Tahun ini, Alhamdulillah ibu mertua dan bapak mendapatkan panggilan untuk diberangkatkan haji setelah menunggu 13 Tahun. Rasa haru dan syukur bercampur mengiringi setiap proses yang beliau jalani. Saya yang mendampingi mulai dari pengurusan pasport, mengurus ke depag dan membuat visa bio karena lansia sehingga kesulitan untuk menggunakan e passport.
Sejak nama Bapak dan Ibu muncul di daftar yang dipanggil haji, mereka sudah mulai mencicil membuat passport. Ibu dan bapak terlihat bersemangat menyambut panggilan yang sudah dinantikan. Mencicil mengurus administrasi agar tidak berdesakan saat semua mengurusnya.
Doa tak henti dipanjatkan untuk sampai di hari yang dinantikan, dipantaskan sampai ke tanah haram impian semua umat muslim merasakan beribadah di rumah Allah azza wajalla. Namun, qodarullah kesehatan bapak tidak memungkinkan beliau untuk berangkat saat keluar hasil tes kesehatan. Bapak dinyatakan tidak memenuhi syarat istito'ah.
Meski awalnya terpukul dan berharap bapak bisa diberikan izin meski harus menunggu dengan berobat dulu, tapi dokter menyatakan tidak bisa sama sekali karena stadium gagal ginjal bapak sudah stadium 4 dan bapak mengalami serangan stroke yang membuat beliau tidak bisa melakukan aktivitas mandiri untuk beberapa hal dasar seperti pindah dari kasur ke kursi roda juga mandi dan memakai baju sendiri.
Kecewa pasti, butuh waktu lama untuk ibu bisa menerima kenyataan ini dan mengikhlaskan pelimpahan pada anak sulungnya. Saat itu, saya baru sadar kalau benar, haji itu bukan tentang mampu atau tidak, tapi saat Allah panggil, saat itulah kita diberikan jalan untuk sampai kesana.
Ibu semakin menyadari saat manasik haji, ternyata ibadah ini berat. Bapak tak mungkin bisa melakukannya dan mungkin kalau bapak diloloskan untuk bisa ke tanah suci, tidak akan kuat menjalani proses ibadah tersebut. Ibu mulai menerima dengan ikhlas keputusan Bapak tidak bisa berangkat bersamanya. Putra sulungnya akan menggantikan beliau nanti disana.
Proses manasik haji dan pembekalan dilakukan sebelum dan setelah Ramadhan. Ibu menjalani prosesnya dengan semangat dan berusaha memantaskan diri untuk bisa sampai kesana dengan sehat. Beliau belajar sambil terus mengurus suaminya yang kian hari kondisinya ternyata tak membaik seperti yang diharapkan.
Komplikasi akibat Diabetes Melitus semakin meluas. Bapak harus dirawat untuk mendapatkan transfusi darah sebelum keberangkatan ibu. Meski sempat hampir berangkat tanggal 3 Mei, tapi akibat kericuhan visa dan manifest, ibu yang pagi muncul daftarnya untuk berangkat kloter 3 masuk asrama haji ba'da dzuhur. Ternyata ba'da isya di cek kembali ternyata ada lebih dari 40 orang yang tidak bisa diakses visa nya. Beliau harus pulang lagi untuk menunggu kepastian keberangkatan yang selanjutnya.
Qodarullah, Bapak yang awalnya hanya berkniat kontrol harus menerima transfusi darah karena Hb rendah. Sejak itu pula, dokter yang menangani beliau menyarankan untuk melakukan Hemodialisa (HD) yang sering disebut dengan cuci darah. Kreatin bapak sudah tinggi, kemampuan menyaring darah sudah berkurang hampir 90%.
Kami pun harus siap dengan konsekuensinya. Kami mempelajari tentang hasil lab bapak, bagaimana membersamai pasien HD, apa saja treatment yang harus dilakukan, apa saja yang perlu diperhatikan, apa saja yang boleh dan tidak boleh.
Sebelum HD, ada alat yang dipasang di bagian leher kanan bapak untuk melakukan cuci darah. CDL dipasang langsung di pembuluh darah besar untuk mengeluarkan darah kotor yang akan dicuci, kemudian dimasukkan kembali darah bersihnya. Dokter penyakit dalam yang memasang, tidak butuh waktu lama da tidak perlu bius total. Bius lokal saja di area bawah leher bagian kanan.
