30 Hari
Saja
diambil dari kisah nyata
Tepat sebulan, bom waktu akhirnya
meletus. Apa yang ditutupinya kini terungkap semua, mau tidak mau. Bukan Dani
yang memilih, tapi wanita itu. Wanita yang entah hatinya terbuat dari apa.
Membiarkan banyak hati terluka tanpa merasa bersalah. Menyebar bau yang menyengat ke seluruh
penjuru, membuat malu banyak orang.
Dani tahu orang tuanya sudah berharap
wanita ini menjadi bagian dari keluarga ini. Semua sirna tak berbekas dengan
ketidakpeduliannya pada perasaan keluarga. Bunga yang diharapkan mekar kini tak
ada lagi. Dipetik dengan kasar saat ia dinanti oleh banyak orang untuk mekar.
Hanya karena satu orang, harapan banyak orang pupus. Bahkan membuat bau busuk
menyebar ke seluruh penjuru.
Bunga itu layu, kering. Pohonnya masih
ada, tapi tak terlihat sempurna tanpa bunga. Orang-orang mulai membicarakan
busuk baunya, bukan indahnya ketika masih kuncup. Banyak yang terluka.
Rasanya tak pantas sedih untuk orang
sepertinya. Terlalu berharga kesedihan keluarga ini pada orang yang tak pernah
sama sekali peduli. Justru dia yang seharusnya merasakan kepedihan ini. Dia
datang disambut bahagia dan sukacita di rumah ini. Diterima dengan sebaik-baik
senyuman dan kasih sayang oleh semuanya, tanpa cela. Ketika semua sedang
berusaha menyesuaikan diri untuk bisa sama-sama nyaman, dia justru melempar
kotoran.
Luka ini yang diberikan untuk keluarga
membuat Dani naik pitam. Namun, dia masih bisa mengendalikan emosinya melihat
kedua orang tuanya yang begitu terpukul dengan kejadian ini. Dia tak ingin
membuat keduanya menjadi makin terluka. Dani berusaha baik-baik saja meski
hatinya menyimpan dendam yang begitu mendalam pada gadis yang baru sebulan
dinikahinya.
Wanita itu yang menorehkan luka, dia
harus bertanggungjawab. Ia membuat semua menjadi terbuka, padahal Dani sudah
menyembunyikan semua, berharap akan berubah entah kapan suatu saat. Nyatanya
itu hanya harapan yang tak bisa terwujud.
“Lega rasanya nggak ada wanita itu
disini,” celetuk Dani pada kedua orang tuanya ketika mereka duduk di berugak
depan rumah.
*&^%$##
Semua bermula ketika Dani memutuskan
untuk menikahi wanita 25 tahun pilihannya. Tak ingin pacaran lama, apalagi
keluarga juga sudah saling tahu, bahkan Amaq
dengan almarhum Amaqnya juga
bersahabat. Melihat latar belakang keluarga dan sepertinya memang anak ini
serius untuk bisa diajak menikah, mereka segera mengungkapkan maksudnya pada
orang tua masing-masing.
Meski sebenarnya Dani sudah memiliki
kekasih hati, tapi entah kenapa pilihannya jatuh pada gadis ini. Gadis yang
lugu, pemalu dan santun. Tak banyak bicara, tapi bisa membuatnya yakin.
“Aku belum bekerja, selama ini aku
hanya mengurus kolam ikan yang ada dirumah. Kamu tidak masalah?” tanya Dani
hari itu. “Tapi aku janji aku tetap akan mencari nafkah untuk keluarga, aku
janji memenuhi kebutuhan rumah tangga kita,” sambungnya lagi.
“Asal Kakak tetap mau berusaha.”
Kalimatnya begitu bijak membuat Dani
makin yakin. Entah apa yang merasukinya hingga memilih gadis yang baru
dikenalnya timbang kekasih yang lama menambat hatinya. Meski hati sebenarnya
masih terpaut pada Irin, kekasihnya, tapi entah kenapa Dani mengajak Aini yang
baru dikenalnya untuk menikah.
Dani ingin membahagiakan kedua orang
tuanya dengan menikahi anak dari sahabat Amaq
yang tanpa sengaja dikenalnya. Amaq
pasti akan sangat bahagia, apalagi mereka cukup lama bersahabat saat masih
sama-sama menjadi tentara dulu.
