Kami Pernah ke Bromo

Rasanya baru kemarin kami berencana mau ke Bromo. Itu pun sebenarnya iseng saat sedang sholat Ashar di Musholla belakang kantor. Saat itu aku yang pertama bilang ingin mengambil cuti ke Jawa. Disambut Tami yang nyeletuk ingin ambil cuti juga.

"Ke Bromo asik nih," kataku sambil memasang bawahan mukena.

Secepat kilat dengan gaya ngerengek, Tami yang saat itu masih menjadi staff SDM langsung menggelendot ke kaki kananku sambil berkata, "Mau ikut."

Kami melepas lelah dan penat saat istirahat dengan cara kami. Ini sering kami lakukan di musholla karena tempatnya sejuk dan nyaman. Karena sudah lewat sholat berjamaah, kami lebih leluasa mengobrol. Beberapa diantara kami malah sengaja tidur di musholla saat istirahat siang meski hanya sejenak. Tak sampai lama, memanfaatkan waktu istirahat siang satu jam untuk mengistirahatkan otak dan badan terutama saat puasa. 

Tak lama, Zulfa, sekretaris Pak Pimpinan Cabang datang dengan senyum andalannya. Dia ini tipe orang yang tidak bisa marah dan cuek dengan banyak hal yang terkadang membuat orang kesal. Tipe orang sepertinya memang menyenangkan untuk menjadi teman karena sangat menghibur. Banyak orang kesal padanya karena terkadang lambat mengerti bahkan harus dijelaskan berkali-kali, tapi sebagian orang justru senang dengannya yang tak pernah marah meski keadaan sedang sangat sensitif. Keceriaan dan kepolosannya membuat banyak orang terhibur karenanya.

Dia menanyakan kami sedang membahas apa.

"Mau cuti nih, Bromo yuk," kataku yang memang akan menghabiskan jatah cuti sebelum kontrak habis. Aku berniat akan melanjutkan pasca sarjana sambil bekerja. Niat ini belum pernah kusampaikan, tapi sudah kurencanakan takkan memperpanjang kontrak kerjaku.

"Yuk, kita ke Bromo ambil cuti barengan," Tami menimpali.

Zulfa tersenyum kecut karena dia sudah mengambil jatah cuti dan uang cutinya untuk kebutuhan mendesaknya. Tami yang cukup dekat dengan Zulfa mengatakan akan membantu uang tiket kalau dia mau ikut. Padahal, saat itu kami belum mengajukan cuti dan akan sulit kalau cuti bersamaan karena kami berada di satu cabang. 

"Coba aja ajuin dulu. Pake alasan yang masuk akal biar disetujui. Kita kan beda bagian, nggak akan ganggu operasional," kata Tami yang paham karena merupakan staf SDM. 

Tak disangka, obrolan itu pun terwujud. Kami bisa cuti bersama dan ke Bromo bersama bulan berikutnya. Diantar Bapakku dari Sidoarjo ke Malang karena Bapak proyek di Surabaya, kami mendapatkan tumpangan menginap di rumah kontrakan sepupu Tami. Dari kenalannya lah, kami akhirnya bisa ke Bromo dengan biaya yang cukup terjangkau.

Kami, tiga anak muda seumuran di kantor itu sering mengobrol di musholla. Hari ini pun kami sempat membahas tentang doa kami untuk menikah dengan orang yang serius tanpa pacaran.

"Tahun depan lah nikah insha Allah ya. Pokoknya siapa aja yang maju ngelamar, sikat sudah," kata Tami sambil tertawa. Aku pun mengiyakannya meski kami saat itu kami sedang tidak dekat dengan siapapun. Umur kami sudah cukup untuk menikah dan kami merasa siap menikah. Kami pun ternyata saat itu sedang berharap pada seseorang yang ternyata tak bisa diharapkan meski kami tidak saling tahu. Kami terbuka tentang cerita itu ketika kami sudah akan menikah dan itu menjadi sangat lucu bagi kami beberapa bulan kemudian.

Kalimat baik di musholla itu pun terwujud. Tak lama, Tami dilamar oleh seseorang yang pernah bertemu saat mendaki Rinjani. Seorang pemuda asli Jakarta yang memberanikan diri melamarnya dan serius akan menikahinya. Aku pun ternyata mengalami nasib yang tak jauh beda. Seorang pemuda keturunan Jawa yang sejak lahir di Lombok karena kedua orang tuanya dinas disini hingga menetap disini, melamarku hanya dengan tiga kali bertemu. Kami berdua bahagia dengan kejutan Allah yang luar biasa ini. Kami tak pernah membayangkan akan dilamar secepat ini. Kami tak pernah membayangkan akan datang jodoh dari arah yang tidak disangka. Kami memantabkan niat setelah sholat istiharoh dan memohon petunjukNya.  

