Cobaan Pertama Kami

Setiap orang menjalani takdirnya masing-masing sesuai dengan garis yang sudah dituliskan di lauh mahfudz olehNya. Dengan ikhtiar dan doanya, takdir yang dijalaninya bisa berubah sesuai ketetapanNya. Begitu pula denganku. Sebuah ikhtiar tak selamanya berjalan mulus seperti yang kita inginkan. Terkadang harus tersandung, terkadang harus jatuh dan terkadang harus salah dulu baru baru bisa tercapai.

Terjatuh ataupun mengambil jalan yang salah bukan berarti sebuah kesalahan fatal yang tak bisa diperbaiki. Selama mau berusaha untuk menjadi lebih baik dan bertaubat atas sebuah kesalahan, pasti ada jalan untuk menemukan yang benar dan bahagia. Disanalah letak pembalajaran. Ketika musibah maupun cobaan sebesar apapun menimpa, tak perlu mencari kejelekan dan kesalahan, tapi carilah penyelesaian dan hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi. Boleh jadi dengan jalan itulah kita bisa mengambil banyak manfaat dan barokah atas usaha kita menerima dengan keikhlasan.

Sebuah peristiwa yang baru saja terjadi pada kami Sabtu, 30 November 2013 lalu, ketika Mas Wawan menjemputku ke Mataram seperti minggu-minggu sebelumnya. Kami mengalami kecelakaan kendaraan di Montong Baan, Sikur. Peristiwa yang membuat kami terpelanting ke pinggir jalan membuat banyak luka di tubuh kami. Orang-orang mengerubungiku, kulihat darahku menetes. Luka yang cukup dalam sepertinya di wajah bagian atasku. Kerudungku basah dengan darah, tapi belum ada rasa sakit yang terasa ketika itu. Mas Wawan bangun tak jauh dariku, melihat darah yang mengucur ia langsung panik. Istighfar terus saja terucap dari mulutnya, begitupula di hatiku. Seseorang terdengar menghentikan sebuah kendaraan untuk membawa kami ke puskesmas terdekat agar aku segera ditolong karena darah terus mengucur.

Sebuah mobil pick up berhenti dan seseorang memapahku mendekati mobil. Tiba-tiba semua terlihat buram dan gelap. Sepertinya darah yang mengucur membuat penglihatanku buram.

"Pak, maaf sepertinya saya mau pingsan," kataku mencoba mencari pegangan karena yang lain entah sedang sibuk dengan apa.

Seorang bapak memegangku, menaikkanku di mobil dan menyangga kepalaku. Mas Wawan duduk di sampingku. Berkali-kali istighfar. Kupejamkan mataku, terus istighfar dalam hati. Berdoa agar tidak pingsan dan terjadi sesuatu yang buruk sekali. Namun, aku sudah pasrah akan semua yang terjadi berharap tetap masih diberikan kesempatan untuk hidup dan mewujudkan sebuah ikhtiar yang sedang kami bangun berdua. Kucoba membuka mata dan semuanya terlihat terang. Sapu tangan yang diberikannya untuk menutup lukaku terus dipegangnya sambil minta maaf di selah istigfarnya. Kucoba tersenyum sambil masih menutup mata mencoba menenangkannya.

"Nggakpapa kok mas, venti nggakpapa," kataku sambil memegang tangannya yang memegang tanganku.

Sampai di puskesmas, banyak orang melihat kami. Untuk pertama kalinya aku jadi bahan tontonan seperti ini. Padahal saat terjadi kecelakaan, kalau tak bisa membantu, sebisa mungkin aku tak menonton karena takut ia yang terkena musibah merasa makin tak nyaman berharap tak terjadi seperti ini. Tapi mau gimana lag namanya juga orang desa, heran sekaligus ngeri lihat orang kecelakaan. Mas Wawan terus berada disampingku sampai lukaku dibersihkan. Ternyata ada yang sobek di atas alis mataku. Petugas puskesmasnya menyarankan untuk menjahit karena lukanya terlalu dalam agar tidak melebar. Mas Wawan semakin panik dan bingung. berkali-kali ia menanyakan konsekuensi kalau dijahit ataupun tidak. Aku diam melihat Mas Wawan yang bingung.

"Kalau nggak dijahit takutnya lukanya makin lebar mas, sama-sama ada bekasnya pasti nanti, tapi kalau dijahit paling nggak bekas lukanya nggak lebar sekali,"

Mas Wawan masih bingung, dia tak mempedulikan luka yang ada di tubuhnya. Kulihat tangannya terus mengeluarkan darah, tapi dia terus berada disampingku.

