Sahabatku, Dewo nih


Masih seperti dulu, dia masih seceria dulu. Entah sudah berapa lama tak mendengar suaranya, tak mendengar gelak tawa yang khas dan candaannya yang membuatku lupa akan permasalahan yang sedang kualami. Dulu kami sering komunikasi lewat telfon, sekarang sudah sangat jarang. Tak seperti dulu yang paling nggak dua bulan sekali kami pasti telfon-telfonan sekedar menceritakan apa yang kami alami di tempat kami saat itu.
Persahabatan kami terjalin sejak kami duduk di bangku SD. Damar Sadewo Adi namanya, tapi aku memanggilnya Dewo. Ada juga yang manggilnya Ambon karena mirip orang Ambon yang imut (item mutlak). Dewo sebulan lebih tua dariku dan kami tinggal di satu desa. Waktu Taman Kanak-Kanak, kami berada di sekolah yang sama, tapi dia setahun lebih dulu dariku. Waktu itu kami masih tak saling mengenal karena beda kelas.
Lulus dari TK, Dewo yang terkenal nakaldi kampungku dimasukkan ke pondok pesantren oleh Bapaknya dengan harapan bisa lebih baik dan nggak nakal lagi. Kenakalan seorang anak yang berontak karena orang tuanya bercerai. Dewo kecil kecewa dengan kedua orang tuanya yang memutuskan bercerai karena bapaknya tak mau mengakui anak yang ada dalam rahim istrinya adalah darah dagingnya. Pertengkaran hebat dan suasana rumah yang sangat tidak nyaman membuat Dewo kecil yang ketia itu antara mengerti dan tidak mengerti terkena imbasnya. Kasih sayang mereka pada ketiga putra yang ada di hadapannya berkurang. Tak ada lagi kebahagiaan dan kehangatan keluarga di rumah itu.
Setelah bercerai, ibu kembali ke rumah orang tuanya sedangkan ia bersama kakak dan adiknya tinggal bersama Mbah (orang tua bapak) dan bapak.
Sesuatu yang sangat dibutuhkannya ketika itu, perhatian dan kasih sayang. Ia pun mencari perhatian di luar rumah dan mencari kesenangan yang tak didapatkannya di rumah. Mengajak teman-teman sebayanya main tak kenal waktu di sawah atau mencari ikan di sungai. Banyak orang tua yang mengeluhkan kenakalan Dewo yang suka mengajak anak-anak mereka bermain hingga petang tak kenal waktu.
Hingga akhirnya bapak memutuskan untuk memasukkannya di pondok pesantren dengan harapan putranya bisa lebih baik dan mengurangi sedikit kenakalannya.
“Ya terserah kamu aja, kamu kan bapaknya. Kalau menurutmu itu yang terbaik ya sana, tapi apa Dewo mau?” tanya Mbah Putri kerika bapak menyampaikan maksudnya menaruh Dewo di pondok terdekat.Meski sebenarnya bapak yang sedikit keras kepala tidak sepenuhnya meminta pendapat Mbah Putri.
Niat bapak sudah bulat bertekad untuk memasukkan Dewo ke pondok pesantren karena sudah tak sanggup mengurus Dewo yang nggak bisa lagi dicegah. Disaat teman-temannya berbondong-bondong masuk SD negeri dan sebuah SD swasta yayasan kristen terdekat, Dewo merasa aneh karena hanya dirinya yang tak dihebohkan dengan pendaftaran sekolah seperti teman-teman yang lain.
“Waktu itu aku diajak bapak, katanya mau diajak maen. Tumben, pikirku. Ternyata aku dibawa ke pondok. Tapi aku nggak tahu mau ditinggal disana” Dewo menceritakan ini ketika kami duduk di bangku SMA. Lari pagi di taman yang baru dibangun untuk area lari pagi membuat kami banyak bercerita.