Malamnya, proses cuci darah pertama kali dilakukan. Khawatir, resah, bingung, kami semua merasakan. Namun, ternyata proses itu tidak semenakutkan ketika kami membayangkan. Pasien HD sangat banyak dari berbagai rentang usia. Ada yang masih muda hingga yang memang sudah lansia seperti bapak mertua.
Semua terlihat begitu tenang. HD pertama hanya 3 jam untuk mengetahui reaksi tubuh pasien. Kami pikir bisa pulang seteah HD dan saya sempat bilang ke perawat kalau ibu mau berangkat Haji. Namun, ternyata masih harus menunggu sampai HD kedua untuk observasi pasca HD.
Saya dan suami diberikan amanah untuk menjaga bapak. Ibu pulang setelah bapak selesai HD, tapi tidak sempat pamit karena esok subuh sudah harus pelepasan di kantor walikota, lalu masuk asrama haji. Meski berat dan sempat sedih karena tidak bisa berangkat bersama suami, tapi ibu sudah ikhlas menerima karena ternyata saat manasik haji, beliau tau betapa beratnya ibadah yang akan dijalaninya ini. Kondisi bapak seperti ini tentu akan sulit.
Bapak bertanya dimana Ibu ketika terbangun dan tak menemukan istrinya. Kami memberi tahunya kalau ibu sudah berangkat ke asrama haji, bapak hanya diam. Dia sadar akan lama ditinggalkan istrinya. Mereka tak pernah berpisah lama, hanya tiga empat hari paling lama saat itu operasi payudara dan kemotherapy setahun yang lalu.
Tahun lalu, bapak yang bersabar membersamai ibu yang berjuang melawan kanker dan melakukan rangkaian terapi untuk membunuh sel kanker. Bersama mereka melewati masa melawan penyakit bersama. Tubuh sudah tak lagi sekuat dulu, tapi semangat untuk bisa bersama melewatinya tak pernah surut.
Bapak pernah menemani Ibu merasakan mual, kebas, lemah saat selesai kemotherapy. Melihat rambut ibu berguguran satu per satu, tubuh ibu menghitam dan kurus akibat kemotherapy hingga ibu harus transfusi 5 kantong setelah kemotherapy ke 5. Satu tahun rangkaian pengobatan kanker sudah dijalani. Ibu terlihat lebih bugar meski sekarang tetap harus suntik penguatan tulang karena ada keropos di tulang belakang.
Sekarang, Bapak yang harus menjalani HD dua kali dalam seminggu. Setelah usg abdomen dan berdasar hasil lab, fungsi ginjal bapak sudah tak bisa lagi berfungsi dengan baik. Racun sudah terlalu tinggi menyebar dalam darah dilihat dari kreatinnya dan kemampuan ginjal menyaring darah juga sudah berkurang hampir 90% yang seharusnya indator diatas 90, kini sudah di titik 7.
Selang 2 hari dari dari HD pertama, bapak dijadwalkan untuk HD lagi dengan durasi normal 4 jam karena di HD pertama tidak ada kendala. Selesai HD, bapak diperbolehkan pulang. Sejaksaat ini, saya baru tahu kalau kondisi emosi bapak sangat labil . Beliau sering berteriak untuk mengatakan sesuatu yang kadang tidak terlalu penting. Ibu menutupinya dari kami, meski ART yang membantu di rumah sudah pernah memberitahu saya. Kemauan bapak harus dituruti, atau dia akan marah. Ini yang menjadi ujian terberat kami, apalagi saya sebagai menantu yang tentu tidak leluasa mengambil keputusan.
Kami juga kontrol ke poli gizi untuk tahu asupan yang baik untuk bapak yang sering turun Hb. Pasien penderita DM, darah tinggi dan gangguan fungsi ginjal harus mengurangi asupan garam, air dan mengurangi buah karena banyak kandungan airnya. Selain itu, makanan dengan kadar Kalium tinggi juga dilarang seperti pisang, bayam, brokoli. Meski demikian, Bapak tetap bisa konsumsi protein hewani dan nabati dengan takaran yang pas. Sayur tinggi Kalium bisa dikonsumsi kalau sudah direndam air panas selama 1 jam atau direbus terlebih dahulu kemudian dibuang airnya. Barlah sayuran bisa dimasak kembali diberikan bumbu untuk dikonsumsi.
Selain itu, waktu pemberian makan dan camilan juga harus diperhatikan. Makan 3 kali di jam 7 pagi. 1 siang dan jam 7 malam dengan porsi karbo, sayur, protein hewani dan nabati yang sudah dijelaskan oleh ahli gizi. Di jam 10 pagi dan jam 4 sore diperbolehkan makan camilan dan susu. Camilan yang disarankan terbuat dari tepung beras. Hindari makanan yang terlalu manis, terbuat dari tepung terigu dan sejenisnya.