"Yaudah jahit aja nggakpapa mas," kataku mempersingkat waktu agar kita bisa segera pulang.

Mas Wawan masih tanya lagi kemungkinan di jahit dan bekas lukanya juga sakitnya. Kalau menunggu sampai Mataram baru dijahit takutnya lukanya udah nggak mau nutup lagi. Akhirnya kami putuskan untuk dijahit saja. Kuminta mas Wawan membersihkan lukanya selagi seseorang menjahit lukaku. Awalnya dia memperkirakan tiga jahitan ,tapi ternyata bisa hanya dua jahitan. Selesai jahitanku, kutengok Mas Wawan yang berada di seberangku sedang dibersihkan. Lukanya banyak sekali, pasti dia menahannya karena panik melihatku. Ada sedikit robek di jarinya, tapi dia nggak mau dijahit.

Setelah semua luka kami dibersihkan, aku pun bisa berjalan normal, tak ada tulang yang patah. Memastikan aku sadar dengan baik, Mas Wawan memintaku ganti kerudung dan dia mengurus ke TKP untuk motor dan orang yang bersenggolan dengan kami. Sebelumnya dia melarangku memberitahu orang rumah soal apa yang terjadi pada kami supaya nggak heboh. Entah kesambet setan mana sama Mas Wawan aku selalu saja bisa menahan emosiku. Aku selalu bisa menuruti kata-katanya. Ia ingin kami bisa menyelesaikannya sendiri dan pulang ke Mataram sendiri tanpa merepotkan banyak orang dan membuat heboh banyak orang. Aku pun mengiyakan dan diam menunggunya kembali dari mengurus motor.

Ngobrol sama petugas puskesmas yang memberiku ruang di UGD untuk menunggu yang agak lama. Berdoa semoga semua baik-baik saja. Menelfon Mas Wawan ternyata dia sedang mengurus semuanya. Dia memintaku menunggu dan menanyakna keadaanku. Dua orang polisi datang bertanya padaku. Aku pun hanya menjawab sekedarnya. Ada kekhawatiran, takut kalau semuanya menjadi berbuntut panjang ketika sudah diurus polisi. Image yang melekat pada polisi selama ini semoga tidah membuat mempersulit kami. Itu saja doaku. Mas Wawan datang, membawa berita baik kalau bisa damai dan nggak memperpanjang urusan apalagi dengan polisi. Aku selalu yakin padanya, ia bisa menyelesaikannya dengan bijaksana. Motor nggak bisa dipakai jadi kami harus cari cara untuk kembali ke Mataram seperti rencana Mas Wawan. Aku pun mencoba menelfon teman-teman tanya nomor taxi sedangkan Mas Wawan mencari teman-temannya yang kira-kira bisa menjemput kami.

Karena tak bisa mengandalkan teman-teman di Mataram, kami pun berhasil minta taxi menjemput kami. Menunggu agak lama menunggu Taxi, kami duduk di depan puskesmas dengan luka yang masih melekat di tubuh kami. Taxi yang datang dari Praya Lombok Tengah ternyata cukup lama juga. Sampai maghrib baru datang dan membawa kami ke Mataram. Mas Wawan masih memikirkan kehebohan orang rumah dan memikirkan bagaimana cara bilang ke orang tuaku. Sakit di tubuhnya pun mulai terasa. Aku terus saja mencoba mengajaknya bercanda. Mencari jalan keluar bersama agar semua nggak heboh atas apa yang terjadi pada kami. Ia hanya ingin aku berada disampingnya sampai sembuh semuanya.

Rencananya telfon ibu waktu udah mau sampe rumah di Mataram. Nanti baru memberitahu mamak di Masbagik soal keadaan kami dan kalau semuanya sudha terlewati, penyembuhan luka jadi konsekuansi yang harus kami jalani. Karena kesabaran dan ikhtiar untuk bisa menyelesaikannya berdua, akhirnya semua berjalan sesuai rencana. Musibah pertama yang kami selesaikan berdua dengan Mas Wawan sebagai imam dan aku dibelakangnya sebagai makmum.

Bismillahirrohmanirrohim....semoga ikhtiar kami selanjutnya berjalan lancar sampai pada tujuan niat kami ibadah menggapai ridhoNya.

Comments