Ia ditinggalkan oleh bapak ketika sedang melihat kamar diajak Pak Kyai.
“Ini kamarmu, kata Pak Kyai. Langsung aku tahu kalau aku ditinggal disana. Aku keluar cari bapak udah nggak ada”ceritanya datar sambil berlari kecil, sedikit terengah-engah.
“Trus kamu gimana?”
“Ya ngamuk, aku rusak lemari kamarku. Aku ngamuk minta pulang, tapi trus dinasehatin Pak Yai, jadi aku agak tenang. Tapi aku lupa apa nasehatnya.haha...”
Dewo cerita kalau dia sering membuat masalah saat masih di pondok, makanya dia terkenal paling sering dihukum. Bolos satu kegiatan, nggak mau menuruti aturan dan merusak inventaris pondok adalah yang paling sering dilakukannya.Hukuman udah jadi makanan sehari-harinya, itulah yang membuatnya terkenang hingga saat ini.
Dia terkenal bukan karena prestasinya, tapi karena kenakalannya.Yang namanya dikurung di gudang itu udah langganan, dijemur di lapangan udah hobi dan bersihin kamar mandi udah rutinitas. Semua hukuman sudah pernah dijalaninya. Katanya sengaja biar dikeluarkan, tapi sayangnya usahanya nggak langsung disambut seperti dugaannya.
Pernah suatu kali dia dihukum dikurung di dalam karung. Diikat di dalam karung yang kemudian didiamkan di depan kelas. Ada beberapa teman yang iseng menendanginya.
“Aku marah banget trus aku bolongin tuh karung biar bisa keluar. Habis keluar aku tendangin gantian temen-temen yang nendangin aku. Eh, aku kena marah lagi sama Bu Nyai (istri Pak Kyai pemimpin pondok pesantren). Habis itu dikurung di gudang. Haha...”ia tertawa lepas. Aku tertawa mendengar cerita itu.
Hampir tiga tahun berada di pondok pesantren dengan berbagai hukuman yang dijalaninya, ternyata masih belum bisa membuatnya menjadi lebih baik sampai akhirnya ia memutuskan kabur dari pondok bersama dua orang temannya. Ia mengajak dua orang teman yang tinggal di Semarang untuk kabur dari pondok. Pondok yang terletak di Kecamatan Grabag letaknya sekitar 20 km dari rumahnya yang ada di Kecamatan Ambarawa.
Sepakat kabur pagi-pagi, mereka ngeloyor setelah sholat Subuh berjamaah, mencari pagar yang tak terlalu tinggi untuk dipanjat. Rencana berjalan mulus, disaat yang lain sedang mengaji dan ada beberapa yang antre mandi, tiga bocah laki-laki berkulit legam itu memanjat tembok pondok yang cukup tinggi dan berhasil melarikan diri dengan mulus.
Melarikan diri tanpa bekal di umur yang baru 10 tahun adalah tindakan bodoh yang pernah dilakukannya. Bukannya lebih baik tapi malah berhasil menorehkan sejarah gila dalam hidupnya. Karena tak ada bekal uang sepeserpun, mereka harus rela berjalan sekitar 20 km sampai rumah Dewo, rumah yang paling dekat diantara mereka bertiga. Rumah dua orang temannya masih sekitar 30 km lagi dari rumah Dewo jadi mereka memutuskan untuk singgah dulu di rumah Dewo.
Anak usia 10 tahun berjalan lebih dari 20 km. Konyol.
Sampai di rumah Dewo, mereka kelelahan akut. Mbah Putri kaget melihat cucunya yang difikir masih belajar di pondok pesantren ada di hadapannya sore itu dengan wajah pucat dan nggak sendiri. Beliau makin histeris melihat dua bocah bersama cucunya yang wajahnya sama pucatnya dengan kekagetannya.