Semua aturan ahli gizi kami usahakan untuk melakukannya dengan baik. Meski beberapa kali Hb bapak turun, tapi menurut dokter HD, begitu memang resikonya karena banyak nutrisi terbuang saat proses HD.
Sebelum proses HD diperbolehkan untuk makan lebih banyak karena banyak protein yang akan terbuang bersama proses cuci darah. Selain itu, saat proses cuci darah juga bisa membuang kelebihan cairan dalam tubuh pasien karena penderita gagal ginjal sudah tidak bisa menyaring air dalam darah sehingga terjadi penumpukan air di beberapa bagian ketika air yang masuk dalam tubuh sudah berlebih.
Kaki menjadi tempat paling sering terjadi penumpukan air berlebih sehingga kaki pasien terlihat bengkak. Menurut analisa ahli gizi dari perkiraan berat urin karena Bapak menggunakan diapers, maksimal air yang bisa dikonsumsi maksimal 1000ml dalam satu hari.
Bapak yang memang pada dasarnya suka makan di warung, makan daging dan jarang makan sayur, cukup berat beradaptasi dengan kondisi ini. Apalagi makan di luar sudah harus sangat dihindari karena penggunaan garam dan MSG yang tak dapat dikontrol oleh kami. Beberapa kali bapak tidak berselera makan karena makanan yang menurut beliau kurang enak. Beliau terbiasa makanan kaya bumbu dengan banyak garam.
Makan di warung menjadi kesukaannya saat masih sehat. Beliau cenderung tidak berselera dengan makanan rumahan. Beberapa kali beliau protes makanannya itu saja. Namun, saya tidak mengikuti aturan yang berlaku dari ahli gizi, tidak berani memberikan diluar yang sudah dianjurkan.
Selama 40 hari ditinggalkan Ibu Ibadah Haji, beberapa kali kami tetap bolak balik Rumah Sakit untuk kontrol bahkan sempat menginap 1 malam untuk mengganti CDL karena beberapa kali HD, bapak selalu menggigil. Beliau terlhat tidak nyaman selesai HD, pernah sangat lemas sampai tidak kuat untuk sekedar memegang gelas. Beliau juga beberapa kali terlihat marah-marah ingin cepat selesai HD.
Saya yang paling sering menunggu beliau saat HD. Teriak dan tidak sabar sudah menjadi kebiasan beliau. Perawat ruangan sudah banyak yang tahu kalau beliau rewel sehingga menyarankan untuk meminta jadwal siang. Saya dan suami pun diskusi untuk bisa mencari jadwal siang meski bukan hari Sabtu. Selama ini, kami mencari hari Sabtu agar bisa diantar oleh anak-anaknya yang bekerja, tapi nyatanya mereka juga sering sibuk sampai tak bisa mengantar.
Membersamai orang tua yang sakit dengan kondisi emosi tidak stabil sangat tidak mudah. Bapak sering teriak tidak jelas, beliau juga seperti anak kecil yang terus memanggil seperti takut sendirian. Kadang kami kewalahan kalau tidak ada yang tahu menghadapi bapak, apalagi ART yang tidak berani membantah kalau bapak sudah teriak dan berusaha untuk bangun sendiri.
Padahal sebenarnya bapak sudah sangat sulit untuk bangun sendiri, beliau sudah tak sekuat dulu, Bahkan kadang duduk di pinggir kasur saja beliau oleng. Memindahkan beliau ke kursi roda sekarang tak semudah dulu. Otot kakinya sudah sangat lemah dan sulit untuk bisa berdiri tegak bahkan kadang bergeser pun sulit. Kondisi bapak sudah sangat tidak stabil, ini pasti tidak mudah untuk ibu apalagi setiap dua kali semiggu tetap harus cuci darah.
Membersamai orang tua yang sakit perlu banyak belajar ikhlas dan sabar. Tidak mudah, tapi inilah fase yang harus dilalui untuk mendapatkan ridhoNya.
Terkadang drama tidak hanya datang dari penderita sakit, tapi dari lingkungan seperti keluarga lain yang ikut campur mengatur, meremehkan, menyepelekan bahkan menganggap yang tidak bekerja itu yang paling bertanggungjawab. Rasanya, ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap lika-liku hidup.
Kersajama dan saling mengerti menjadi kunci dari setiap langkah menuju ikhlas dan sabar.
_Cerita Venti_
Comments
Post a Comment