Cerita Rumah Tangga

 Setiap rumah tangga memiliki cobaaannya masing-masing. Setiap orang memiliki ujian kehidupannya masing-masing. Meski terlihat sama atau hampir sama, tapi cara pandang yang berbeda, penerimaan yang berbeda akan membuat aktualisasi yang berbeda. Seberapa besar kita berserah dan percaya kalau semua adalah ketetapanNya. Bertaubat dan istighfar menjadi kunci ketenangan hati ketika masalah besar sedang melanda.

Ada seorang pasangan yang sudah tidak muda lagi mengontrak di depan rumah. Mereka sudah setengah baya dan tidak ada yang membawa anak. Si Bapak terlihat rajin ke Masjid setiap kali sholat lima waktu. Saya yang memang tidak terlalu sering keluar dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah mertua yang masih satu kota jarang tahu ada orang baru. Hanya tahu kalau sudah ada yang mengontrak karena sudah ada lampu yang menyala pada malam hari.

Beberapa minggu setelah itu baru tahu orangnya karena bertemu di jalan. Ternyata beliau berdua pasangan baru menikah. Ibu yang bertemu denganku di jalan adalah istri kedua dari suaminya yang merupakan seorang pegawai BUMN. Beliau berasal dari ujung timur Pulau Jawa yang ditugaskan di Pulau Lombok ini di sebuah perusahan BUMN di bidang perumahan. Perumnas yang dulu banyak menjamur kini sudah banyak tergeser oleh menjamurnya Developer baru yang menawarkan perumahan dengan berbagai teknik marketing.

Saya mulai lebih dekat ketika tetangga sebelah rumah saya memanggil malma-malam. Dia meminta saya membantu seorang tetangga yang mengontrak itu sedang sesak nafas dan suaminya sedang mengambil mobil di kantornya. Saat itu ibu ini mengatakan diantara sesaknya dia akan mati. Suaminya datang tak lama setelah itu. Saya pikir saat itu mungkin tidak pernah keluar karena memang sakit. Namun, ternyata lama kelamaan dekat dengan tetangga saya yang memang sering di rumah. Kami pun sering mengobrol sambil anak-anak main sore.

Beliau banyak cerita pada saya tentang suka dukanya menjadi istri kedua yang tidak diketahui oleh istri pertamanya. Sosok suami yang menikahinya adalah orang yang emosional. Kadang terlihat baik, kadang saat sedang marah seperti orang tak punya etika yang suka merusak barang bahkan pernah memukul. Ibu ini sering seperti kerasukan, suaminya mengatakan kalau dia sedang kumat seperti diganggu makhluk tak kasat mata, dia harus disadarkan dengan dipukul karena mau bunuh diri. 

Beliau bilang kalau sakitnya bukan sakit medis, tapi sakit diganggu makhluk halus. Ada yang bilang kiriman karena tidak suka dengan rumah tangganya, tapi dia pun tidak tahu kenapa sampai ada yang mengganggunya. Dia cerita kalau sebenarnya dia tidak suka dengan sosok lelaki ini dan tidak mau diperistri karena tahu mempunyai istri di Jawa. Namun, sosok yang terlihat alim dan tenang di depan orang ini mengancam akan mencelakai keluarganya kalau sampai Ibu Lin tidak mau menikahinya. Ibu Lin janda dua kali yang hanya punya satu anak. Bercerai dengan suami pertama dengan membawa satu anak dan suami keduanya bekerja ke Kalimantan tidak pernah pulang.

Saya cukup dekat dan tahu bagaimana senang sedihnya mereka karena Bu Lin percaya untuk menceritakan pada saya. Beliau cerita kalau mengalami tekanan batin menikah dengan suami orang. Namun, tak bisa berbuat apa-apa karena diancam. Menikah pun dia seperti orang bingung, dia merasa dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya saat menikah dengan  suaminya. Dia seperti orang linglung dan bingung.

Suaminya menjanjikan akan membelikan rumah, akan memberangkatkan umroh dan membelikan perhiasan emas untuk istrinya. Terkadang, Bu Lin merasa kalau dia tidak diperlakukan adil seperti istri pertamanya yang terus meminta ini itu sedangkan dia hanya dijatah uang untuk makan Rp 50.000,-/ hari tanpa tambahan apapun. Kadang, dia merasa bahagia dibelikan baju dan tas mahal. Kadang, dia merasa sangat tertekan dan cemburu dengan istri pertamanya. Ada kalanya dia meminta suaminya memilih agar tidak ada suudzon karena dia merasa tidak diperlakukan dengan adil. Dia meminta suaminya untuk tidak menghubungi istri pertamanya saat bersama dengan Bu Lin. 