“Mbah, laper,” kata pertama yang diucapkannya melihat wajah Mbah Putri yang shock. Namun, melihat wajah cucunya yang kelelahan, ia pun lupa dengan semua pertanyaan yang menumpuk di benaknya.
Langsung disodorkannya minum untuk ketiga bocah yang ada di hadapan beliau. Disiapkan makan dengan lauk pindang dan sayur asem yang dimasaknya tadi pagi yang tinggal sedikit.
“Sini sini makan dulu,” katanya menyuruh ketiga bocah itu duduk di ruang makan.
Gimana nggak capek, jalan kaki tanpa bekal dan tanpa istirahat lebih dari 20 km.gila.
Setelah makan, Dewo meminta uang pada Mbah Putri untuk mengongkosi kedua temannya pulang sampai rumahnya di Ungaran.
“Mbah, minta uang,”kata Dewo kecil setelah kenyang.
“Buat apa?”
“Ongkos naik angkot mereka pulang ke Ungaran”
“Rumah kalian di Ungaran?” tanya Mbah Putri. Toni dan Agus mengangguk. Mbah Putri nggak banyak tanya karena dia dalam benaknya pasti cucunya yang mengajak kedua anak berwajah lugu itu kabur.
“Hati-hati ya, tau kan angkutannya?” tanya Mbah sambil menyerahkan dua lembar uang Ribuan (dulu naik angkutan masih lima ratus rupiah) pada kedua bocah itu.
Mereka pun pamit setelah mendapat uang dari Mbah Putri. Diantar Dewo sampai jalan raya sampai mereka naik angkutan.
Itulah yang kusuka darinya. Pengertian dan setia kawan yang tak berubah sampai sekarang.
*_*_*
 Tak mau kejadian yang sama terulang lagi dan terlanjut malu dengan orang pondok, bapak memasukkan Dewo di SD Negeri tempatku sekolah. Ketika itu sudah hampir kenaikan kelas, Dewo dimasukkan di kelas 3 SD, satu tingkat di atasku. Namun, karena baru beberapa bulan sekolah, akhirnya dia tak dinaikkan bersama teman-teman sekelasnya.
Kami pun berada di satu kelas, ketika itu image kabur dari pondok membuatnya dicap anak nakal. Begitu pula denganku yang terimbas oleh issue itu karena banyak orang tua yang tak suka anaknya main dengan Dewo yang terlalu bebas. Aku tak pernah mau dekat dengannya ataupun main dengannya, hanya sekedar sebagai teman sekelas.
Seiring waktu berjalan, semua persepsi itu berubah. Waktu membuktikan semuanya. Adik laki-lakiku, Ardis, berada di kelas di bawah kami. Aku dan adikku hanya selisih satu tahun. Ia begitu dekat dengan Dewo, sering pulang bareng dan main bareng selama berada di sekolah. Mamak sudah sering mengingatkannya jangan sering main sama Dewo, tapi adek nggak pernah menghiraukan. Malah dia lebih menurut dengan Dewo dibanding denganku sampai aku sempat kesal dengan anak bandel yang sering bikin kecerobohan di kelas itu.
Hingga semua persepsiku tentangnya berubah.Ia, anak bandel itu, setia menunggu Dek Ardis yang sakit pulang sekolah. Dia mengantar adek sampai di rumah disaat aku sendiri nggak tahu kalau adikku sakit. Mamak dan aku kaget melihat keadaan adikku yang pucat dan tubuhnya panas setibanya di rumah.
“Mak, Ardis sakit,” kata Dewo dengan wajah polosnya melihat mamak duduk di depan rumah.
“Oh, iya. Makasih ya udah nganter,” kata mamak yang langsung khawatir melihat wajah pucar adikku.
“Dewo nunggu aku, berkali-kali aku berhenti di jalan tadi nggak kuat jalan. Cuma dia yang mau nunguin aku dan nganter sampai ke rumah,”kata adikku setelah Dewo pergi sebelum sempat mamak bertanya banyak hal padanya.
