Memilih sekolah bukan hal yang mudah. Memilih tempat menitipkan anak adalah perkara yang rumit.
Bukan tentang seberapa bagus sekolah itu, tapi seberapa anak kita butuh sekolah itu. Sejak awal, memilih sekolah bagi saya bukan tentang bagus atau tidak. Saya melihat visi dan misi sekolah, melihat lingkungan fisik sekolahnya kemudian melihat bagaimana sekolah itu memandang anak-anak.
Intinya adalah jangan terlalu tinggi berespektasi karena kecewa itu akan lebih menyakitkan.
Pertimbangan mencari sekolah untuk dua anak itu berbeda, tergantung dari kebutuhan setiap anak. Si sulung misalnya, anaknya suka eksplore, suka main di luar, suka banyak teman dan energi fisiknya tidak pernah habis. Dia tidak sulit beradaptasi. Watak sanguinis membuatnya selalu ceria dimanapun.
Sejak adiknya lahir, ia meminta untuk sekolah. Beberapa kali kerumah Uti di Lombok Timur yang depan rumah ada TK, dia selalu ikut senam bahkan masuk ke kelas. Dia kenal teman banyak dan selalu ceria kalau ada teman. Dia paling betah kalau banyak orang. Energinya seperti terkumpul.
Sejak umur 4 tahun dia sudah sekolah dan tidak pernah bosan sekolah karena di benaknya adalah bermain bersama teman-teman. Bahkan sering minta dijemput telat, mau main dulu. Gurunya pun mengatakan kalau si Sulung lebih suka kegiatan main di luar yang bersifat motorik kasar dan rentang fokusnya lebih sebentar.
Saat memilih Sekolah Dasar, saya pun mempertimbangkan luasnya area dan fokus sekolah. Melihat dia yang suka berteman, saya merasa dia akan suka bahasa sebab bahasa membuatnya bisa berteman lebih banyak. Saya pun memilih sekolah yang sekarang menjadi sekolah si Sulung karena pertimbangan itu. Meski sekolah baru, visi misinya sepertinya sesuai dengan keluarga kami dan kebutuhan si Sulung. Sekolah yang mengutamakan Adab dan Akhlaq adalah yang membuat saya memilih sekolah ini pada akhirnya setelah mempertimbangkan beberapa sekolah.
Pertimbangan pemilihan sekolah untuk Si Sulung yang Ekstrovert (Sanguinis)
1. Sekolah yang memiliki lapangan yang luas dan ruangan kelas yang luas dengan sirkulasi udara dan cahaya yang baik untuk memfasilitasi kebutuhan geraknya agar tidak mudah bosan juga.
2. Sekolah Berbasis Agama mengutamakan Adab dan Akhlaq.
3. Meski sekolah baru, tapi muridnya sudah banyak.
4. Berbasis sekolah bahasa yang bisa memfasilitasi kesukaannya berteman.
5. Tidak dekat jalan raya sehingga aman.
Berbeda dengan Kakaknya, si Bungsu tipe introvert. Karakter melankolisnya yang dominan membuatnya tidak terlalu suka terlalu ramai dan hiruk pikuk yang membuatnya habis energi. Dia tidak mudah beradaptasi, dia lebih suka nempel emak dan lebih suka dirumah. Awalnya saya memilih untuk home schooling saja, tapi Ayahnya tidak menyetujui. Beliau takut ketika dibiarkan dirumah justru membuatnya makin tidak mau bergaul.
Kami pun berusaha keliling melihat beberapa sekolah dan membawa si Bungsu untuk memilih sendiri sekolah mana yang dia mau. Namun, ternyata belum ada yang dia suka. Dia selalu bertanya dimana teman-teman main di kompleks sekolah. Dia ingin sekolah bersama teman mainnya di rumah. Namun, saya tidak menurutinya.
Pertimbangan Sekolah untuk Si Bungsu yang Intrvert (Dominan Melankolis)
1. Sekolahnya berbasis agama.
2. Sekolahnya harus memiliki rasio guru dan murid dengan 1 guru maksimal menangani 6 murid untuk lebih fokus karena si Bungsu butuh kelekatan emosional dengan gurunya agar mau di ditinggal di sekolah oleh ibunya karena sifat introvert yang mungkin akan lebih lama beradaptasi.
3. Sekolah yang tidak terlalu ramai sehingga Si Bungsu lebih mudah membaur.
4. Tidak ada tetangga rumah sehingga dia memiliki teman baru
5. Sekolah yang mengedepankan kegiatan sensori motorik karena rentan fokus si Bungsu sudah lebih lama dan suka kegiatan sensori motorik.
6. Tidak banyak kegiatan keluar agar lebih fokus dengan sensori motorik di sekolah
Pilihan akhirnya kami yang putuskan setelah berdiskusi dengan ayahnya. Kami memilih sebuah sekolah yang ada di rumah seorang teman. Melihat kegiatannya di media sosial sepertinya memang ini yang kami butuhkan sesuai banyak cheklis yang terpenuhi.
Namun, ternyata tidak ada yang berkembang mulus ketika espektasi terlalu besar. Dua bulan awal sekolah, drama masuk sekolah menjadi hal yang paling melelahkan. Empat hari pertama adalah pengamatan. Saya menemaninya mengamati kegiatan di sekolah. Dia tak mau lepas dari pangkuan saya. Sampai akhirnya saya bertanya apakah dia mau sekolah disana, dia pun mengatakan iya.
Ada ketertarikan, ada keinginan untuk kembali. Namun, setiap kali datang, dia selalu mengatakan kalau dia malu masuk. Dia menangis, tidak mau masuk, tapi tidak mau pulang. Setiap bersama saya, dia tak mau main dan bergabung dengan teman-temannya. Dia ingin ada di dekat saya sampai gurunya meminta izin untuk sedikit memaksa kalau saya bersedia. Saya pun menyetujuinya.
Saya bertanya padanya siapa guru yang disukainya. Dia menyebutkan satu nama yang akhirnya saya komunikasikan untuk menyerahkan pada satu guru itu setiap datang. Meski tetap harus dipaksa, tapi setiap kali pulang dia selalu merasa senang sekolah. Dia selalu ingin kembali sekolah. Dia siap sekolah semangat setiap pagi, hanya malu setiap kali akan memulai sekolah. Drama terjadi setiap kali sampai di depan gerbang sekolahnya.
Setiap kali saya membawanya pulang, dia selalu meminta ke sekolah dan ingin sekolah. Meski sampai di sekolah kejadian yang sama terulang kembali. Namun, ternyata dia butuh teman yang nyaman. Saat ada sepasang anak kembar yang masuk dan katanya itu 'bestie', dia sudah tidak pernah menangis lagi masuk sekolah. Disaat saya sudah pasrah akan begini setiap hari, ternyata semua dimudahkan.
MasyaaAllah....
_Cerita Venti_ pan
Comments
Post a Comment