Kelas 5 dan Kelas 1, Mengapa Harus Beda Sekolah?




Memilih sekolah untuk anak-anak bukan hal yang mudah. Kami, saya dan suami sudah mendiskusikan ini jauh-jauh hari sebelumnya. Kami punya beberapa pertimbangan yang akhirnya memutuskan untuk tidak menyekolahkan mereka di satu sekolah meski sama-sama di sekolah Islam Terpadu. 

Awalnya, kami merasa kalau mereka dijadikan satu sekolah, akan ada yang membandingkan mereka. Tidak bisa dipungkiri, membandingkan kakak dan adik itu pasti akan disinggung saat mereka ada di sekolah yang sama, meski tidak bertemu dalam satu masa atau periode. Namun, masa Sekolah Dasar merupakan masa sekolah yang periodenya paling lama, sehingga kami ingin menjaga mereka untuk tidak dibandingkan satu sama lain. 

Kami berusaha untuk tidak membandingkan, jadi kami tidak ingin anak kami dibandingkan di sekolahnya karena kami tidak bisa mengontrol orang lain, tapi kami bisa mengambil sikap dari apa yang bisa kami hindari. 

Bukan hanya itu, kami juga ingin mengambil lebih baik kebaikan dari dua sekolah, memperluas silaturahim dan menjadikan bahan diskusi bersama keluarga kami. Namun, tentu tidak berarti kami tidak mempertimbangkan jarak dan kurikulum sekolah. Jarak menjadi penting karena saya akan mengantar dua anak yang jam masuknya sama, tapi arahnya berbeda. Saat memilih sekolah yang berbeda, saya mempertimbangkan jarak tempuhnya agar tetap bisa menjangkau sendiri kedua tempat itu meski tanpa bantuan orang lain. 

Mbahnya anak-anak, bapak saya alhamdulillah ada di rumah sehingga bisa membantu kami antar jemput anak-anak. Namun, saya tidak boleh bergantung pada orang lain. Saya harus bisa mengukur kemampuan diri. Selain itu, tentu saja finansial kami. Kami harus mempertimbangkan kondisi dinansial kami dengan memilih dua sekolah swasta. 

Sekolah si Sulung ketika itu sekolah baru, tapi visi misi nya sesuai dengan nilai keluarga kami. Namun, seiring berjalannya waktu, ada beberapa hal yang tidak seperti yang dipaparkan. Saya sendiri mengalami beberapa kekecewaan karena ternyata breakdownnya tidak sesuai dengan penjabaran dari Kepala Sekolah. Selain itu, sekolah yang baru ini ternyata masih ujicoba untuk beberapa metode yang digunakan. Tentu ini juga kami kurang sepakat karena masa Sekolah Dasar merupakan masa dimana mereka sedang adaptasi dari masa bermain ke masa belajar. Kalau sekolah masih juga melakukan beberapa ujicoba metode, anak-anak akan semakin banyak harus beradaptasi sehingga akan menemukan kebingungan karena tidak semua anak memiliki kemampuan adaptasi yang sama. 

Pengajar di sekolah baru kebanyakan masih muda bahkan fresh graduate. Ini menjadi catatan penting suami yang menganggap guru senior lebih berpengalaman dalam handle anak-anak, tapi memang semua memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung individu masing-masing. Saya pun tidak menuntut banyak pada guru sekolahnya. Pengajar muda lebih mudah menerima dan beradaptasi dengan hal baru meski kemampuan mengajar tidak selama guru senior menghadapi anak, tapi kalau mereka mau belajar, mereka pun pasti mampu. Namun, jam terbang memang mempengaruhi kompetensi dalam menghadapi berbagai karakter anak. 

Sayangnya, dari sekian pengajar muda, tidak semua memiliki kemauan belajar yang menyeluruh. Apalagi kurikulum yang terus berubah membuat mereka harus terus beradaptasi ditambah tuntutan orang tua yang sudah membayar tidak sedikit untuk mendapatkan pendidikan formal terbaik termasuk pendidikan agama yang sudah banyak menganggap ini penting. 

Saya sadar hal itu tidak bisa diubah, jadi saya berusaha untuk belajar memberi support dari rumah memberikan apa yang bisa saya lakukan untuk mereka. 

Pilihan sekolah kedua untuk adik kami sengaja memilih sekolah yang sudah lama berdiri, bukan sekolah baru dengan pernah diskusi di sekolah juga dengan teman-teman yang anaknya bersekolah di sana. Selalu menemukan kelebihan dan kelemahan, tapi berkaca dari membersamai si Sulung di sekolahnya, kami sudah tak lagi mau berespektasi terlalu tinggi karena memang semua memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. 

Saya sadar kalau tugas sepenuhnya mendidik anak-anak ada di orang tuanya. Sekolah hanya membantu untuk beberapa hal yang orang tua tidak mampu. Apalagi suami adalah tipe yang sangat menjunjung tinggi prestasi di sekolah. Padahal, semua itu dibuat oleh manusia untuk menggiring persepsi. 

Sejak revolusi industri, manusia sekolah dibuat untuk bisa menjadi pekerja, bukan sebagai manusia yang bisa menciptakan lapangan kerja. Tingkatak pendidikan menjadi ukuran untuk naik jabatan, bukan pengalaman dan keahlian. Meski tidak sedikit yang bisa membuktikan kalau sukses tidak hanya dari tingginya nilai saat sekolah atau menjadi juara olimpiade, tapi tidak sedikit orang tua yang menjadikan anaknya sebagai papan skor untuk mengukur berhasil tidaknya mendidik. Saat mereka bisa memberikan kebanggaan dari sebuah penghargaan, saat itulah orang tua menjadi bangga.

Tak bisa dipungkiri, menjadi orang tua adalah fase yang tak pernah berhenti belajar. Pelajaran yang tak pernah berhenti adalah sabar dan ikhlas. Sadar kalau anak bukan milik kita, kelak ia akan memiliki kehidupan untuk menjadi manusia dengan amal terbaiknya sebagai hamba sehingga ia harus bisa tahu baik buruk, benar salah dan jalan yang akan ditempuhnya. 

Siapa orang tua yang tidak bangga memiliki anak cerdas dan genius? Tentu semua orang menginginkannya. Namun, kecerdasan anak tidak hanya diukur dari satu indikator. Setiap orang diciptakan dengan kelebihannya di dunia. 

Ini tidak mudah karena saya pun masih sering merasa sedih ketika melihat anak lain mendapat juara, dibanggakan dan disanjung bahkan diposting. Namun, segera kuredam semua itu agar anakku juga tidak kehilangan kepercayaan dirinya. Aku membesarkan hatinya untuk terus berusaha menemukan kekuatan dirinya. belajar itu sebuah kewajiban, biarkan kebaikan menemui ketika kita sudah berusaha sekuat tenaga dan berserah padaNya. 

Nak, Bunda bukan orang tua sempurna. Bunda hanya berusaha menjalankan amanah dariNya. Bunda ingin kelak bisa mempertanggungjawabkan amanah ini dan kalian bisa sukses dan bahagia bisa melakukan amal terbaik kalian sebagai khalifah di bumi. 

_Cerita Venti_


Comments