Dani sadar dia banyak mengecewakan
kedua orang tuanya. Dialah tumpuan harapan, bahkan sampai disekolahkan pasca
sarjana untuk bisa menjadi notaris seperti kemauan Amaq. Namun, Dani tak bisa mewujudkannya karena ternyata dia tak
nyaman menjalaninya. Ia hanya mencoba menuruti keinginan kedua orang tuanya.
Harapan Amaq untuk Dani bisa menjadi notaris harus pupus karena Dani bahkan
tidak menginginkan itu. Sampai selesai pasca sarjana, dia masih tidak menemukan
apa yang dicarinya. Dani masih nyaman berada di rumah mengurus lesehan dan
membantu Amaq mengurus kolam renang
kecil yang dulunya kolam ikan. Anak-anak kampung datang untuk berenang dengan
membawa uang Rp 2.000,- saja.
Air jernih tidak sulit didapatkan
bahkan untuk kolam ikan nila sebanyak 8 kolam. Dani yang mengurus semuanya,
sesekali dia mencoba mencari peruntungan pekerjaan, tapi sepertinya belum ada
yang menjadi rezekinya. Bekerja yang terlalu berat tekanan pun tak bisa dijalaninya.
Tumor otak yang pernah dialaminya ketika masih duduk di bangku sekolah
membuatnya tidak bisa berfikir terlalu berat. Amaq melarangnya mengambil pekerjaan terlalu berat tekanan, takut trauma
itu kembali menghantui. Berjuang ambang hidup dan mati bersama anak
laki-lakinya itu.
Dani mengikuti saran Amaq sampai lulus pasca sarjana, tapi
dia belum menemukan apa yang membuatnya nyaman. Hanya kolam ikan ini yang
membuatnya nyaman untuk saat ini. Ia meminta izin untuk membuat cafe pada malam hari. Mempekerjakan
seorang yang dikenalnya untuk membantunya membuat minuman kekinian dan
menyajikan makanan ringan. Untuk makanan berat, Inaq bisa menanganinya.
Dani berusaha mengelola dengan lebih baik
meski sebelumnya ia serahkan pada kakak perempuannya. Ia dan suaminya mencoba
membuat perbaikan pada beberapa bagian, tapi mereka tinggal di luar kota
sehingga tak bisa mengurus. Dani belajar banyak tentang mengelola bisnis
kuliner. Uang pinjaman sudah digunakan untuk mempercantik area makan. Sedang
banyak disukai tempat nongkrong minum kopi dengan suasana cafe. Namun, harganya terjangkau untuk kalangan masyarakat ekonomi
menengah. Dani membuat rumah menjadi ala cafe
pada malam hari dan memang sempat ramai.
Ditambah wifi yang bisa diakses membuat mereka mereka kembali lagi esok
hari. Lesehan ikan bakarnya pun bisa dibilang cukup banyak pengunjung di siang
hari. Beberapa kali ada yang datang untuk rapat dan atau makan bersama keluarga
besar karena banyak pilihan tempat mulai dari yang berugak luas maupun berugak
privat. Mereka mempekerjakan satu orang untuk membantu Inaq kalau sedang banyak tamu. Hasil usahanya pun Dani membuat
kesepakatan dengan orang tuanya bagi hasilnya. Dia memegang lebih banyak
kendali dan berusaha untuk membayar cicilan pinjaman dari hasil usahanya.
Aini beberapa kali datang untuk
berkunjung diajak Dani. Ia melihat kesungguhan Dani mengelola usahanya.
“Sekarang belum untung banyak, tapi
mungkin nanti bisa sama-sama kita kelola. Kamu mau?”
“Mau, Kak,” senyum mengembang di wajah
bulat itu.
“Tapi ini bukan punyaku, aku hanya
menumpang di tanah Amaq. Kita nabung
sedikit-sedikit untuk nanti bisa punya tempat tinggal sendiri, ya?”
Aini mengangguk. Rasanya semua
dimudahkan untuk menyamakan visi dan misi bersama gadis ini. Rasanya tidak
salah dia memutuskan untuk menjadikan Aini istrinya, meski hatinya masih
terpaut pada sosok gadis baik hati yang sempat dipacarinya lama.