Hari itu adalah hari yang tak terlupakan bagiku. Rasa bersalah dan simpati berkecamuk. Sejak hari itu, persepsiku tentangnya eberubah seketika.Aku pun mencoba bersikap lebih baik padanya meski sikap cueknya masih membuat hubungan kami tak banyak yang berubah.
*_*_*_*
Seleksi pelajar teladan kelas lima mendekatkan kami. Kandidat pelajar teladan cowok yang seharusnya Nuri tiba-tiba diganti Dewo oleh Bu Lasmi. Entah dengan pertimbangan apa si cuek ini dipilih sebagai wakil dari sekolah untuk mengikuti seleksi pelajar teladan seKecamatan.
Sejak itu kami jadi sering belajar bersama. Malam-malam dia kerumah dengan sepeda kesayangannya untuk belajar bersama dua hari sebelum kami bertanding otak. Sampai di rumah, listrik padam. Kami pun belajar dengan lilin sampai jam 10 malam. Karena belum nyala juga, akhirnya Dewo pulang diantar Mamak dan Budhe Warni (tetangga depan rumah).
Malam itu, kami merasa sudah seperti keluarga.
Bu Ratmi sempat bilang “Kasihan Dewo. Dia kecewa dengan orang tuanya yang cerai. Makanya dia nggak mau ikut ayah ataupun ibunya,” katanya ketika kami menunggu guru tariku bersiap melatihku untuk pertandingan esok. Dewo nggak masuk sepuluh besar di seleksi ujian tulis jadi tinggal aku yang berjuang sendiri di ujian kesenian dan ketrampilan.
Ketika itu aku masih berumur 11 tahun, duduk di kelas 5 SD, masih belum mengerti betul maksud Bu Ratmi.Hanya mengangguk sok ngerti.
“Dia marah pada orang tuanya yang bercerai, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa,” kalimat ini sedikit memperjelas meski ketika itu aku masih belum paham benar. Yang pasti aku mulai sayang padanya, seperti kakakku, kuanggap dia seperti keluargaku sendiri.
Sebelum kami lulus SD, bapak menikah lagi. Dewo punya ibu tiri. Ia membenci ibu tirinya dan memandang buruk semua yang dilakukan ibu tirinya. Ia membuang uang yang diberi ibu tirinya, memandang perhatian ibu tirinya hanya untuk merebut hati bapak dan ia pun tak mau urusannya dicampuri ibu tirinya. Dewo sering menceritakan kenalakalan pada ibu tirinya itu padaku, ‘mungkin benar kata BU Ratmi’ batinku.
Yang membuatku meneteskan air mata adalah ketika pernah suatu hari ibu kandungnya menyusulnya di sekolah sepulang kami sekolah. Ia mencium Dewo dengan kerinduan yang membuncah. Entah berapa lama mereka tak bertemu. Raut muka dewo kecil begitu datar, tapi terlihat dia sangat senang bertemu ibunya. Sosok yang sangat diharapkannya ada di rumah setiap ia pulang sekolah, menemaninya tidur dan menyiapkan semua kebutuhannya sebelum berangkat sekolah. Namun, tak pernah didapatkannya. Pertemuan mereka pun hanya bisa sesekali karena ibu sibuk jualan di pasar. Sepuluh menit yang sangat berarti baginya, aku tahu dari tatapan matanya. Acuh dan diamnya tak mampu menutupi kejujuran matanya.
Pemandangan yang sangat mengharukan. Sekali dan tak pernah kulupa pertemuan mereka itu.
*_*_*_*
Perpisahan kelas enam, kami diajak study tour ke Cilacap oleh guru kami. ada beberapa teman yang ditemani orang tuanya, tapi aku dan Dewo termasuk yang nggak. Kami kumpul di sekolah pagi-pagi buta karena perjalanan ke Cilacap cukup jauh sekitar 4 jam. Hari itu Dewo datang dengan pakaian kumalnya seperti biasa dan dia cerita tak membawa uang saku sepeserpun karena ayahnya tak memberinya uang bahkan tadinya dia dilarang ikut, tapi Dewo tetap bersikeras ikut.