Aku dan Tami resign bersamaan karena kontrak kerja kami kebetulan bersamaan. Tami memutuskan resign karena memang sudah lebih dulu punya rencana menikah sedangkan aku saat memutuskan resign belum ada rencana menikah. Justru di bulan terakhir masuk kantor aku bertemu dengan seseorang yang langsung mengajak kami menikah. Padahal, saat Tami bercerita dilamar seseorang, aku sangat bahagia dan berdoa aku pun bisa merasakan hal yang sama dan mendapatkan seorang pemuda sholeh. MasyaaAllah... Allah mengijabah kalimat kami di musholla kala itu. Kami menikah selang sebulan. 

Zulfa pun akhirnya menikah setelah resign dari kantor beberapa tahun berikutnya. Dia menikah dengan pemuda yang sudah dipacarinya sejak lama. Kami masih terus berkomunikasi meski sudah tak lagi bekerja di kantor yang sama. Banyak kenangan yang indah tentang kebersamaan kami sebagai ladies di kantor yang sering diajak Pak Pinca sebagai supporter untuk pertandingan antar cabang bahkan untuk kompetisi di Wilayah, Denpasar. Kami yang kala itu sedang sangat energik dan memiliki banyak waktu luang sering menjadi tim hore dan penyemangat teman-teman yang sedang bertanding. Ya, kami sering bersama karena ini. Kami sering bersama karena masih single, fleksibel dan tidak bucin. Ah, kala itu. Banyak pengalaman yang bisa kami dapatkan kala itu meski kalau diingat lagi memalukan. Haha....

Kini, kami sudah memiliki dua anak, kami sudah tak lagi bekerja di kantor dan memilih berjualan online sambil membersmaai anak-anak. Tami yang memang sejak awal menikah dengan seorang pengusaha, memiki sebuah toko yang dibuat di depan rumah orang tuanya yang berada di pinggir jalan yang stretegis di kota Mataram. Bersama suaminya, mereka membangun usaha mereka di beberapa kota, yaitu Jakarta yang memang tempat tinggal suaminya, Yogyakarta, Surabaya dan Mataram. Mereka menjadi dua pengusaha yang semakin hari terlihat semakin banyak belajar ilmu agama dan bermanfaat untuk banyak orang.

Zulfa dan aku menjadi ibu rumah tangga sambil berjualan online. Mengisi waktu lebih bermanfaat tanpa meninggalkan anak-anak. Harus ada yang diprioritaskan karena hidup adalah pilihan. Obrolan kami sekarang sudah seputar anak-anak dan pengalaman kami masing-masing sebagai ibu rumah tangga. Berbagi cerita, berbagi semangat dan berbagi keceriaan. Hari ini, kami dipertemukan bersama lagi setelah sebelum-sebelumnya selalu bertemu secara terpisah dan banyak cerita tentang masa lalu yang sangat menghibur. 

Kami semua bertumbuh di lingkungan kami dengan cara kami. Kami saling menasehati dalam kebaikan, kami saling memberi inspirasi dalam kebaikan dan kami tak lupa saling mengingatkan dalam kebaikan. Sejak masih lajang bersama di kantor hingga sekarang semua sudah berumah tangga dan memiliki dua anak, kami tak pernah sama sekali saling menyakiti satu sama lain. Memang persahabatan kami tidak sedekat semua diceritakan, tapi kami tetap bisa ngobrol asikt anpa ghibah tentang masa lalu dan masa sekarang. Kami berbagi pengalaman hidup di tempat terpisah, kami berbagi pengalaman dengan pandemi ini dan kami memetik banyak pelajaran.

Sebagai pengusaha, Tami banyak bercerita tentang roller coaster kehidupannya. Banyak hal di luar dugaan harus dialami seperti saat perjalanan dari Jakarta ke Lombok dengan mobil pribadi. Dia harus mengalami macet mobil di tol sedangkan ada bayi 6 bulan yang mereka bawa. Dua kali mobil harus diderek, diperbaiki semalaman, jauh dari hotel dan mengatasinya dengan kerjasama yang baik tanpa saling menyalahkan. Mereka sudah terbiasa dengan roller coaster kehidupan karena sejak awal menikah memang mereka merintis usaha bersama. 

Terimakasih untuk banyak cerita dan semangatnya, Sahabat. Semoga Allah memberikan kesempatan untuk kita bisa bertemu kembali dan berbagi semangat lagi. Punya teman yang baik, bertemu tanpa ghibah, bertemu untuk saling support, bertemu untuk saling menguatkan  adalah rezeki. Meski tak semudah dulu untuk bisa bertemu, tapi silaturahim tetap terjalin. Terimakasih untuk saling mengingatkan menjadi lebih baik, Gengs.

Next, kalau kondusif, kita playdate ya Gengs. 

 







Comments