)*^%$##
Dani mengatakan kepada orang tuanya
tentang niatnya menikah. Meski kaget, tapi Amaq dan Inaq sangat bahagia. Sudah
lama mereka ingin melihat putra keduanya itu menikah. Kakaknya sudah punya dua
anak dan tinggal di luar daerah, rumah menjadi terasa sepi kalau mereka tidak
datang berkunjung. Kini akan ada tambahan anggota keluarga yang mengisi
kesepian rumah ini.
Segera Amaq dan Inaq mengajak
Dani bertemu keluarga Aini yang sudah lama mereka kenal. Membicarakan banyak
hal untuk menuju persiapan pernikahan mereka. Dani tidak ingin membebani, dia
ingin acara diadakan sederhana, tidak berlebihan.
Perundingan berjalan lancar, kedua
belah pihak tidak ada yang keberatan. Semua acara diadakan di keluarga
laki-laki seperti adat sasak, tapi tidak menggunakan adat menculik calon
mempelai wanita. Mereka sepakat untuk menjemput calon pengantin wanita seminggu
sebelum acara untuk bisa berkenalan dengan keluarga pihak laki-laki. Agar
keluarga juga tahu yang mana calon anggota keluarga baru mereka. Itu sudah
menjadi tradisi di adat sasak.
Waktu pernikahan Amaq yang mencari tanggal baik dan tidak mau diganggu. Meski masih
3 bulan lagi, tapi Amaq tidak mau
mempercepat seperti permintaan keluarga perempuan. Amaq tetap pada pendirian
untuk tanggal pernikahan yang masih tiga bulan kedepan.
Ada adat tawar menawar untuk meminang
anak perempuan orang pada tradisi adat sasak. Ada sejumlah uang yang harud
dibayarkan untuk bisa mendapatkan wali nikah. Uang tersebut diberikan kepada
orang tua calon mempelai wanita, berbeda dengan mahar. Akan ada perwakilan
keluarga kedua belah pihak dan tokoh masyarakat yang menjadi saksi dan
penjembatan musyawarah tersebut.
Besaran nominalnya biasanya didasarkan
pula pada tingkat pendidikan dan pekerjaan si calon pengantin wanita. Akan
semakin banyak nominal kalau pendidikannya tinggi, pekerjaannya bagus dan
berasal dari keluarga bangsawan. Hal itu sudah menjadi tradisi, meski tidak
semua keluarga menerapkannya. Ada yang tidak mematok berapapun, tapi ada juga
yang meminta dengan terang-terangan nominal yang pantas untuk bisa meminang
anak perempuan mereka. Biasanya juga, uang tersebut akan digunakan sebagian
untuk membekali rumah tangga baru itu dengan beberapa perabot isi rumah pertama
mereka.
Selain itu, semua hajat dilakukan di
pihak pengantin laki-laki. Pihak pengantin perempuan boleh tidak menggelar
hajat sekalipun. Namun, sekarang sudah lebih fleksibel. Kalaupun pihak
perempuan ingin menggelar syukuran, mereka menggunakan dana dari keluarga
mereka.
Tradisi ini masih ada dan Amaq tidak mau mempersulit ini. Ia
setuju berapapun yang diminta asalkan nominalnya masih bisa mereka penuhi. Mereka
tidak ingin mengecewakan pihak perempuan. Mereka berharap pernikahan bisa
dipercepat, tapi Amaq tetap tidak
mau.
“Tanggal baik jangan dirubah,” ucap
beliau yang sudah tak bisa lagi ditawar meski beberapa kali pihak keluarga Aini
meminta memajukan tanggal pernikahan. Mereka merasa lebih cepat lebih baik.
Dani dan Aini menerima keputusan dengan
ikhlas. Dani fokus mencari sumber penghasilan yang akan digunakannya menafkahi
keluarga. Memikirkan bagaimana bisnis ini bisa berkembang karena beberapa waktu
belakangan ini sedikit lesu. Banyak usaha yang sepi, tapi masih banyak juga
usaha yang masih bertehan bahkan bisa lebih baik.
