Pembagian Raport, ajang Pamer, Presentasi atau Evaluasi???




Akhir tahun ajaran, saatnya evaluasi. Terima raport anak menjadi salah satu cara untuk evaluasi dan sharing dengan wali kelas. Ini adalah moment yang saya tunggu, bukan untuk mengetahui peringkat angka, tapi untuk mengetahui perkembangannya selama satu tahun ini. 

Aspek apa yang sudah berkembang pesat, aspek apa yang perkembangan dan prosesnya kurang cepat dan saran apa yang bisa menjadi solusi untuk bisa ke jenjang kelas yang lebih tinggi nanti. Namun, nyatanya justru di penerimaan hasil belajar setahun hanya membatasi proses anak dari capaian nilai yang terteta. Mereka dibatasi hanya dari beberapa aspek kognitif. Aspek adab yang katanya menjadi indikator nyatanya tidak dimasukkan dalam indikator perekembangan saat sedang bertatap muka wali kelas dan orang tua. 

Mungkin karena terima raport sudah terlalu sering karena tidak hanya di akhir semester, evaluasi hasil belajar juga dilakukan di tengah semester. Jenuh dengan kegiatan yang sama dan tidak ada perubahan signifikan. Hal ini menjadikan moment terima raport menjadi hal yang tidak lagi ditunggu. Wali kelas pun tak banyak membuat orang tua menjadi tercerahkan dengan diskusi evaluasi belajar tersebut. 

Setiap anak memiliki kelebihan yang berbeda-beda. Kecerdasan yang Allah SWT berikan sejak lahir sudah sangat beragam untuk bisa menjadi makhluk yang bisa menjadikan kelebihannya sebagai senjata untuk melakukan amal terbaik sebagai hamba. Bukan hanya utuk dirinya sendiri bertahan hidup, tapi juga menjadi manfaat untuk sekitarnya sehingga bisa menjadi bekal amal kelak berpulang. 

Sayangnya, banyak orang tua yang tetap mengedepankan angka, banyak orang tua yang menjadikan angka sebagai patokan. Bukan pemahaman dan aplikasi sehingga sekolah menjadi sarana untuk mendapatkan teori tanpa harus mempraktikkannya. Ini yang cukup mengganggu saya. Saya merasa teori itu hanya sebatas pengetahuan, tanpa memberikan aplikasi nyata kepada anak-anak.

Beberapa sekolah yang sudah menerapkan konsep aplikasi beriringan dengan teori juga ada. Presentasi karya anak-anak dengan memberikan ruang bagi kelebihan anak-anak dengan terus memberi mereka motivasi untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Memberikan mereka kesempatan untuk berkembang tanpa memberi batasan hanya angka. Membuat mereka belajar dari apa yang ada di sekitar mereka untuk bisa mengasah kemampuan menjadi manfaat sebagai makhluk di bumi Allah. 

Saat menjadi dewasa kelak, kami berharap mereka sudah tahu apa yang bis mereka lakukan untuk menjadi manusia yang bahagia dalam berproses melakukan amal terbaiknya. Setiap ibadah yang dilakukan adalah pilihan yang sadar dan terus menjadi pembelajar sepanjang hayat. 

_Catatan Venti_

Dulu memang pembagian raport adalah saat orang tua mencari kebanggaan atas prestasi anaknya. Saya merasakan itu karena orang tua saya selalu bangga dengan hasil yang saya berikan melalui nilai raport yang saya rasa susah mendapatkannya. Saya belajar sangat keras tanpa les untuk bisa mendapatkan hasil tersebut. Banyak keterbatasan membuat saya berfikir banyak cara untuk belajar sendiri dan memahami pelajaran. Orang-orang di sekitar juga selalu bertanya "Rangking Berapa?"

Rangking atau peringkat menjadi patokan tingkat belajar setiap anak. Semua dituntut untuk memiliki kemampuan akademis dengan tidak mengindahkan kecerdasan yang lain atau bahkan adab anak tersebut. 

Kini, ilmu pengetahuan berkembang. Saya pun belajar tentang bertumbuh bersama anak-anak. Belajar fitrah anak, belajar mempertanggungjawabkan amanahnya, bukan hanya membersamai untuk memuaskan kebanggaan diri. Anak bukan papan skor orang tua karena Allah SWT yang mampukan dan ada takdirNya yang bekerja di setiap proses yang dilalui. 

Orang tua adalah fasilitator, bukan tolok ukur kehebatan anak. Tidak lagi menyeragamkan kepandaian hanya dai kognitif sebab kelebihan itu tidak hanya itu. yang terpenting adalah menjadi manusia yang memiliki manfaat, bisa menerapkan ilmu, bisa terus belajar untuk bisa beramal terbaik sebagai hambaNya. Menjadi manusia yang setiap langkahnya adalah ibadah untuk mendapatkan ridhoNya. 

Nyatanya tidak semua memiliki pemikiran yang sama. Saya pun ada di lingkungan yang menjadikan kognitif sebagai patokan. Namun, ternyata banyak teman sepemikiran di beberapa komunitas. Banyak yang kurang setuju dengan standar kognitif saja sebagai patokan berhasil dari diri anak tanpa memperhatikan aspek yang lain. 

Stigma ini tentu sulit hilang dari masyarakat. Meski banyak yang setuju dengan berbagai macam kecerdasan anak, tapi nyatanya dalam prakteknya, masih banyak yang diam-diam membuat peringkat dari skor yang ada di raport. Padahal, besar harapan saya wali kelas bisa memberikan saya keterangan apa kelebihan anak saya di sekolah yang beliau amati, apa yang perlu ditingkatkan dan apa yang sekiranya bisa saya lakukan untuk support kelebihan anak saya.

Besar harapan saya, guru bisa memberi apresiasi sesuai dengan kelebihan anak didiknya. Yatapi bahkan pendidik pun tiak memiliki pandangan yang sama dengan saya. Disinilah peran orang tua sangat besar untuk bisa mendukung kelebihan anak untuk bisa menjadikannya lebih kuat dan bermanfaat. 

Kekecewaan pada sistem pendidikan formal lah yang membuat beberapa orang tua memutuskan untuk homeschooling. Salah satu cara untuk bisa memfasilitasi anak-anak dengan kecerdasan yang tidak difasilitasi oleh sekolah. Memberikan peluang kepada anak-anak untuk pengalaman d

Comments