First Dream


Session 2
Sederet mimpi muncul di benakku, seperti malam-malam biasanya. Kali ini semuanya kembali melayang-layang di angan yang membuatku tak bisa tidur.  Sekolah lagi untuk jadi dosen, punya usaha dan menjadi penulis. Belum ada satupun yang memiliki langkah pasti. Hanya sebuah pekerjaan yang sekarang kujalani menjadi langkah awal untuk bisa mewujudkan mimpi sekolah lagi dengan menabung. Namun, belum ada persiapan apapun untuk ke arah sana. Bahkan mencari lowongan beasiswa pun belum, hanya sekedar melihat-lihat saja.
Kata orang kantor, “Buat apa sekolah lagi? Nggak ada gunanya, nggak naikin jabatan kecuali PNS”
“Tapi itu mimpi saya mas”
“Lagipula sistem pendidikan kita kan Cuma pake otak kanan aja, nggak berkembang sama aja”
Ketika menyinggung sistem pendidikan kita memang benar seperti itu, tapi kalau semua orang berfikiran seperti itu lalu siapa yang mau merubahnya? Siapa yang akan meneruskan cerita pada akademisi?
Banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi hanya untuk jabatan, mencari pekerjaan yang lebih tinggi pendapatannya atau gengsi bahkan hanya sekedar coba-coba, tapi bukan untukku. aku benar-benar ingin sekali melanjutkan pasca sarjana, menimba ilmu sebanyak-banyaknya di banyak tempat kemudian menjadi bekal untuk dibagi dengan teman-teman di tempatku tinggal saat ini. masih banyak potensi yang belum tergali dan masih banyak yang belum tereksplore dengan baik. Namun, keterbatasan yang kumiliki membuatku tak bisa berbuat banyak.
Bermanfaat untuk sekitar adalah mimpi dan cita. Itulah salah satu alasanku ingin menjadi seorang dosen, merek ayang bisa mendidik, meneliti dan mengabdi. Sungguh pekerjaan yang sangat mulia dan kuharapkan.
Bukan hidup kalau tak pernah ada halangan dalam meraih mimpi. Melanjutkan pasca sarjana butuh dana yang tak sedikit dan aku masih belum punya cukup tabungan untuk itu. Keadaan orang tua yang sudah tak seperti dulu membuatku harus bekerja keras untuk bisa mengumpulkan puing-puing rupiah melanjutkan sekolah.
“Kalau bisa nikah dulu baru sekolah lagi” warna kedua dalam meraih mimpi. Ibu yang khawatir kalau aku jadi nggak kepikiran menikah ketika benar-benar bisa mewudukan mimpiku.
“Biasanya kalau udah keasikan sekolah, keasikan kerja malah jadi lupa nikah” kekhawatiran orang tua yang tak bisa diabaikan.
“Nduk, jangan mikir kerjaan terus, inget umurmu,” Ayah membuatku semakin galau, bahasa anak sekarang.
Warna-warni kehidupan menggapai cita,  pelangi menuju cerah, bias cahaya antara terang dan gelap.

Comments