Renovasi Rasa

 Rasanya satu bulan ini lama sekali. Rasa ingin pulang terus menggelayut meski tahu kalau akan butuh waktu yang lama. 

Setelah lima tahun memutuskan untuk mandiri, kembali ke rumah mertua rasanya begitu berat. Awalnya bahkan sampai kena mag karena berfikiran terlalu berlebihan. Banyak ketakutan yang tergambar, meski hal itu belum terjadi. Penyakit asam lambung memang selalu identik dengan psikis yang terlalu berlebihan.

Selalu ada kecemasan setiap kali datang ke rumah ini. Pernah ada yang tidak menyenangkan, pernah ada yang tak mengenakkan di hati. Rasanya begitu melekat membuat trauma. Namun, kucoba menepis segala anggapan itu. Mencoba menjalaninya tanpa banyak kecemasan. Menjalaninya dengan niat berbakti pada orang tua yang sedang berkejaran dengan waktu untuk bisa berbakti.

Doa untuk bisa kuat menjalaninya. Semoga dilancarkan untuk segala urusan agar segera selesai sesuai perkiraan. Karena nyatanya tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar untuk menumpang. Tiga bulan bukan waktu yang singkat untuk tetap istiqomah mendisiplinkan anak-anak ketika ada orang lain yang justru membelanya.

Bersabar. Ini ilmu yang sangat tinggi tingkatannya. Tak banyak orang yang bisa menjalaninya meski tahu ilmunya.

Sabar untuk menunggu waktu kembali ke rumah. Bersabar menghadapi anak-anak yang punya tameng pelindung, bersabar atas anak-anak yang malah disodorin hp sama Mbahnya dan bersabar atas privasi yang harus dikesampingkan karena berada seatap dengan mertua.

Belakangan ini memang saya sengaja tidak sering melihat rumah meski sebenarnya sangat ingin melihat progressnya. Hanya tidak ingin terlalu memikirkan dan berharap lebih. Kalau memang harus tinggal lebih lama di rumah mertua, mungkin itu memang sudah harus kami jalani. Jalani dengan sebaik-baiknya dan jangan mengeluh. Semoga ini bisa menjadi jalan bakti kami sebagai anak dan anak-anak kami bisa melihat bagaimana bakti orang tuanya pada orang yang lebih tua. 

Selalu ada hikmah dibalik semua peristiwa. Selalu ada yang baik yang bisa kita petik. Tinggal dari sudut pandang mana melihatnya. Itu saja. 

Satu setengah bulan sudah berlalu dengan begitu banyak peristiwa selama rumah direnovasi. Meski tak seperti yang kubayangkan karena nyatanya lebih banyak kebaikan dibanding kecemasan yang terjadi, tapi rasa ini tak bisa berubah. 

Bukan hanya rumah yang perlu direnovasi. Sejatinya, rasaku pun perlu direnovasi. Membuat fondasi yang lebih kokoh untuk bisa menepis kecemasan. Membuat rasa lain yang lebih baik bisa datang dan menghampiri. Rumah adalah wadah untuk tubuh sedangkan hati adalah wadah untuk jiwa. Keduanya perlu dikuatkan, keduanya perlu direnovasi untuk memberikan ruang yang cukup dan nyaman untuk yang menghuninya.

Hatiku, kini sedang butuh kekuatan untuk merenovasinya. Kenapa sulit merenovasinya? Kenapa trauma ini selalu mengintai? Mengapa selalu ada cemas yang muncul dan menggelayut? 




Comments