bapak dan ia
pun tak mau urusannya dicampuri ibu tirinya. Dewo sering menceritakan
kenalakalan pada ibu tirinya itu padaku, ‘mungkin benar kata BU Ratmi’ batinku.
Yang membuatku meneteskan
air mata adalah ketika pernah suatu hari ibu kandungnya menyusulnya di sekolah
sepulang kami sekolah. Ia mencium Dewo dengan kerinduan yang membuncah. Entah
berapa lama mereka tak bertemu. Raut muka dewo kecil begitu datar, tapi
terlihat dia sangat senang bertemu ibunya. Sosok yang sangat diharapkannya ada
di rumah setiap ia pulang sekolah, menemaninya tidur dan menyiapkan semua
kebutuhannya sebelum berangkat sekolah. Namun, tak pernah didapatkannya.
Pertemuan mereka pun hanya bisa sesekali karena ibu sibuk jualan di pasar.
Sepuluh menit yang sangat berarti baginya, aku tahu dari tatapan matanya. Acuh
dan diamnya tak mampu menutupi kejujuran matanya.
Pemandangan yang sangat
mengharukan. Sekali dan tak pernah kulupa pertemuan mereka itu.
*_*_*_*
Perpisahan kelas enam,
kami diajak study tour ke Cilacap oleh guru kami. ada beberapa teman yang
ditemani orang tuanya, tapi aku dan Dewo termasuk yang nggak. Kami kumpul di
sekolah pagi-pagi buta karena perjalanan ke Cilacap cukup jauh sekitar 4 jam.
Hari itu Dewo datang dengan pakaian kumalnya seperti biasa dan dia cerita tak
membawa uang saku sepeserpun karena ayahnya tak memberinya uang bahkan tadinya
dia dilarang ikut, tapi Dewo tetap bersikeras ikut.
Aku tak tahu harus
berbuat apa, hanya mendengar cerita darinya yang kebingungan tak membawa uang
saku sepeserpun. Mamak sudah marah-marah mendengar ceritaku. “Orang tua macam
apa sih tega sekali,”kata mamak sambil mengeluarkan dompet untuk memberinya
uang saku.
Untunglah bapaknya tak
sekejam itu, ia datang memberikan uang saku yang pas-pasan pada Dewo.
Bukan hanya kali itu saja
Dewo seperti tak punya orang tua. Saat mendaftar di sekolah yang sama denganku,
dia datang sendiri ke sekolah, tak seperti teman-teman lain yang didampingi
orang tuanya. Mamak yang tak tega melihatnya jadi mengurusku dan dia. Mamak
yang mengurus semuanya.
Namun, hubungan kami tak sedekat
saat masih SD.Mungkin karena kami baru puber, banyak yang mengejek kami pacaran
kalau kami terlalu dekat jadi kami pun menjauh. Hubungan kami tak sedekat dulu,
aku dekat dengan beberapa teman cewek sedangkan Dewo masih dengan bandelnya dan
beberapa teman cowoknya lengkap dengan kenakalan anak muda mereka seperti bolos
dan tidur di kelas.
Tak banyak cerita tentang
persahabatan kami di SMP.
Semuanya kembali saat
SMA. Persahabatan indah kami kembali dimulai.
Kami saling bantu dalam
menyelesaikan tugas. Bahkan saat aku libur, Dewo datang dengan menyerahkan
setumpuk pekerjaan rumahnya yang harus diselesaikannya selama dia magang.
Melihat tumpukan tugas membosankan itu, aku Cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Harusnya aku kan
liburan,” kataku protes ketika ia datang dengan buru-buru membawa tumpukan
tugasnya.
“Alah, ini mah kamu
kedipin aja jadi, gampang kok. Minggu depan aku ambil ya? Oke?” katanya sambil
ngeloyor pergi berangkat magang di Ungaran.
Namun, sebaliknya kalau
ada tugas yang berhubungan dengan Teknik Informatika atau Design gambar, dialah
tujuan utamaku. Datang ke rumahnya bermodal laptop, nunggu dia nyelesein sambil
nonton TV.
Banyak hal kami lakukan
bersama.
Kami sering ke
perpustakaan daerah bersama, hotspotan ke stasiun jalan kaki lewat rel kereta
api karena nggak punya uang buat ongkos. Kegiatan kepemudaan di desa kami
selalu bersama, dia yang setia mengantar dan menjemputku. Sampai-sampai kami dikira
pacaran, tapi apapun yang merkea katakan, persahabatan dan persaudaraan kami
tak pernah pudar.