Aku tak tahu harus berbuat apa, hanya mendengar cerita darinya yang kebingungan tak membawa uang saku sepeserpun. Mamak sudah marah-marah mendengar ceritaku. “Orang tua macam apa sih tega sekali,”kata mamak sambil mengeluarkan dompet untuk memberinya uang saku.
Untunglah bapaknya tak sekejam itu, ia datang memberikan uang saku yang pas-pasan pada Dewo.
Bukan hanya kali itu saja Dewo seperti tak punya orang tua. Saat mendaftar di sekolah yang sama denganku, dia datang sendiri ke sekolah, tak seperti teman-teman lain yang didampingi orang tuanya. Mamak yang tak tega melihatnya jadi mengurusku dan dia. Mamak yang mengurus semuanya.
Namun, hubungan kami tak sedekat saat masih SD.Mungkin karena kami baru puber, banyak yang mengejek kami pacaran kalau kami terlalu dekat jadi kami pun menjauh. Hubungan kami tak sedekat dulu, aku dekat dengan beberapa teman cewek sedangkan Dewo masih dengan bandelnya dan beberapa teman cowoknya lengkap dengan kenakalan anak muda mereka seperti bolos dan tidur di kelas.
Tak banyak cerita tentang persahabatan kami di SMP.
Semuanya kembali saat SMA. Persahabatan indah kami kembali dimulai.
Kami saling bantu dalam menyelesaikan tugas. Bahkan saat aku libur, Dewo datang dengan menyerahkan setumpuk pekerjaan rumahnya yang harus diselesaikannya selama dia magang. Melihat tumpukan tugas membosankan itu, aku Cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Harusnya aku kan liburan,” kataku protes ketika ia datang dengan buru-buru membawa tumpukan tugasnya.
“Alah, ini mah kamu kedipin aja jadi, gampang kok. Minggu depan aku ambil ya? Oke?” katanya sambil ngeloyor pergi berangkat magang di Ungaran.
Namun, sebaliknya kalau ada tugas yang berhubungan dengan Teknik Informatika atau Design gambar, dialah tujuan utamaku. Datang ke rumahnya bermodal laptop, nunggu dia nyelesein sambil nonton TV.
Banyak hal kami lakukan bersama.
Kami sering ke perpustakaan daerah bersama, hotspotan ke stasiun jalan kaki lewat rel kereta api karena nggak punya uang buat ongkos. Kegiatan kepemudaan di desa kami selalu bersama, dia yang setia mengantar dan menjemputku. Sampai-sampai kami dikira pacaran, tapi apapun yang merkea katakan, persahabatan dan persaudaraan kami tak pernah pudar.
Hati kami tak tergoyahkan oleh ejekan dan olokan orang-orang. bahkan sampai dia kerja di luar kota, akulah yang paling sering ditelfon untuk menanyakan kabar Mbah nya. Bahkan ayah dan kakaknya menanyakan kabar Dewo padaku. ia pun selalu menyempatkan datang ke rumah setiap kali mudik.
Persahabatan kami sangat indah. Kami berbagi cerita dan berbagi rasa.
Dia sangat suka naik gunung, hidupnya bebas dan tak ingin terikat. Hobinya naik gunung sejak SMA membuatnya punya banyak teman dan banyak pengalaman. Namun, yang selalu membuatku salut padanya adalah ketika ia punya banyak teman dengan beragam karakter, ia tak pernah terbawa dan tetap menjadi diri sendiri. bahkan, ia yang sejak kecil sudah brokeh home sampai sekarang merokok pun tidak. Apalagi minum atau lebih dari itu, tapi dia tetap bisa bergabung dengan komunitas itu meski tak melakukan hal yang sama seperti mereka.
