Pada Akhirnya Harus Memilih


Kabut masih menyelimuti perjalanan ke Pusuk, kali ini dengan suasana hati yang tak menentu. Sebuah keputusan yang sulit untuk diambil. Sebuah pertimbangan masa depan yang sama-sama berat untuk dilepaskan. Namun, untuk menerimanya pun bukan perkara yang mudah.
“Kamu mau nikah sama aku?” pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Pertanyaan yang kupikir hanya bercanda itu benar-benar terucap dengan sangat berbeda malam itu.
Tatapan mata yang tak pernah kuharapkan dan membuatku bahkan tak berani untuk kembali menatap matanya. Anganku melayang, fikiranku tertuju pada satu sosok yang selama ini kuharapkan mengucapkan kalimat itu.
“Aku tahu kamu masih berhubungan sama Alfan, tapi aku hanya ingin kamu tahu kalau aku nggak pernah main-main sama apa yang aku ucapkan”
Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku, aku masih melihat genangan air, memberikan remah roti pada ikan-ikan di bawah gazebo tempat kami duduk.
“Apa yang membuat Mas Dedi yakin padaku? bukannya Mas Dedi sayangnya sama Malika? Aku nggak mau aku Cuma jadi pelarian dari apa yang dituntut keluarga Mas Dedi”
“Bukan begitu La, aku memang sayang sama Malika aku nggak memungkiri, aku yakin kamu juga masih sayang sama Alfan, tapi beberapa bulan deket sama kamu entah kenapa aku justru lebih yakin kamu jadi istriku daripada Malika. Aku memang nggak pernah berniat seperti ini sama kamu, tapi entah dari mana aku yakin kamu lah orang yang kucari”
“Tapi Mas Dedi nggak sayang sama aku darimana Mas yakin?”
“Aku yakin dari sedikit yang kita lewati, La. insyaAllah aku akan mencintai istriku seutuhnya. Tapi aku tahu semua hatimu masih untuk Alfan, aku Cuma nggak ingin aku memendam rasa yang bakalan buat aku tersiksa. Sekarang udah kuungkapkan apa yang selama ini kupikirkan. Terserah kamu sekarang”
“Aku butuh waktu mas”
“Kamu butuh waktu berapa lama? Aku akan tunggu jawabanmu, kapanpun kamu siap jawab tapi aku harap jangan terlalu lama, aku butuh jawabanmu secepat yang kamu bisa”
Aku masih diam, entah darimana sesak itu tiba-tiba menjalar. Aku tertunduk, masih tak berani menatap matanya. malam itu benar-benar sunyi, tak seperti biasanya, penuh canda dan tawa. Pertemuan kami tak pernah lepas dari ejekan dan canda. Namun, malam itu adalah malam serius pertama yang membuatku insomnia.
‘kenapa harus sampe insomnia sih?!?!?!’ seriang aku kesel sama diriku sendiri.
Setiap malam bayangan Kak Alfan terus berputar di otakku. Keputusanku menyambut matahari terbit berbuah hasil. Sampai di pusuk, tepat matahari terbit dengan indah dari ufuk Timur. Terasa kehangatan sinar dan ceria pancarannya menusuk kalbu. Kuhirup nafas dalam-dalam, berhembus kembali dengan sejuta yang ada di otak dalam bentuk butiran partikel yang sedikit mengurangi beban.
Bersama beberapa pasangan yang sedang menyambut matahari bersama, kuperhatikan mereka satu persatu. Ada yang berpelukan, ada yang hanya duduk berdampingan, ada yang saling bergandengan tangan dan bahkan ada yang hanya terpaku menatap hingga matahar benar-benar muncul sempurna.
Senyum bahagia pasangan muda-mudi itu membuatku iri. Aku pernah merasakan kebahagiaan yang sama bersama seorang suami, kembali teringat masa-masa indah bersama Kak Alfan. Sosok yang kuharapkan akan menjadi suamiku. Sosok lembut, penyayang dan perhatian. Sosok yang selama ini kudambakan sebagai pendampingku. Banyak hal indah kami lewati bersama, ia pun banyak membuatku berubah tanpa kusadari. Aku benar-benar yakin dialah yang kubutuhkan. Namun, belum ada pekerjaan tetap di usia kepala tiganya membuat keluargaku sedikit meragukannya.
