Kenangan SYa'banan dan Serabi Ngampin


Sya’ban, menggoreskan kisah tersendiri.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMP, kenangan tak terlupakan menjelang Ramadhan di desa kecil di Ambarawa. Tepi Kabupaten Semarang di Jawaa Tengah. Malam itu malam tanggak 15 bulan Sya’ban. Sebuah tradisi menyambut puasa biasanya jalanan rame malam pertengahan bulan Sya’ban itu. mereka menyebutnya Sabanan.
kalo Sabanan begini banyak anak muda yang jalan ke kali pancur (seperti kolam terjun kecil di daerah namanya Jambu sekitar 15 km dari rumah). Orang dari berbagai penjuru berdatangan untuk mandi di kali itu. mitosnya mereka yang mandi di kali Pancur itu maka akan cepet dapet jodoh.
Banyak orang ingin membuktikan mitos itu sehingga banyak orang berjalan kaki lewat jalan raya menuju kali pancur. Jalan gang masuk rumahku adalah jalan utama Semarang Jogja yang pasti dilewatin mereka yang mau ke kali pancur. Banyak muda-mudi berjalan rombongan. Ingin mmebuktikan bagaimana mitos itu.
Kesempatan itu biasa dipergunakan untuk berjualan di pinggir-pinggir jalan. Ada yang jual jagung bakar, roti bakar, kopi dan yang paling dicari adalah Serabi Khas Ngampin. Serabi Ngampin yang sekarang sudah banyak ditemui ketika saya masih kecil dulu jarang yang jual. Hanya satu dua orang yang jual di pinggir jalan kalau hari biasa. Biasa mereka jualan dengan membuat atap seperti gazebo berukuran 1,5 m x 1,5 m yang cukup untuk memanggang serabi dan satu tikar untuk pengunjung yang mau makan disana atau biasanya disediakan bangku panjang di samping ruamah-rumahan itu untuk duduk makan serabi.
Serabi Ngampin tak jauh beda seperti serabi yang lain, terbuat dari tepung beras dicampur santan. Ada serabi gurih yang semuanya putih, ada juga serabi dengan tengahnya berwarna merah. Bahannya sama, tapi yang berwarna merah biasa diberi campuran gula jawa. semakin lama seamkin banyak kreasi serabi mulai dari yang warna hijau (rasa pandan), serabi denagn irisan pisang dan serabi dengan irisan nangka.
Serabi Ngampin harus dimakan dengan dituangi kuah. Kuahnya terbuat dari santan yang direbus dengan gula merah dan pandan. Rasanya maknyus. Satu porsinya biasa bersisi tiga serabi ukuran sedang. Makanan ini sangat mengenyangkan.
Pada malam Sabanan (begitu orang Ngampin menyebutnya), biasanya banyak orang yang menjual serabi. Malam itulah aku dan ibu sering keluar mencari serabi dan wedang ronde. Minuman dari air jahe dengan diambahkan moci, kacang dan agar-agar sebagai pelengkapnya.
Namun, masa-masa seperti ini tak bertahan lama, makin lama makin sepi orang berjalan kaki. Warung serabi pun sudah bukan menjadi eksklusif karena sudah semakin banyak penjual serabi di sepanjang jalan Ngampin. Hampir sepanjang pinggir jalan berderet gubuk serabi ngampin sepanjang sekitar 2 km jalan Ngampin dan terkenal,
Maraknya motor juga membuat semakin sedikit pejalan kaki. Malam Sabanan semakin nggak asik, semua naik motor. Jalanan jadi rame suara kendaraan, bukan rame suara canda tawa pejalan kaki seperti dulu. pedagang di malam sabanan pun tak sebanyak dulu,
Sabanan seperti malam biasa, bukan malam istimewa yang kami tunggu lagi, dan sekarang setelah sekian lama nggak menikmati Sabanan di rumah, katanya masih sama 
seperti dulu. 




Comments