Berkomitmen untuk menikah berarti dia
pun harus siap dengan tanggung jawab baru. Dani sadar itu. Ia banyak diskusi
dengan Aini, apa yang akan mereka lakukan untuk memperbaiki usaha Dani. Namun,
calon istrinya itu menyerahkan pada Dani. Ia tak memiliki banyak pengetahuan
tentang bisnis ini, tapi ia berjanji akan membantu.
Sekelebat muncul rasa sesal
meninggalkan kekasih hatinya. Ada perasaan bersalah, tapi ditepisnya. Ia sudah
menentukan pilihan, tak boleh lagi gamang. Hatinya harus bisa menatap pada satu
orang yang sudah menjadi pilihannya dan keluarganya. Tinggal selangkah lagi
menuju janji di hadapan Tuhan.
(*&^$#@@@
Akad nikah berlangsung seminggu lagi,
Aini sudah ada di rumah. Ini tradisi adat sasak yang mengharuskan calon
pengantin wanita ada di rumah calon mertua sebelum tanggal pernikahan. Hal itu
dimaksudkan untuk lebih mengenal calon keluarga barunya, kenal saudara dan
adaptaasi dengan suasana yang ada di tempat tersebut. Tentu saja, tempat
tidunya masih berpisahh dengan calon suaminya. Dani harus tidur di luar.
Banyak keluarga datang untuk membantu
persiapan pernikahan. Seperti kebiasaan adat di kampung, tidak ada catering.
Semua dimasak keluarga. Akan ada banyak masakan khas sasak yang dibuat. Sayur
nangka muda, sayur ares (kedebong pisang), ayam bumbu pedas, urap, sambal
mangga, sate pusut dan bebalung. Kini, selain masakan khas tersebut ditambahkan
pula dengan masakan nusantara seperti capcay, sup bakso dan udang goreng
tepung.
Inaq terlihat sibuk mempersiapkan segalanya,
begitupun dengan Amaq. Semburat
bahgia terpancar dari wajah mereka. Ada rasa bahagia menelusup, tapi kenapa
selalu ada ragu yang ikut menyisip?
‘Rasa apa ini? Bukankah ini keputusan?
Bukankah semua baik-baik saja?’ batin Dani berkecamuk. Mungkin ini hanya
kegugupan sebelum hari yang sakral itu tiba. Mengucap janji di hadapan Tuhan
untuk menjalankan separuh agama bersama orang yang tak lama dikenalnya.
Meski beberapa kali pihak perempuan
meminta sejumlah uang untuk melengkapi seserahan yang diberikan untuk pengantin
perempuan, Amaq berusaha memenuhinya.
Kakak dan adiknya yang sudah bekerja pun tidak masalah. Mereka bahkan ingin
memberi andil.
“Kamu tidak usah memikirkan uang, nanti
bisa dicari. Yang penting Amaq dan Inaq bahagia,” kata Kak Uniq yang menjadi
sulung di keluarga itu.
Ibu dua anak itu selama ini yang
menjadi tempat nyaman untuk berkeluh kesan. Suaminya pun sudah seperti kakak
sendiri. Mereka memberi perhatian lebih pada Dani yang selama kuliah tinggal
bersama mereka.
Aini membantu di dapur sambil
berkenalan dengan keluarga. Setiap keluarga datang untuk menyampaikan niat
baik, mereka ingin melihat Aini. Mengeluarkan kopi menjadi tugas Aini untuk
bisa berkenalan dengan keluarga barunya.
Sampai tiba hari pernikahan, semua
merasa bahagia. Inaq dan Amaq terlihat begitu bersemangat. Kakak dan adik Dani
yang tinggal di rantau sudah datang. Semuanya sibuk dengan pernikahan. Tidak
ada kendala berarti. Kolam lesehan disulap menjadi tempat pernikahan yang
nyaman dan kekeluargaan. Jauh dari kata mewah. Sederhana, tapi dekat. Hanya
keluarga dan teman dekat, tidak banyak diundang oleh Dani.
Tamu Amaq dan Inaq yang
banyak. Pensiunan tentara itu membuat pesta pernikahan anaknya menjadi ajang
reuni bertemu kerabat dan teman yang lama tak berjumpa.
Riuh rendah acara pernikahan itu
membuat Dani yang tidak suka keramaian merasa tidak nyaman. Melihat tamu sudah
mulai sedikit dan mendekati adzan dzuhur, dia izin ke istrinya untuk makan.
