Awan Mendung di ufuk 2009


Satu tangga telah kembali terlewati, tangga kehidupan yang membawa pada pelajaran baru menuju yang lebih baik. Menuju pada kedewasaan dan bijaksana dalam setiap permasalahan hidup yang dijalani.
Tak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, takkan pernah ada yang tahu musibah apa yang kan menimpanya, tak ada yang tahu pula rezeki apa yang kan didapatnya. Namun, harus tetap menerimanya dengan ikhlas dan menjalaninya dengan setulus hati karena memang itulah yang sudah digariskan untuk kita.
Begitupula dengan musibah yang terjadi pada keluarga kami dua tahun yang lalu. Semua terjadi begitu cepat. Tak pernah ada firasat apapun ketika tiba-tiba peristiwa itu menguak. Bagai petir menggelegar, sebuah sms galau dari Ibu Suri mengisi inbox ponselku tepat sebelum masuk kuliah. 
Perasaanku mulai nggak enak. Ada sesuatu yang nggak beres pasti, sampai Ibu Suri sms mendoakanku cepet lulus saat tak ada angin, tak ada hujan. Hatiku mulai nggak tenang, sengaja mengambil bangku paling belakang supaya nggak kelihatan kalo lagi nggak konsen. Mungkin bener kata orang, ikatan batin itu ada. Aku merasakan kegundahan dari sms Ibu Suri. Namun, tak ada pernyataan jelas yang keluar dari mulutnya ketika kutanya lewat lewat telfon. Perasaanku semakin nggak menentu, menunggu hari Jum'at masih dua hari lagi.
Selesai mata kuliah yang bahkan aku nggak sadar kalau udah selesai itu, aku pun bergegas pulang ke kos dan memutuskan untuk bolos mata kuliah setelah istirahat. Nggak biasanya aku bener-bener males kuliah begini, tapi kali ini bener-bener nggak ada mood kuliah. Aku pun memilih tidur nyenyak di kamar sebelum air mataku menetes menahan sesak di dada.
Setelah kudesak Ibu Suri pun cerita kalau ada hutangnya yang sangat besar kali ini. Fikiranku makin kacau. Bayanyan-bayangan buruk mulai berkeliaran di otakku. 
Dua hari berlalu tanpa konsentrasi penuh. Akhirnya tiba juga waktu pulang, sebelum sholat Jum'at di minggu pertama bulan November 2009 ketika itu. Pulang dengan segudang tanda tanya dan menemukan Ibu Suri menjemput dengan raut wajah lelah dan kusut. 
Sampai di rumah, kami masuk ke kamar dan beliau menceritakan semuanya sambil menangis.
"Ibu salah sayang, kamu boleh marah pada ibu. Kamu boleh melakukan apapun pada Ibu, Ibu udah bersalah sekali pada kalian" katanya sambil menangis sesenggukan memegangi kepala. 
"Sekarang ibu pasrah mau diapakan sama bapak, kalau memang keputusan terakhir bapak memulangkan ibu ke Lombok, ibu pun rela karena memang ibu banyak salah sama kalian. Ibu yang salah, ibu telah merusak masa depan kalian"
Hutang itu ternyata tak sedikit. Nominal yang tak pernah kubayangkan, nominal yang sama sekali tak masuk di akalku. Bahkan rumah seisinya dan apapun yang kami punya sampai habis pun tak bisa mencukupinya. nominal yang mencapai 800 juta rupiah ditambah kredit motor dan kredit yang lain juga masih banyak yang belum lunas. 
Adek baru saja selesai operasi, satu motor udah dijual. Ibu kesana kemari menjual apa yang bisa dijual. Mulai dari meja komputer, DVD player, seperangkat kursi tamu dan masih ditambah meminjam kesana kemari.
Kami pun harus rela kehilangan masa-masa indah kebahagiaan kami saat tertawa bersama dan bercengkrama asik di ruang-ruang setiap sudut rumah. Penyesalan, kekecewaan dan ketakutan terus menghinggapi kami. Berbulan-bulan kami hidup seperti buronan, teror terus berdatangan dari orang-orang yang mengaku dipinjami uang oleh Ibu.
“Mereka mengancam mau mencelakai keluarga ini kalau sampai Ibu nggak bisa bayar”
Air matanya kembali mengalir deras, tubuhnya mulai mengurus, tak ada nafsu makan sedikit pun. Kepalanya dipegang sambil menunduk, “Kenapa ibu bisa membuat kalian semua susah seperti ini, padahal ibu hanya ingin membahagiakan kalian, maafkan ibu. Maaf. Kalian boleh menghukum ibu dengan apapun”
Kata-kataku tak ada yang bisa keluar, samakin penyesalan dan ketakutan itu terucap, semakin hatiku terasa sakit. Hanya air mata yang bisa keluar, tapi tak ada kata yang bisa terucap, sedih melihat ibu yang seperti itu. Nasehat bijak dan semangat yang biasa dipancarkan dari wajahnya tak lagi ada, terang itu telah redup. Berganti dengan mendung. Awan pekat terus menyelimuti, membuat suasana semakin tak menyenangkan.

Comments