Keramahan dan ketulusannya dalam berteman membuatnya disukai banyak orang. setia kawan dan tak memandang status dalam berteman membuatnya mudah bergaul.
Jiwa cuek dan bebasnya terbawa sampai ke pekerjaannya. Tak pernah bertahan lama bekerja di suatu instansi. Ada saja kesalahannya yang membuat atasannya marah, tapi anehnya ia selalu keluar dengan mengundurkan diri, bukan dipecat. Itulah Dewo, secepat ia memperoleh pekerjaan, secepat itu pula ia keluar dari tempat kerjanya. Sadis.
Awalnya ia bekerja di Banten, sebuah percetakan bersama beberapa teman dari sekolah yang sama. Lulusan SMK Grafika jurusan persiapan percetakan membuatnya terampil dalam design percetakan. Namun, karena terlalu banyak pekerjaan dan tak sesuai dengan gaji, ia pun memutuskan untuk resign selesai kontrak yang ditanatangani melalui perantara sekolahnya.
Ia kemudian bekerja di toko peralatan jahit di Jakarta. Ada seorang temannya yang menawari pekerjaan itu sejak lama, tapi Dewo mencoba untuk bertahan di Bandung yang akhirnya berujung resign juga. Teman-temannya sering minum-minuman keras dan berjudi di tempat kerja barunya. Saat-saat itulah ia lebih memilih menelfonku daripada ikut perbuatan yang tak ada manfaatnya itu.
Tak genap enam bulan, ia sudah keluar lagi dan memilih menjadi karyawan sebuah percetakan foto baru buka di Indramayu. Bosnya kerja di Pakistan, mereka bertemu di internet, komunikasi lewat webcam dan Dewo dipercaya menjalankan usaha percetakan yang baru dididirikannya di Indramayu, dekat rumah si bos. Sebuah kamar disediakan untuknya dan dipercaya untuk memanage usaha itu dibawah pengawasan istri si bos. Awalnya dia suka karena pekerjaan itu lebih sesuai dengan jiwanya.
Bukan Dewo namanya kalo bertahan lama di satu tempat kerja.Karena istri bos terlalu pelit dan perhitungan lama-lama dia kesal. Ia harus memberi tambahan upah pada pekerja lepas dari gajinya sendiri sebab jatah yang diberikan istri bos terlalu sedikit dan tidak sepadan dengan beban kerja yang diberikan. Semakin banyak pengalamannya, semakin kebaikan hatinya terpancar.
Sampai akhirnya dia berniat resign dan memilih merintis usaha di rumah. Meminjam modal dari bapaknya yang sulitnya naudzubillah. Jadi inget dulu waktu SMA dia sering melebihkan uang buku dengan nota dari temannya karena pelitnya bapak. Raja bolos dan telat yang dijuluki ‘kepala suku’ oleh teman-temannya ini cukup ulet dan punya banyak akal. Ia sudah punya langkah yag lain ketika memutuskan untuk berhenti bekerja.
‘Kamu mau berhenti lagi? Kenapa?’tanyaku saat ia mengungkapkan niatnya untuk resign.
‘Istrinya bosku pelit. Aku males,’
‘Pelit gimana sih?’
“Masak dia ua kasih 50 ribu sama anak yang bantuin aku selesein pesenan lima ratus stiker? Dua hari kita ngerjain tuh”
“Hah? Trus?”
“Ya aku minta ditambah upah buat mereka, tapi nggak dikasih. Akhirnya aku kasih aja dari gajiku,”
Semakin jauh, semakin intens komunikasi kami. hampir sebulan sekali dia menelfonku sekedar ngobrol dan menanyakan kabar Mbahnya. Malam itu untuk kedua kalinya dia menceritakan niatnya untuk resign dari tempat kerjanya yang ketiga.