Entah apa yang membuatnya masih belum berani berkomitmen bahkan sampai usia kedekatan kami setahun lebih. Mungkin bagi banyak orang lain setahun itu belum apa-apa untuk usia sebuah hubungan, tapi bagitku berhubungan itu adalah komitmen. Untuk apa kalau tanpa komitmen yang jelas? Namun, ia tak pernah membahasnya. Memilih diam tanpa banyak bicara kalau mulai menyinggung soal komitmen. Hingga aku pun kehabisan cara untuk membahas tentang komitmen. Aku tahu dia memikirkannya, tapi tak berani diungkapkan karena suatu hal yang tak pernah mau ia katakan.
Bahkan logikaku pernah mencoba menolak perasaan, tapi tak sanggup dengan mudahnya. Tak berada setiap saat bukan berarti nggak kepikiran.
Sinar matahari pagi mulai membuat wajahku panas. Kucari tempat yang sedikit teduh, merasakan angin sepoi-sepoi dan segala yang terasa begitu menenangkan di puncak bukit itu.
Mas Dedi, sosok yang bahkan belum kukenal dengan baik. Dari segala hubungan kami, yang paling kutakutkan adalah dia keras kepala terkadang egois. Aku bahkan belum mengenalnya cukup dalam, apalagi keluarganya. Namun, bukan itu yang mengganjal di hatiku. Aku masih belum bisa melepas Kak Alfan dan Mas Dedi mengaku masih menyayangi Malika.
Aku hanya takut kalau pinangannya hanya sekedar pelampiasan karena dia sudah ingin menikah dan tuntutan keluarganya yang ingin melihatnya segera memiliki pendamping. Orang tuanya tak pernah setuju Mas Dedi bersama orang Medan (Malika keturunan Medan asli meski besar di Jawa). Dan aku, aku takut kalau aku pun terbawa emosi karena Kak Alfan tak pernah memberi kepastian hubungan kami.
“Kamu kenapa?” tanya Tika, sahabatku yang hingga saat ini belum kuceritakan tentang pinangan Mas Dedi. Pernah ia curiga atas hubunganku dengan Mas Dedi yang seperti gelombang kadang besar kadang landai.
Aku menggeleng.
“Masih belum mau cerita? Oke” Tika memilih mengambil beberapa gambar tempat itu, membiarkanku sendiri menikmati yang ada di depanku.
Sudah seminggu sejak percakapan itu, aku masih bertahan tak menghubungi kedua lelaki yang sedang bergulat di otak dan hatiku. Kuputuskan untuk lebih mendekatkan diri padaNya, meminta petunjuk kemanakah aku harus bermakmum.
Namun, hingga hari ini masih belum ada yang lebih berat di hatiku. Mereka memiliki tingkat pertimbangan yang sama. Aku sayang Kak Alfan karena kedewasaannya dan selalu bisa menghargai wanita. Dia adalah sosok yang selama ini kuharapkan, dewasa, lembut dan penyayang. Ia bisa membuatku merasa nyaman dan menuruti kemauannya tanpa merasa diminta. Dia bisa membuatku tersenyum ditengah penat. Setahun bukan waktu yang singkat bagi kami. Meski belum pernah dikenalkan dengan keluarganya, tapi ia bisa membuatku yakin akan bahagia bersamanya.
Di sisi otakku yang lain, Mas Dedi lebih berani melamarku meski kami baru saja bertemu. Bermula dari curhat karena kami berada di posisi yang tak juga mendapat komitmen bersama Malika, kami pun mulai semakin intens. Sehari bersamanya saat membeli oleh-oleh untuk keluarganya, aku mulai merasa ada yang aneh dengan diriku sendiri. Ketika hubunganku dengan Kak Alfan sedang merenggang karena fikiranku sendiri, keberadaan Mas Dedi yang selalu ada untukku membuatku makin merasa bersalah pada Kak Alfan.