Hati kami tak tergoyahkan
oleh ejekan dan olokan orang-orang. bahkan sampai dia kerja di luar kota,
akulah yang paling sering ditelfon untuk menanyakan kabar Mbah nya. Bahkan ayah
dan kakaknya menanyakan kabar Dewo padaku. ia pun selalu menyempatkan datang ke
rumah setiap kali mudik.
Persahabatan kami sangat
indah. Kami berbagi cerita dan berbagi rasa.
Dia sangat suka naik
gunung, hidupnya bebas dan tak ingin terikat. Hobinya naik gunung sejak SMA
membuatnya punya banyak teman dan banyak pengalaman. Namun, yang selalu
membuatku salut padanya adalah ketika ia punya banyak teman dengan beragam
karakter, ia tak pernah terbawa dan tetap menjadi diri sendiri. bahkan, ia yang
sejak kecil sudah brokeh home sampai sekarang merokok pun tidak. Apalagi minum
atau lebih dari itu, tapi dia tetap bisa bergabung dengan komunitas itu meski
tak melakukan hal yang sama seperti mereka.
Keramahan dan
ketulusannya dalam berteman membuatnya disukai banyak orang. setia kawan dan
tak memandang status dalam berteman membuatnya mudah bergaul.
Jiwa cuek dan bebasnya
terbawa sampai ke pekerjaannya. Tak pernah bertahan lama bekerja di suatu
instansi. Ada saja kesalahannya yang membuat atasannya marah, tapi anehnya ia
selalu keluar dengan mengundurkan diri, bukan dipecat. Itulah Dewo, secepat ia
memperoleh pekerjaan, secepat itu pula ia keluar dari tempat kerjanya. Sadis.
Awalnya ia bekerja di
Banten, sebuah percetakan bersama beberapa teman dari sekolah yang sama.
Lulusan SMK Grafika jurusan persiapan percetakan membuatnya terampil dalam
design percetakan. Namun, karena terlalu banyak pekerjaan dan tak sesuai dengan
gaji, ia pun memutuskan untuk resign selesai kontrak yang ditanatangani melalui
perantara sekolahnya.
Ia kemudian bekerja di
toko peralatan jahit di Jakarta. Ada seorang temannya yang menawari pekerjaan
itu sejak lama, tapi Dewo mencoba untuk bertahan di Bandung yang akhirnya
berujung resign juga. Teman-temannya sering minum-minuman keras dan berjudi di
tempat kerja barunya. Saat-saat itulah ia lebih memilih menelfonku daripada
ikut perbuatan yang tak ada manfaatnya itu.
Tak genap enam bulan, ia
sudah keluar lagi dan memilih menjadi karyawan sebuah percetakan foto baru buka
di Indramayu. Bosnya kerja di Pakistan, mereka bertemu di internet, komunikasi
lewat webcam dan Dewo dipercaya menjalankan usaha percetakan yang baru
dididirikannya di Indramayu, dekat rumah si bos. Sebuah kamar disediakan
untuknya dan dipercaya untuk memanage usaha itu dibawah pengawasan istri si
bos. Awalnya dia suka karena pekerjaan itu lebih sesuai dengan jiwanya.
Bukan Dewo namanya kalo
bertahan lama di satu tempat kerja.Karena istri bos terlalu pelit dan perhitungan
lama-lama dia kesal. Ia harus memberi tambahan upah pada pekerja lepas dari
gajinya sendiri sebab jatah yang diberikan istri bos terlalu sedikit dan tidak
sepadan dengan beban kerja yang diberikan. Semakin banyak pengalamannya,
semakin kebaikan hatinya terpancar.
Sampai akhirnya dia berniat
resign dan memilih merintis usaha di rumah. Meminjam modal dari bapaknya yang
sulitnya naudzubillah. Jadi inget dulu waktu SMA dia sering melebihkan uang
buku dengan nota dari temannya karena pelitnya bapak. Raja bolos dan telat yang
dijuluki ‘kepala suku’ oleh teman-temannya ini cukup ulet dan punya banyak akal.
Ia sudah punya langkah yag lain ketika memutuskan untuk berhenti bekerja.
‘Kamu mau berhenti lagi?