“Udah cerewet, pelit pula, masak dia ngitung berapa habis kertas berapa kertas stiker berapa persediaan yang ada trus aku disuruh ngirit, padahal itu kan buat promosi juga,”
“Haha...namanya juga pengusaha, semua harus dihitung dong. Kalo ga gitu banyakan nyumbangnya, bangkrut usaha,”
“Tapi ini kebangetan tau gak,”
“Trus kamu udah punya rencana lagi keluar dari sana?”
“Belum sih, makanya ini masih cari-cari. Eh, kamu tau nggak kabar mbahku?”
“Kemarin aku lewat depan rumah mbahmu, beliau lagi nyapu. Kayaknya sih sehat. Emang kamu nggak pernah telfon? Telfon sana, mbahmu sering nanyain kabarmu ke aku, kasihan beliau kangen tuh,”
“Nggak, Mas Galih ganti nomer makanya aku nggak bisa telfon. Mintain nomernya Mas Galih ya”
“Oke” berasa juru bicara aja aku ini.
*_*_*_*
Selesai sholat, aku kaget ada sosoknya di pintu ruang sholat di rumah. Dengan senyum khasnya yang hanya kelihatan putih giginya, langsung bersalam “Assalamu’alaykum....”
“Wa’alayukumussalam...” aku bengong sesaat, nggak percaya. Dia nggak bilang mau pulang, biasanya dia cerita kalau mau pulang.
“Heh, kenapa nggak bilang mau pulang?” kataku sambil memukul lengannya.
“Sengaja pengen buat kejutan”
“Trus mana oleh-oleh? hah?”
“Hehe....lupa. besok lari pagi ya”
“Apa? kamu dateng Cuma buat ngajak lari pagi dan nggak ada oleh2?”
Awalnya aku nggak mau, tapi pagi-pagi buta si hitam udah nangkring di rumah lengkap dengan sepatu, celana pendek dan kaos oblong. Aku masih pakai baju tidur selesai bersih-bersih rumah.
“Ayo dong....” katanya menarik lengan bajuku seperti anak kecil sambil mengikutiku manyapu lantai.
“Mau kemana Wo?” tanya Mbah putri yang melihat Dewo membujukku.
“Ngajakin ini lari-lari dari tadi nggak mau,”
Sambil menyiram bunga Mbah Putri Cuma senyum. Dia sudah seperti keluarga di rumahku, cucunya mbah dan anaknya mamak. Mbah sering menanyakan Dewo ketika ia jarang muncul di rumah. Kemanapun kalo sama Dewo pasti boleh. Makanya kemanapun acara remaja di desaku, aku selalu harus bersamanya. Nggak ada cowok sebaik dia yang kupercaya di desaku. Pemudanya udah dirusak dengan minuman keras dan judi.  
Satu hal yang kurang darinya hanyalah tentang menghadapi lawan jenis. Sampai aku pindah dia nggak pernah pacaran meski pernah terjebak dalam tantangan teman-temannya ‘nembak’ cewek. Sayangnya ditolak, tapi si cewek malah balas mengejar Dewo ketika ia sudah tak lagi mendapat tantangan dari teman-temannya. Tiap kali ada yang sedikit agresif mendekatinya, akulah tamengnya. Aku yang angkat telfon dan balas sms cewek itu bertindak sebagai pacar bohongannya.
“Kamu dimana?” telfonnya di siang bolang nggak ada hujan nggak ada angin.
“Di rumah, mau ke rumah bulek, kenapa?”
“Aku butuh bantuan nih. penting”
“Apaan sih, ya udah nanti tak jemput. Temenin aku ke rumah bulek baru nanti tak bantu kamu, gimana?”
“Oke”
aku pikir sesuatu yang bener-bener penting dan urgent. Ternyata Cuma masalah cewek yang terus mengejarnya hingga menghubungi adik laki-lakinya.
