Kata orang, wanita itu makhluk lemah. Kata orang,
wanita itu harus bijak dalam menerima sedangkan pria bijak dalam memilih. Kata
orang, wanita itu harus menarik untuk dipilih sedangkan pria tak perlu. Kata
orang, wanita itu tak perlu terlalu mengejar karier karena dia akan mengambil
bagian yang cukup besar dan melelahkan dalam urusan rumah tangga nantinya. Kata
orang, wanita itu tak seharusnya berjalan di depan pria. Kata orang, wanita itu
harus penurut. Semua kata orang.
Haruskah semua kata orang itu menjadikan sugesti? Kebanyakan orang masih memiiliki sugesti itu.
Sugesti tentang kedudukan wanita dan bagaimana wanita itu seharusnya bersikap.
Bagaimana wanita itu digambarkan sebagai sosok yang penuh dengan benteng
aturan. Terkesan wanita hanya boleh duduk diam dan pria lah yang menghampiri
mereka. Meski sudah banyak yang meninggalkan sugesti itu, tapi masih lebih
banyak yang membenarkannya. Bukan hanya wanita yang tak berpendidikan di desa,
tapi banyak wanita berpendidikan tinggi dengan karrier bagus pun masih menerima
sugesti itu. Kata orang itu tak sepenuhnya sugesti dan persepsi, tapi disana
terdapat kodrat seorang wanita.
Meski bukan penganut fanatis sugesti itu, tapi
sepertinya sugesti itu sudah merasuk. Duduk terdiam disini, mempertimbangkan
dan menunggu. Menunggu kepastian dari segala kemungkinan dan konsekuensinya.
Bukan berarti tak bisa atau tak mau melangkah, tapi mencoba untuk memberikan
kesempatan pria untuk membuktikan keseriusannya. Mempertanggungjawabkan apa
yang sudah dimulai dan memberi kesempatan untuk membutuhkan wanita.
Menunggu bukan bukan berarti untuk dipilih, tapi untuk
memilih. Memilih siapa yang bisa memberikan kepastian. Berani mengabil resiko
dan menerima konsekuensi. Menjalani rumah tangga bukan hal yang mudah,
menyatukan dua keluarga yang bahkan tak pernah tahu satu sama lain bukan hal
yang mudah. Berjalan bersama menuju ridhoNya pasti takkan tanpa coba dan ujian.
Tak pernah ada yang tahu ujian apa yang akan diterima, tapi semua orang bisa
memilih dengan siapa ia bisa menghadapi ujian tak terduga itu.
Wanita pun memilih siapa yang menggenggam tangannya
ketika ujian itu datang. menuntunnya ketika ia tak tahu harus melangkah kemana.
Menunjukkan arah ketika ia lupa. Membawanya ke jalan yang benar ketika berada
dijalan yang salah. Mengarahkannya ketika ia keliru. Menutup aibnya,
membahagiakannya bukan hanya sekedar di dunia tapi juga membawanya kepada
bahagia akheratnya.
Wanita itu masih memilih, memberikan kesempatan pada
mereka untuk memikirkan konsekuensinya. Konsekuensi
dari kebaikan dan keburukan yang mungkin akan ditemui ketika bersama.
Kebersamaan untuk dunia dan akherat tak bisa diputuskan dalam sekejap. Butuh
keyakinan dan keberanian untuk mengambil keputusan. Wanita dan pria sama-sama
memilih mau melangkah atau tidak setelah berusaha mencari visi misi yang sama.
Hidup penuh dengan pilihan dan konsekuensi. Terkadang
keadaan menjebak kita dalam dua pilihan yang sulit. Bukan karena keterpaksaan,
tapi karena keduanya memiliki berat yang salam dalam pertimbangan. Banyak orang
yang sudah lama menjalin hubungan dengan orang lain yang terjebak dalam pilihan
lain yang membuatnya lebih yakin. Keyakinan datang tiba-tiba tanpa disadarinya.
Keyakinan yang tak bisa dengan mudah ia jalani karena ada hati yang tlah lama
mengharapnya. Sudah banyak yang disamakan, sudah dengan cukup keras menyatukan
visi misi dan ternyata ada yang lain datang dengan banyak kemudahan untuk
menyamakan.
Teringat nasehat seorang sahabat :
“Kalau nanti suatu saat menemukan seseorang yang kami
suka dan kamu yakin, jangan lepaskan dia. Pikirkan kebahagiaanmu karena kamu
juga butuh bahagia, jangan hanya memikirkan orang lain,”
Kalimat itu selalu terkenang, tapi tetap saja tak bisa menepis
kata orang. Sekarang, dalam keadaan seperti ini, sosok yang diharapkan tak
kunjung ada keberanian sedang sosok yang sempat diyakini justru menjauh karena
sebuah perjodohan. Semuanya terasa semakin jauh. Satu-satunya yang bisa
digenggam hanya cita untuk kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang pasca
sarjana. Satu-satunya motivasi yang masih membuat bersemangat untuk tetap bekerja
meski sampai malam. Membuang jauh pilihan yang sempat menghantui dan membuat
bimbang. Menunggu hal yang tak pernah ada kepastian. Akhirnya harus menguap.
Meski Kartini telah membuat wanita berdiri lebih
tinggi, tapi wanita tetaplah wanita. Kodratnya sebagai wanita tak boleh luntur.
Wanita tetap bisa berdiri tanpa harus menanggalkan kodratnya. Sudah seharusnya
wanita bisa melaksanakan tugas sebagai kodratnya dan sebagai makhluk yang
mempunyai kedudukan yang sama di hadapanNya.
Comments
Post a Comment