Kenapa?’tanyaku saat ia mengungkapkan niatnya untuk resign.
‘Istrinya bosku pelit.
Aku males,’
‘Pelit gimana sih?’
“Masak dia ua kasih 50
ribu sama anak yang bantuin aku selesein pesenan lima ratus stiker? Dua hari
kita ngerjain tuh”
“Hah? Trus?”
“Ya aku minta ditambah
upah buat mereka, tapi nggak dikasih. Akhirnya aku kasih aja dari gajiku,”
Semakin jauh, semakin
intens komunikasi kami. hampir sebulan sekali dia menelfonku sekedar ngobrol
dan menanyakan kabar Mbahnya. Malam itu untuk kedua kalinya dia menceritakan
niatnya untuk resign dari tempat kerjanya yang ketiga.
“Udah cerewet, pelit
pula, masak dia ngitung berapa habis kertas berapa kertas stiker berapa
persediaan yang ada trus aku disuruh ngirit, padahal itu kan buat promosi juga,”
“Haha...namanya juga
pengusaha, semua harus dihitung dong. Kalo ga gitu banyakan nyumbangnya,
bangkrut usaha,”
“Tapi ini kebangetan tau
gak,”
“Trus kamu udah punya
rencana lagi keluar dari sana?”
“Belum sih, makanya ini
masih cari-cari. Eh, kamu tau nggak kabar mbahku?”
“Kemarin aku lewat depan
rumah mbahmu, beliau lagi nyapu. Kayaknya sih sehat. Emang kamu nggak pernah
telfon? Telfon sana, mbahmu sering nanyain kabarmu ke aku, kasihan beliau
kangen tuh,”
“Nggak, Mas Galih ganti
nomer makanya aku nggak bisa telfon. Mintain nomernya Mas Galih ya”
“Oke” berasa juru bicara
aja aku ini.
*_*_*_*
Selesai sholat, aku kaget
ada sosoknya di pintu ruang sholat di rumah. Dengan senyum khasnya yang hanya
kelihatan putih giginya, langsung bersalam “Assalamu’alaykum....”
“Wa’alayukumussalam...”
aku bengong sesaat, nggak percaya. Dia nggak bilang mau pulang, biasanya dia
cerita kalau mau pulang.
“Heh, kenapa nggak bilang
mau pulang?” kataku sambil memukul lengannya.
“Sengaja pengen buat
kejutan”
“Trus mana oleh-oleh?
hah?”
“Hehe....lupa. besok lari
pagi ya”
“Apa? kamu dateng Cuma
buat ngajak lari pagi dan nggak ada oleh2?”
Awalnya aku nggak mau,
tapi pagi-pagi buta si hitam udah nangkring di rumah lengkap dengan sepatu,
celana pendek dan kaos oblong. Aku masih pakai baju tidur selesai bersih-bersih
rumah.
“Ayo dong....” katanya
menarik lengan bajuku seperti anak kecil sambil mengikutiku manyapu lantai.
“Mau kemana Wo?” tanya
Mbah putri yang melihat Dewo membujukku.
“Ngajakin ini lari-lari
dari tadi nggak mau,”
Sambil menyiram bunga Mbah
Putri Cuma senyum. Dia sudah seperti keluarga di rumahku, cucunya mbah dan
anaknya mamak. Mbah sering menanyakan Dewo ketika ia jarang muncul di rumah. Kemanapun
kalo sama Dewo pasti boleh. Makanya kemanapun acara remaja di desaku, aku
selalu harus bersamanya. Nggak ada cowok sebaik dia yang kupercaya di desaku. Pemudanya
udah dirusak dengan minuman keras dan judi.
Satu hal yang kurang
darinya hanyalah tentang menghadapi lawan jenis. Sampai aku pindah dia nggak
pernah pacaran meski pernah terjebak dalam tantangan teman-temannya ‘nembak’
cewek. Sayangnya ditolak, tapi si cewek malah balas mengejar Dewo ketika ia
sudah tak lagi mendapat tantangan dari teman-temannya. Tiap kali ada yang
sedikit agresif mendekatinya, akulah tamengnya. Aku yang angkat telfon dan
balas sms cewek itu bertindak sebagai pacar bohongannya.
“Kamu dimana?” telfonnya
di siang bolang nggak ada hujan nggak ada angin.
“Di rumah, mau ke rumah
bulek, kenapa?”