“Cuma masalah begini doang kamu bulang penting banget hah?” kataku sedikit kecewa mendengar ceritanya yang ternyata tak seheboh bayanganku.
“Ini penting ya. Dia ini kelewatan, sampe sms Momo segala nggak tak jawab telfonnya”
“Tinggal bilang kamu udah punya pacar, selesai dah,”
“Udah, tapi dia masih nggak percaya,”
“Tampangmu sih nggak meyakinkan. Sini!” kataku menyambar hapenya. Menjawab panggilan telfon yang sedari tadi berbunyi sepanjang perjalanan, tapi sengaja nggak diangkat.
Dengan gaya khas sok jadi pacarnya Dewo aku pun mulai berakting. Dan berhasil. After that, si cewek yang kata Dewo manis itu udah nggak pernah lagi hubungin dia.
Misi pertama berhasil dan selanjutnya tetap berhasil.
Namun, di tengah pertanyaan ‘dia normal nggak ya kok semua cewek yang ngeeketin selalu ditolaknya pake senjata aku?, si hitam ini menceritakan kalau dia sebenarnya menyukai seorang teman sebangkuku ketika duduk di bangku SMP. Dia manis, mungil dan pendiam.
Jiwa bebasnya mendambakan sosok keibuan yang bisa sedikit meredam kebebasan itu. dia membutuhkan sosok penyejuk dalam terik hatinya sejak kecil yang bisa dilihatnya dari sosok sahabatku. Namun, ia baru menceritakannya saat lulus SMA. Sayangnya, aku tak bisa membantu apapun karena hubunganku dengan Sofa, sosok itu, sudah mulai merenggang sejak kami kuliah.
Aku hanya berharap Dewo bisa mendapat yang terbaik untukny dan masa depannya. Wanita yang sesuai dengan apa yang selama ini didambakannya.
Keradaannya membuatku merasa punya sosok kakak yang selama ini kuharapkan. Meski tak terlihat ngayomi, tapi keberadaannya cukup menenangkahn hatiku. Cuma dia yang membuatku berat meninggalkan pulau padat penduduk itu disaat musibah menimpa keluarga kami dan aku harus pindah ke Lombok. Takkan pernah bisa mendapatkan sahabat sebaik dia, dia tak pernah tergantikan.
Sejak ia kembali resign keempat kalinya dari tempat kerjanya perusahaan ekspor impor karena pernah disokrs gara-gara salah mengirim barang, aku tak pernah lagi bertemu dengannya.
Peristiwa yang terjadi pada keluarga kami membuatku menghentikan sosialisasi dengan semua sekitar rumah kecuali dengannya. Ketika itu aku hanya ingin menjauh dari semua orang yang tahu tentang kehidupan kami, tapi satu hal yang tak pernah ikhlas untuk kutinggalkan adalah persahabatan indah kami. Takkan pernah kutemukan sahabat sebaik dan setulus ia. Tak ada yang menggantikannya di hatiku.  
Persahabatan kami tak pernah lekang oleh apapum, meski aku sangat merindukannya dan kami jarang berkomunikasi, tapi hati kami masih sangat dekat. Tak pernah kutemukan sahabat yang mengjarkanku banyak hal tanpa menggurui sepertinya. Hidup dalam keluarga yang kurang harmonis dan kemarahannya pada kedua orang tuanya tak membuatnya terjebak dalam pergaulan yang tak baik.

Kebersamaan kami di Gunung Telomoyo. Dia belum tidur semalaman, tapi karena janji denganku makanya dia tetap menemaniku hari itu.

kegilaannya yang nggak pernag terlupakan

kurang kerjaan foto di semak2.

kecapekan belum tidur semalaman tidur di tengah jalan di Puncak Telomoyo

Kebersamaan kami tak tergambarkan tapi setidaknya gambar-gambar ini bisa mengobati sedikit kerinduan padanya. Sahabat...kau tak tergantikan





Comments