“Kamu laper, nggak? Aku mau makan,”
Dani menoleh sosok manja yang sekarang sudah jadi istrinya.
“Kakak makan duluan aja, aku ganti baju
ya?”
“Iya, sana.”
Kak Maya, kakak Aini yang menemani
ganti baju. Selesai ganti, Aini mengambil jeda sebentar istirahat di kamar, ia
kecapekan. Hari terasa lama, keluarga masih banyak di rumah sampai larut malam.
Malam yang dinantikan setiap pasangan
halal. Melakukan ibadah suami istri untuk pertama kalinya. Dani mendekati
istrinya yang duduk menyisir rambut. Aini bergeser.
“Kak, aku halangan. Maaf.”
Dani tersenyum sambil mengangguk.
Namun, ada yang berbeda dari sorot matanya. Dani mendekat, Aini menjauh.
“Jangan sentuh aku, aku terpaksa
menikah denganmu.” Kalimat yang tak pernah diduga keluar dari mulut istrinya.
Istri yang baru dinikahinya siang tadi, wanita yang mau bersama membangun
bahtera rumah tangga, berubah dalam sekejap.
“Kamu kenapa?”
“Aku terpaksa menikah sama kamu. Jangan
sentuh aku. Aku nggak mau.”
Semuanya berubah, ini bukan Aini yang
dikenal Dani sebelumnya. Bahkan sebelum menikah ia lebih manis dibanding
ini. Mengapa??? Ada apa???
Dani bingung. Ia masih mencoba mencerna
situasi yang terjadi. Ia tak ingin bereaksi, mungkin Aini masih beradaptasi
dengan situasi ini. Dani masih tidak bereaksi. Menunggu apa yang sebenarnya dihadapinya,
kenapa semua berubah? Mungkin ini hanya emosi sesaat saja.
Hari dijalani Dani dengan tidak selayaknya kehidupan suami
istri. Tidak ada yang berubah dari kehidupannya sebelum menikah kecuali
sekarang ada wanita di kamarnya. Wanita yang disebut istri, tapi tidak seperti
kehidupan suami istri. Mereka hanya tidur bersebelahan tanpa ada kehangatan.
Dani membuat kopi sendiri, memakan
masakan Inaq, bahkan mencuci baju pun sendiri. Mecoba menyembunyikan semua dari
Amaq dan Inaq, tapi tetap saja terlihat. Aini sibuk dengan sholat dan
mengaji, ia jarang keluar kamar sekedar untuk ngobrol dengan Inaq. Namun, tak ada yang mau
mempermasalahkan.
Seminggu berlalu, banyak yang tidak
biasa terjadi di kehidupan rumah tangga Dani. Ia mencoba menceritakan sifat
istrinya pada kakak kandung istrinya yang menjadi wali pernikahan mereka. Ia
tak ingin membebani keluarganya meski mereka sudah melihat ada yang tidak
baik-baik saja.
“Kak, sibuk?”
“Ada apa, Dan?”
Dani menceritakan dinginnya sikap Aini
padanya dan keluarganya. Kak Arif menghela nafas panjang, “Mucul lagi sifatnya.
Saya tidak pernah ngobrol sama dia, Dan. Dia anak yang dingin dan egois. Saya
kira setelah bertemu kamu, dia berubah. Apalagi keluargamu kenal baik dengan
almarhum Bapak kami.”
“Saya harus gimana, Kak?”
“Kamu sabar, ya. Coba saya bicara sama
dia, tapi saya tidak janji, ya. Saya tidak pernah bicara serius sama dia.”
“Iya, Kak. Terimakasih.”
&^^$####$^&()_
Amaq memanggil Dani dan istrinya duduk
bersama.
“Aini, maaf ya Amaq bukan mau ikut
campur di urusan rumah tanggamu. Mungkin suamimu tidak pernah bicara karena
memang dia anak yang pendiam sejak dulu.”
Aini dan Dani masih diam.
“Nak, Aini. Kalau pagi, Dani biasa
ngopi, kamu tidak perlu urus Amaq dan
Inaq, urus saja kebutuhan suamimu.
Kalau misalnya suamimu atau kamu mau makan yang lain selain masakan Inaq, buat saja di dapur ya.”