Semua berjalan dengan suka dan dukanya. Suaminya berternak ayam di halaman tempatnya mengontrak. Hasilnya bisa untuk menambah keperluan dapur. Mereka ditawari sebuah rumah yang lebih kecil di deretan gang kami juga karena pemiliknya akan pindah ke Kalimantan. Menghabiskan masa sebelum pensiun sebagai polisi di tanah tempat mereka bertemu. Meski bukan orang asli Kalimantan, tapi mereka nyaman disana di masa pensiun dengan segala aset yang sudah dibangun. Bu Lin dan suaminya ditawari untuk mengontrak disana. Beliau pun setuju dan mereka pindah.

Rumah yang mereka beli di pinggir kota belum selesai dibangun karena keterbatasan dana katanya, jadi mereka melanjutkan kontrak rumah. Namun, ternyata rumah itu juga belum jelas karena meminjam nama orang untuk mengambil kredit. Hingga akhirnya sebuah peristiwa besar membuat rumah tangga ini diambang perpisahan. Ternyata suami Bu Lin terjerat banyak hutang hingga tidak berani keluar rumah karena banyak yang menagih. Bukan hanya hutang di orang luar kantor, tapi uang kantor pun ikut lenyap. Menurut Bu Lin, sebelum menikah dengannya memang dia sudah memiliki banyak hutang, padahal cerita ke Bu Lin kalau suaminya suka meminjamkan uang yang sampai sekarang belum dikembalikan hingga ratusan juta. Entah mana yang benar, tapi memang lama dia tidak bekerja dengan berangkat ke Bima. Kantornya pindah ke Bima, jadi beliau harus bolak-balik Bima-Mataram karena kontraknya di Mataram belum selesai.

Bu Lin cerita kalau banyak orang mencarinya menagih hutang bahkan mengancam akan melapor ke polisi. Suaminya tak berani keluar, uang gajinya digunakan untuk mencari solusi pergi ke kyai dan ke dukun untuk mencari syarat. Barang yang bsia dijual, dijualnya. Bu Lin sampai menangis saat merasakan betapa menderitanya dia. Sempat dia menyesal, tapi tak ada gunanya menyesal. Sempat dia ingin berpisah, tapi tak tahu kemana harus pulang. Tempatnya tinggal di rumah kakaknya yang tidak setuju dengan pernikahannya sudah dijadikan gudang. Ibunya ikut adiknya mengontrak rumah. Keluarganya tidak tahu kalau dia sedang kesusahan. Kakaknya malu menerimanya kembali karena tidak setuju Bu Lin menikah dengan orang yang sudah bersuami. Namun, mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi.

Bu Lin menjual sepatu, kucing kesayangannya dan beberapa gamisnya agar tetap bisa makan karena sudah tak pernah lagi diberi uang untuk belanja oleh suaminya. Keluarganya yang belum punya uang menggantinya dengan beras dan lauk yang ada sebelum membayarnya. Suaminya beerubah drastis, tak ada lagi keromantisan, tak ada lagi kata yang enak didengar, tak ada lagi kelembutan yang dulu pernah ditampakkan. Yang ada hanya emosi dan amarah. Menyalahkan dan terus menganggap kalau Bu Lin pembawa sial. Padahal, Bu Lin sempat kasihan melihat suaminya terpuruk, tapi ternyata suaminya justru menghina dan menyalahkannya karena sudah membuatnya kena sial hingga memutuskan untuk berhenti. Hutangnya dibayarkan oleh kantor dan dia memilih berhenti bekerja disaat banyak pengurangan pegawai.

Bu Lin cerita kalau dia sekarang bekerja di toko baju bekas milik temanya dan dibayar untuk bisa dapurnya tetap mengepul. Suaminya masih uring-uringan dan terus menyalahkannya yang telah menghabiskan uangya, tidak bisa membantu dan justru mengumpat disaat emosinya memuncak. Bu Lin yang biasa diam ikut tersulut emosi karena terus dicaci dan dimaki. Dikeluarkannya semua yang ada di hatinya, meminta pisah dan minta dibelikan rumah kecil untuk tinggal. Hanya itu keinginannya sejak dulu. Dia tak tahu harus kemana kalau berpisah, jadi tetap bertahan di rumah itu meski tak ada bahagia.

Tak ada lagi saling sapa di rumah itu. Seperti hidup sendiri-sendiri dalam satu rumah. Mereka bahkan beli makan pun masing-masing. Suaminya tak pernah lagi menafkahi. Bu Lin tetap ingin berpisah, tak sanggup melanjutkan tekanan batin bersama suaminya. Pernah suaminya bilang mau pulang ke Jawa, Bu Lin tidak keberatan asal diberikan tempat tinggal layak untuknya yang pernah dijanjikannya saat menikah dulu. Rumah yang rencana dibelikan untuk Bu Lin sudah diambil oleh yang punya nama, anak rekannya, karena tidak mau namanya rusak karena tidak mencicil. 

Tak ada lagi harapan. Langit kelam dan hitam. Entah kapan akan ada lagi cahaya dan angin sejuk.




Comments