“Aku butuh bantuan nih.
penting”
“Apaan sih, ya udah nanti
tak jemput. Temenin aku ke rumah bulek baru nanti tak bantu kamu, gimana?”
“Oke”
aku pikir sesuatu yang
bener-bener penting dan urgent. Ternyata Cuma masalah cewek yang terus
mengejarnya hingga menghubungi adik laki-lakinya.
“Cuma masalah begini
doang kamu bulang penting banget hah?” kataku sedikit kecewa mendengar
ceritanya yang ternyata tak seheboh bayanganku.
“Ini penting ya. Dia ini kelewatan,
sampe sms Momo segala nggak tak jawab telfonnya”
“Tinggal bilang kamu udah
punya pacar, selesai dah,”
“Udah, tapi dia masih
nggak percaya,”
“Tampangmu sih nggak
meyakinkan. Sini!” kataku menyambar hapenya. Menjawab panggilan telfon yang sedari
tadi berbunyi sepanjang perjalanan, tapi sengaja nggak diangkat.
Dengan gaya khas sok jadi
pacarnya Dewo aku pun mulai berakting. Dan berhasil. After that, si cewek yang
kata Dewo manis itu udah nggak pernah lagi hubungin dia.
Misi pertama berhasil dan
selanjutnya tetap berhasil.
Namun, di tengah
pertanyaan ‘dia normal nggak ya kok semua cewek yang ngeeketin selalu
ditolaknya pake senjata aku?, si hitam ini menceritakan kalau dia sebenarnya
menyukai seorang teman sebangkuku ketika duduk di bangku SMP. Dia manis, mungil
dan pendiam.
Jiwa bebasnya mendambakan
sosok keibuan yang bisa sedikit meredam kebebasan itu. dia membutuhkan sosok
penyejuk dalam terik hatinya sejak kecil yang bisa dilihatnya dari sosok
sahabatku. Namun, ia baru menceritakannya saat lulus SMA. Sayangnya, aku tak
bisa membantu apapun karena hubunganku dengan Sofa, sosok itu, sudah mulai
merenggang sejak kami kuliah.
Aku hanya berharap Dewo
bisa mendapat yang terbaik untukny dan masa depannya. Wanita yang sesuai dengan
apa yang selama ini didambakannya.
Keradaannya membuatku
merasa punya sosok kakak yang selama ini kuharapkan. Meski tak terlihat
ngayomi, tapi keberadaannya cukup menenangkahn hatiku. Cuma dia yang membuatku
berat meninggalkan pulau padat penduduk itu disaat musibah menimpa keluarga
kami dan aku harus pindah ke Lombok. Takkan pernah bisa mendapatkan sahabat
sebaik dia, dia tak pernah tergantikan.
Sejak ia kembali resign
keempat kalinya dari tempat kerjanya perusahaan ekspor impor karena pernah
disokrs gara-gara salah mengirim barang, aku tak pernah lagi bertemu dengannya.
Peristiwa yang terjadi
pada keluarga kami membuatku menghentikan sosialisasi dengan semua sekitar rumah
kecuali dengannya. Ketika itu aku hanya ingin menjauh dari semua orang yang
tahu tentang kehidupan kami, tapi satu hal yang tak pernah ikhlas untuk
kutinggalkan adalah persahabatan indah kami. Takkan pernah kutemukan sahabat
sebaik dan setulus ia. Tak ada yang menggantikannya di hatiku.
Persahabatan kami tak
pernah lekang oleh apapum, meski aku sangat merindukannya dan kami jarang
berkomunikasi, tapi hati kami masih sangat dekat. Tak pernah kutemukan sahabat
yang mengjarkanku banyak hal tanpa menggurui sepertinya. Hidup dalam keluarga
yang kurang harmonis dan kemarahannya pada kedua orang tuanya tak membuatnya
terjebak dalam pergaulan yang tak baik.
Kebersamaan kami di Gunung Telomoyo. Dia belum tidur semalaman, tapi karena janji denganku makanya dia tetap menemaniku hari itu.
kegilaannya yang nggak pernag terlupakan
kurang kerjaan foto di semak2.
kecapekan belum tidur semalaman tidur di tengah jalan di Puncak Telomoyo
Kebersamaan kami tak tergambarkan tapi setidaknya gambar-gambar ini bisa mengobati sedikit kerinduan padanya. Sahabat...kau tak tergantikan
Comments
Post a Comment