Ketika Mas Dedi menjadi orang yang lebih dulu bertemu Bapak sebelum Kak Alfan yang kuharapkan datang. Ia sengaja kembali dari Semarang jauh sebelum tanggal masuk kerjanya hanya untuk bertemu bapak dan menyampaikan niatnya untuk dekat denganku. Aku bahkan tak pernah berfikir sampai sejauh itu.
‘Aku nggak pernah main-main sama apa yang aku bilang’ katanya ketika kuanggap ajakannya menikah sebuah candaan.
“Hei, masih betah disini?” tanya Tika yang kelihatannya mulai bosan autis sendiri dan melihatku terdiam.
Aku mengangguk, “Sebentar lagi boleh?”
Dering ponselku untuk kesekian kalinya. Nama –Ka Alfan- muncul di layar dengan fotonya sedang membawa sebuah tulisan di dadanya ‘Miss u bu’de’ yang disampaikan untukku ketika berada di Puncak Rinjani. Tak pernah sebelumnya ia semanis ini padaku.
Entah untuk keberapa kalinya Kak Alfan telfon tak pernah kujawab dan sms tak kubalas. Namun, sepertinya aku harus membicarakan hal ini pada Kak Alfan, dia harus tahu dan aku butuh kejelasan darinya.
“Assalamu’alaykum”
“Wa’alaukumussalam...alhamdulillah akhirnya diangkat juga” suara di ujung telfon yang sudah bisa kubayangkan ekspresinya.
“Kenapa Abang?”
“Adek kemana aja, sms nggak dibales telfon nggak diangkat, sibuk banget kayaknya ya?”
“Nggak juga” kupaksakan bersikap biasa aja, “Kita butuh ketemu Abang, Abang dimana sekarang?”
“Adek kenapa?”
“Nggakpapa, sayang. Abang dimana? Bisa kita ketemu? Tapi kalo abang lagi sibuk nggak sekarang nggakpapa”
“Ketemu dimana? Sekarang?”
“Adek di pusuk sekarang, bisa Abang kesini? Adek tunggu”
“Ya udah tunggu”
“Iya, hati-hati ya Abang”
“Assalamu’alaykum”
“Wa’alaykumussalam”
Hatiku kembali berkecamuk.
“Kamu suruh Kak Alfan kesini?” Tika menengokku.
Aku mengangguk, “Aku pikir aku harus cerita sama dia semuanya”
“Aku tahu apa yang kamu pikirin, soal Dedi ya?” aku mengangguk.
Setengah jam kemudian Kak Alfan datang. Pusuk masih ramai di terik matahari yang sudah mulai menusuk kulit. Kak Alfan datang, raut mukanya seperti sudah tahu akan ada hal tak menyenangkan yang akan kusampaikan. Seperti biasa, ia mengelus kepalaku dengan senyum khasnya. Senyum yang selalu kusuka, meneduhkan.
“Hei Tika. Cuma berdua kalian kesini?” Ia berusaha pasang tampang biasa aja ke tika walaupun jelas terlihat kalau semua tidak sedang baik-baik saja.
“Iya, nemenin Mbak Galau ini nih, ya udah aku pulang dulu ya, selesein urusan rumah tangga kalian dan nggak usah pake nangis ya Mbak Galau,” kata Tika meninju lenganku.
“Apaan sih?” kataku sambil sedikit melotot.
“Tenang, nanti aku beliin tissu kalo dia nangis,” masih sempet Kak Alfan bercanda.
“Eh kamu pulang sama siapa?” aku beranjak.
“Kamu pikir aku bego’ denger kamu minta Kak Alfan kesini trus aku nggak minta jemput si gembul?” katanya sambil berlari ke arah pacarnya, Mas Angga. Senang melihat mereka berdua yang tinggal menentukan tanggal pernikahan.
“Hati-hati ya” kata Kak Alfan. Tika mengacungkan jempol.
Dia duduk di sampingku, masih mengelus kepalaku, “Kenapa sayang?” ketiga kalinya dia bilang sayang. Hampir tak pernah dalam hubungan kami ada kata sayang, semua serba tersirat yang terkadang membuatku capek.
