Biarlah Aku Diam di Tengah Gelombang

Jalan raya masih sepi ketika motorku melaju menyusurinya. Bahkan terlampau sepi hingga lebih dari 2 km, hanya ada satu motor yang melaju di jalan berukuran lebar sekitar 4 meter itu yang hanya ada beberapa orang anak muda yang lari pagi di pinggir jalan. Beberapa kendaraan lain mulai terlihat ketika hampir sampai di Pancor. Bisa dibilang Pancor dan Selong adalah pusat kotanya di Lombok Timur. Apalagi dekat pasar, sudah mulai ramai orang berangkat ke pasar pagi untuk berbelanja.

Sudah lama nggak jalan Subuh begini. Setelah sholat Subuh langsung membawa motor jalan-jalan melintasi daerah baru yang menjadi tempat tinggalku sekarang. Mesk dilahirkan di tanah ini, tapi sejak bayi hingga lulus kuliah hidup di tanah Jawa dengan segala kekompleksannya. Memulai hidup di tanah kelahiran lagi dengan ketenangan dan kesederhanaan seperti memberi hawa baru di kehidupanku yang sebelumnya sempat sedikit diguncang badai cobaan.

Sengaja kuajak sepeda motor itu berlari tak terlalu kencang untuk menikmati pemandangan pagi dan menghirup udara segar tanpa polusi yang memberi semangat dan harap. Memberikan semangat baru di hati. Dulu ketika masih tinggal di Ambarawa aku sangat suka menikmati pagi dengan motor Supra 125 pertama yang kami miliki. Sekedar melepas sejenak penat yang ada di otak dengan mensyukuri keindahan nikmatNya.

Motor terus melaju sampai ke Labuan Haji. Pantai paling dekat yang bisa ditempuh hanya setengah jam perjalanan dengan kecepatan sekitar 60 km/jam. Sepanjang jalan menuju Labuan Haji ramai orang jalan-jalan dan lari pagi. Kebanyakan anak-anak muda yang berkelompok-kelompok. Seneng rasanya bisa seperti itu, jadi ingat masa-masa di Ambarawa, kami lari pagi di taman bersama-sama teman sekampung. Lari dari rumah lewat rel kereta api sampai di Lapangan Panglima Besar Jendral Sudirman (kami menyebutnya Pangsar untuk lebih mudah) yang baru dibangun dua tahun lalu. Kebersamaan membuat kami bersemangat mengelilingi Pangsar hingga 2 atau 3 kali putaran, padahal kalau sendiri sekali aja udah capek.

Kali ini, aku bukan ingin lari pagi seperti mereka yang datang berbondong-bondong itu. Hanya ingin menikmati pantai di pagi hari, sendiri, melihat mereka yang sedang beraktivitas di sana. Yah, hanya itu. Hanya ingin duduk di atas pasir menghadap pantai, berbicara dari hati, menumpahkan keluh kesah dengan memandang ciptaanNya yang sangat indah.

Memarkir motor di atas pasir. Duduk di pasir pantai yang masih dingin, menatap laut lepas yang tak berujung, menikmati birunya air laut.
Kejadian demi kejadian kembali terkenang. Berusaha memahami makna di setiap peristiwa, mungkin dengan angin ini bisa berdikir lebih jernih. Mulai dari masalah hutang yang menimpa keluarga kami hingga kami harus pindah ke tanah kelahiranku untuk menetap. Harus memulai semuanya dari awal lagi bukan dari nol, tapi dari minus. Yah, minus.

Sudah lima bulan lulus kuliah, tapi sampai sekarang masih belum bekerja. Sesulit inikah mencari kerja?

Belum lagi angka umur yang membuat Ibu terus membicarakan pernikahan dan menanyakan tentang pendamping hidupku. Beliau khawatir karena sampai sekarang aku masih belum punya pacar. Beliau terus memperingatkanku sudah saatnya memikirkan pendamping hidup, tidak hanya pekerjaan dan keinginan sekolah lagi.

Terbayang seseorang yang duduk di sampingku saat ini. Seseorang yang bersedia memberikan bahunya untuk bersandar, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tanganku, bersedia mengulurkan dadanya untuk memelukku dan memberikan kata-kata bijaknya untuk menenangkanku. Seseorang yang Allah jodohkan sebagai imam dunia dan akheratku. Beberapa temanku sudah menjalankan ibadah itu.

Terbayang indahnya pacaran setelah menikah. Beberapa kali share dengan teman, ada beberapa yang setuju, tapi ada juga yang agak nggak suka dengan cara itu. “Aku agak nggak yakin sih, nanti kalo ternyata suami kita psikopat gimana, kalo ternyata dia galak dan suka mukul gimana, kalo dia...” banyak kalau yang intinya nggak yakin dengan pacaran setelah menikah.

Satu hal yang harus diingat, “Orang yang baik akan mendapatkan jodoh yang baik pula”. Yakin akan KuasaNya dan Allah Maha Adil. Itu saja sudah cukup menjadi alasan dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tidak punya pacar bukan berarti tidak bisa menikah kan? Berapa banyak orang yang tidak punya pacar tapi menikah? Jodoh sudah diatur olehNya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang tugasku adalah ikhtiar dan tawakal.

Dalam setiap doa dan harap, kuselipkan doa untuk jodohku. Doa yang tak henti kupanjatkan hingga kini dan aku akan sabar menantinya. “Ya Allah Ya Robb Engkau Maha Adil, hamba yakin Engkau sudah menetapkan jodoh terbaik untuk hamba”.

Akan kuberikan setulus cinta dan kasihku untuknya, imam dunia dan akherat yang Allah kirimkan untukku. Dan Allah mempermudahnya dengan tidak memberiku pacar sebelum menikah, mungkin Allah akan memberiku pacar setelah menikah nantinya.

Kepalaku semakin terasa penuh, hatiku layu, semuanya bercampur untuk diperhatikan. Semuanya butuh diperhatikan, semua harus diprioritaskan. Masih terpejam menatap laut lepas, gelombang pasang yang semakin tinggi seakan mencoba menamani kegundahkan hatiku. Memperlihatkan kalau mereka ada untukku.  

Aku hanya ingin sendiri saat ini, menatap birunya lautan, hempasan angin pantai dan gelombang tinggi yang menghempas pasir.



Comments