Aini megangguk, tak berani menatap mata
Amaq. Setelah bicara, Amaq dan Inaq ada undangan keluarga. Mereka mengajak Dani, tapi ia menolak.
Dani ingin memanfaatkan kesempatan berdua untuk bicara banyak dengan istrinya
yang bahkan sampai seminggu lebih menikah tak pernah menyentuhnya. Mereka
seperti hanya tidur satu kamar, tapi hidup sendiri-sendiri. Tidak ada obrolan
sama sekali sejak ijab qobul diucapkan.
Saat semua pergi, Dani membuka
pembicaraan.
“Maumu apa sekarang?”
“Apa Kak? Kita begini saja, hidup
sendiri-sendiri disini.”
“Kamu sakit ya??? Hei, kamu manusia apa
bukan??”
Dani mulai naik pitam. Ia muak dengan
semua ini. Ibadah dilakukan untuk menutupi keburukannya. Aini hanya diam, tak
ada perubahan mimik muka. Datar, seperti orang tak bersalah. Wanita itu tak
seperti yang dikenalnya sebelum menikah. Dingin dan kaku. Dia berubah drastis.
Semua kalimat yang muncul dari mulut
Dani sama sekali tak membuatnya bergeming. Dia diam dalam duduknya, mimik
mukanya datar, tak ada kata maaf, tak ada kata menyesal. Bahkan seperti orang
yang tak pernah punya rasa apapun.
Dani menyerah bicara. Ia memilih diam
juga, melihat apa yang akan terjadi sambil mencoba menutupi apa yang terjadi
dengan rumah tangga yang baru saja dimulainya.
Tepat sebulan pernikahan mereka, Aini
pamit menjenguk temannya lahiran. Ia akan dijemput sepupunya. Dani hanya
mengiyakan, ia pun tak melihat Aini pergi, ia masih memberi makan ikan.
Hari ini adalah hari yang membuat
banyak orang akhirnya tau siapa Aini. Dia tak pulang sampai malam, mengirim
pesan
-Kak, maaf sudah bersikap seperti ini. Saya tidak bisa
melanjutkan rumah tangga kita, saya tidak bisa pulang, Kak. Saya belum siap
dengan pernikahan ini yang membuat saya tidak bisa melakukan tugas saya sebagai
istri. Saya minta maaf ya, Kak. Ikhlaskan saya Kak. Kembalikan saya ke orang
tua saya saja-
Dani tidak heran, ia menunjukkan pesan
whatsapp istrinya ke orang tuanya. Amaq
naik darah. Tengah malam ia mendatangi rumah keluarga Aini, menceritakan apa
yang terjadi. Ternyata, ibunya Aini sudah duduk di berugak dengan raga yang
lemah. Dia sudah tahu apa yang terjadi dan bingung berbuat apa.
“Tolong cari anakmu dan kembalikan
kerumah saya. Pamit baik-baik kalau tidak mau melanjutkan pernikahan. Bukan
begini caranya. Saya tidak mau tau, urus anakmu!”
Ibu Aini diam. Air mata menetes, tak
bisa berbuat apa-apa. Paman Aini datang menenangkan. Amaq langsung pulang. Memberitahu anak sulung dan anak bungsunya.
Dani baru bisa menceritakan semuanya yang selama ini ditutupinya. Semua kaget.
Kakaknya menangis mendengar cerita Dani. Mereka semua mengira Dani bahagia,
nyatanya semua berbeda.
“Saya plong wanita itu pergi, muak saya
sama dia.”
Kak Arif menghubungi Dani. Meminta maaf
dan dua hari lagi akan kerumah bersama keluarganya. Tidak ada yang menyangka
semua terjadi seperti ini. Dani mengiyakan tanpa banyak berkata. Namun, rasanya
memang lebih lega tidak ada Aini dirumah. Wanita itu sudah membuat luka yang
sangat dalam untuk Dani.
Sejak kejadian itu, mereka tak pernah
lagi mau tahu bagaimana keadaan Aini. Keluarga besarnya datang minta maaf dua
hari setelah kepergian Aini pun tak tahu wanita itu ada dimana. Dani tak lagi
ingin tahu, tak lagi ingin menambah pikiran. Melepaskan duri yang menancap
dalam itu lebih baik.
Comments
Post a Comment