Kuambil tangannya dari kepalaku, kugenggam untuk memperoleh kekuatan. Kutarik nafas dalam, “Adek harus mengambil keputusan yang sulit Abang. Tapi sebelum adek mengambil keputusan adek pengen cerita semuanya sama Abang,”
Kak Alfan terdiam, tak berani menatap wajahku. Ia memilih melihat keindahan yang terhampar di depan mata kami. Sudah semakin banyak yang meninggalkan tempat itu.
“Adek dilamar orang, Abang,” terasa tangannya sedikit bergetar, tapi masih kucoba menggenggamnya. Aku pun tak berani menatap wajahnya.
“Kemarin sebelum bapak kembali ke Jawa ada yang datang ke rumah buat ketemu bapak, ijin deket sama adek sekaligus ngelamar adek,”
Kak Alfan mencoba melepas genggaman tangannya, menengok padaku dengan wajah yang terlihat sangat kaget. Tetap kupertahankan genggaman tanganku, kuusap tangannya. Dia mencoba menenangkan diri, menatapku erat. Aku tak berani melihat matanya, kali ini tatapannya begitu tajam.
Kujelaskan kalau aku belum bisa mengambil keputusan atas pinangan itu karena banyak bagian hatiku untuknya. Aku sangat mengharap dialah orang yang mengucapkan itu, bukan Mas Dedi. Namun, sampai detik Mas Dedi meminangku dia bahkan samas ekali belum berkomitmen. Aku bahkan tak tahu banyak tentangnya, kehidupannya, keluarganya dan jalan fikirannya. Aku merasa seperti ada jarak antara kami, tapi tak tahu harus bagaimana.
Aku diam setelah semua berhasil kuungkapkan, menunggu jawaban darinya. Mungkin dia akan menyarankanku menerima pinangan Mas Dedi karena sepertinya memang ia belum siap berkomitmen meski usianya jauh lebih tua dari Mas Dedi.
“Baru pertama Abang merasa bener-bener yakin adek bakalan jadi yang terakhir buat abang, tapi Abang nggak tahu gimana caranya kasi tau ke adek. Karena adek terlalu berharga untuk abang, abang nggak mau sembarangan melangkah. Abang harus mempertimbangkan dan memikirkan matang-matang.  Abang pengen bahagiakan kamu sayang. Kamu tahu kan Abang belum punya kerjaan tetap, abang punya usaha dan baru berjalan bagus akhir-akhir ini. Abang pikir bisa menunggu sampai uang abang cukup untuk lamar adek, ternyata ada orang lain yang duluan lamar adek dan abang nggak bisa melamar diatas lamaran orang lain,” katanya menghela nafas panjang. Ia melepas genggaman tangannya yang tak mampu kutepis, balik menggenggam tanganku.
“Abang Cuma pengen adek tahu kalau Abang bukan nggak pernah punya niat ajak adek nikah tapi abang menunggu waktu yang tepat. Sekarang adek fikirkan lagi siapa yang akan adek pilih jadi pendamping hidup adek, fikirkan dengan baik jangan kebawa emosi. Abang tahu banyak kekurangan abang karena Cuma hati yang bisa abang berikan buat adek. Fikirkan siapa yang bisa jadi imam yang baik untuk adek menurut adek, minta petunjuk padaNya. Abang ikhlas dengan semua keputusan adek, apapun itu. apapun,”
Ia menahan genangan air matanya.
“Abang sayang adek, more than you knew dear. Pulang ya sayang?” matanya berkaca-kaca menatapku yang sudah tak bisa menahan air mata.
Ia mengusap air mataku yang mulai menetes tanpa kusadari. Hatiku semakin bimbang, tak tahu harus mengatakan apa. Speechless. Berjalan di belakangnya menuju motor yang diparkir tak jauh dari tempat kami duduk.
Duduk di belakang jok motornya dengan perasaan yang sangat berbeda, tiba-tiba canggung berada di tempat itu, tak seperti biasanya yang selalu bahagia bersamanya.
Dia menawariku makan, tapi kutolak, aku ingin segera pulang. Kuberitahunya kalau aku butuh waktu untuk berfikir dan memintanya tak menghubungiku hingga aku mengambil keputusan, ia pun setuju.
