Satu tangga telah kembali terlewati, tangga kehidupan yang membawa
pada pelajaran baru menuju yang lebih baik. Menuju pada kedewasaan dan
bijaksana dalam setiap permasalahan hidup yang dijalani.
Tak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi pada dirinya,
takkan pernah ada yang tahu musibah apa yang kan menimpanya, tak ada yang tahu
pula rezeki apa yang kan didapatnya. Namun, harus tetap menerimanya dengan
ikhlas dan menjalaninya dengan setulus hati karena memang itulah yang sudah
digariskan untuk kita.
Begitupula dengan musibah yang terjadi pada keluarga kami dua
tahun yang lalu. Semua terjadi begitu cepat. Tak pernah ada firasat apapun
ketika tiba-tiba peristiwa itu menguak. Bagai petir menggelegar, sebuah sms
galau dari Ibu Suri mengisi inbox ponselku tepat sebelum masuk kuliah.
Perasaanku mulai nggak enak. Ada sesuatu yang nggak beres pasti,
sampai Ibu Suri sms mendoakanku cepet lulus saat tak ada angin, tak ada hujan.
Hatiku mulai nggak tenang, sengaja mengambil bangku paling belakang supaya
nggak kelihatan kalo lagi nggak konsen. Mungkin bener kata orang, ikatan batin
itu ada. Aku merasakan kegundahan dari sms Ibu Suri. Namun, tak ada pernyataan
jelas yang keluar dari mulutnya ketika kutanya lewat lewat telfon. Perasaanku
semakin nggak menentu, menunggu hari Jum'at masih dua hari lagi.
Selesai mata kuliah yang bahkan aku nggak sadar kalau udah selesai
itu, aku pun bergegas pulang ke kos dan memutuskan untuk bolos mata kuliah
setelah istirahat. Nggak biasanya aku bener-bener males kuliah begini, tapi kali
ini bener-bener nggak ada mood kuliah. Aku pun memilih tidur nyenyak di kamar
sebelum air mataku menetes menahan sesak di dada.
Setelah kudesak Ibu Suri pun cerita kalau ada hutangnya yang
sangat besar kali ini. Fikiranku makin kacau. Bayanyan-bayangan buruk mulai
berkeliaran di otakku.
Dua hari berlalu tanpa konsentrasi penuh. Akhirnya tiba juga waktu
pulang, sebelum sholat Jum'at di minggu pertama bulan November 2009 ketika itu.
Pulang dengan segudang tanda tanya dan menemukan Ibu Suri menjemput dengan raut
wajah lelah dan kusut.
Sampai di rumah, kami masuk ke kamar dan beliau menceritakan
semuanya sambil menangis.
"Ibu salah sayang, kamu boleh marah pada ibu. Kamu boleh
melakukan apapun pada Ibu, Ibu udah bersalah sekali pada kalian" katanya
sambil menangis sesenggukan memegangi kepala.
"Sekarang ibu pasrah mau diapakan sama bapak, kalau memang
keputusan terakhir bapak memulangkan ibu ke Lombok, ibu pun rela karena memang
ibu banyak salah sama kalian. Ibu yang salah, ibu telah merusak masa depan
kalian"
Hutang itu ternyata tak sedikit. Nominal yang tak pernah
kubayangkan, nominal yang sama sekali tak masuk di akalku. Bahkan rumah
seisinya dan apapun yang kami punya sampai habis pun tak bisa mencukupinya.
nominal yang mencapai 800 juta rupiah ditambah kredit motor dan kredit yang
lain juga masih banyak yang belum lunas.
Adek baru saja selesai operasi, satu motor udah dijual. Ibu
kesana kemari menjual apa yang bisa dijual. Mulai dari meja komputer, DVD
player, seperangkat kursi tamu dan masih ditambah meminjam kesana kemari.
Kami pun harus rela kehilangan masa-masa indah kebahagiaan kami
saat tertawa bersama dan bercengkrama asik di ruang-ruang setiap sudut rumah.
Penyesalan, kekecewaan dan ketakutan terus menghinggapi kami. Berbulan-bulan
kami hidup seperti buronan, teror terus berdatangan dari orang-orang yang mengaku
dipinjami uang oleh Ibu.
“Mereka mengancam mau mencelakai keluarga ini kalau sampai Ibu nggak
bisa bayar”
Air
matanya kembali mengalir deras, tubuhnya mulai mengurus, tak ada nafsu makan
sedikit pun. Kepalanya dipegang sambil menunduk, “Kenapa ibu bisa membuat
kalian semua susah seperti ini, padahal ibu hanya ingin membahagiakan kalian, maafkan
ibu. Maaf. Kalian boleh menghukum ibu dengan apapun”
Kata-kataku
tak ada yang bisa keluar, samakin penyesalan dan ketakutan itu terucap, semakin
hatiku terasa sakit. Hanya air mata yang bisa keluar, tapi tak ada kata yang
bisa terucap, sedih melihat ibu yang seperti itu. Nasehat bijak dan semangat
yang biasa dipancarkan dari wajahnya tak lagi ada, terang itu telah redup. Berganti
dengan mendung. Awan pekat terus menyelimuti, membuat suasana semakin tak
menyenangkan.
Comments
Post a Comment