*_*)*_*^_(^%$^*(
Kuputuskan mengambil cuti seminggu untuk menjenguk Mbah di Ambarawa dan disetujui.  Jauh dari mereka berdua, jauh dari segala kenangan tentang mereka berdua. Aku mampu berfikir jernih dan berdoa khusyuk meminta petunjuk tentang kegelisahan ini.
Menginjakkan kaki di tanah tempatku belajar banyak tentnag kehidupan, melihat senyum Mbah Putri yang mengembang menyambutku dalam pelukan hangatnya. Rasanya sangat berbeda. Galau dan resah itu terlupakan. Bertemu semua keluarga yang hampir tiga tahun nggak ketemu. Senyum Bulek,Paklek, sepupu dan beberapa keponakan yang sudah lahir membuat kebahagiaan terasa sempurna. Peluk cium mereka, tawa dan canda mereka, sudah lama sekali sepertinya tak kurasakan. Meski masih sering berhubungan lewat telfon tapi tetap saja terasa berbeda. Tak seperti ketika mata bertemu mata, pelukan beradu dan senyuman dibalas senyuman. Rasanya begitu indah.
Berkunjung ke rumah Bulek, Paklek semua di hari-hari berikutnya. Sama sekali tak ingat pada tujuan utamaku untuk merenung tentang pinangan itu. sengaja kubeli kartu baru dan menon aktifkan nomor yang biasa dihubungi orang banyak. Aku ingin benar-benar tenang, mengambil keputusan tanpa gangguan dari manapun.
Dalam sujudku, kuselipkan doa agar segera diberikan jalan keluar untuk kebimbangan hati ini. seorang imam dunia dan akherat yang bisa membawa ke arah yang lebih baik untuk semua yang ada di sekitarku.
Pagi ini, aku ikut Mbah Putri ke sawah untuk memetik Cabe.
“Kamu belum ada calon nduk?” pertanyaan yang sudah kuduga dan kupersiapkan jawabannya. Kuceritakan semua yang ada di otakku. Aku tak terlalu dekat dengan Mbah Putri sebelumnya, Mbah Kakung lah tempatku menceritakan semua keluh kesahku. Mbah Kakung lah tempatku mencari sandaran saat masalah menderaku.
“Mumpung kamu disini kamu bisa berfikir jernih siapa sebenernya yang kamu anggap baik buat sekarnag dan masa depan. Jangan Cuma sayang aja, tapi pikirkan juga kehidupanmu nanti, orang tua dan keluarga”
“Kalau Mbah jadi Lila, Mbah milih siapa?”
“Mbah milih Dedi. Walaupun Mah baru kenal, tapi dia udah berani lamar kamu, ketemu bapakmu dan udah punya kerjaan tetap. Kalau Alfan masih belum berani lamar kamu nggak ada kerjaan tetapnya, nanti suatu saat akan jadi bahan pertengkaran kalian. Cari suami yang lebih dari kamu. Kamu kan pegawai masak mau punya suami yang kerjaannya nggak jelas”
“Mbah, bukan nggak jelas, tapi Kak Alfan itu Cuma belum cerita banyak aja sama Lila,”
“Kalau begitu dia nggak serius sama kamu, buat apa kamu pertahankan. Mending yang udah ada di depan mata aja. Yang mau terbuka dan serius sama kamu, udah berani bilang bapak langsung lagi”
Malamnya, aku insomnia makin akut, kepikiran kata-kata Mbah. Ketika aku harus memilih, hati dan logika berperang mencoba memenangkan diri. Aku terlanjur sayang pada Kak Alfan. Kepribadian yang sangat kudambakan sebagai suami, sosok penyayang yang nggak berlebihan. Mencintai apa adanya, menyayangi dengan ketulusan dan selalu bisa menenangkanku saat sedang labil. Terbayang akan bahagia berada di sisinya setiap hari.
Beberapa keluarga menanyakan kapan aku akan menikah, hanya kujawab senyuman semanis yang bisa kuberikan.
“Ikuti kata hatimu, itulah bahagiamu” kata Bulek Ira. Lagi-lagi kata hati, kali ini tak ada yang berfungsi dengan baik.

Comments