galau


Satu lagi yang saya pelajari hari ini, cinta memilih jalannya sendiri. Dan saya, salah satu penganut paham ‘cinta adalah bagaimana kita menyikapi perasaan yang tumbuh dan berkembang di hati’. Akhir-akhir ini banyak banget yang curhat dan cerita soal cinta dan galau, sampai saya sendiri ikut terimbas, ingin membicarakan tentang cinta dan galau.
Beberapa waktu yang lalu, saya conference lewat telfon sama sahabat-sahabat yang sedang galau karena cinta. Fafa dan Ian, kami ngobrol banyak dari jam 10 malam sampai sekitar jam 1 pagi {walaupun dengan banyak emosi gara2 Ian sering putus gara-gara jaringannya nggak bagus}. Membahas masalah hati, saling mengceritakan apa yang terjadi pada hati masing-masing. Fafa yang mencintai seorang sahabat dekatnya selama lima tahun dan memilih untuk memendamnya akhirnya mengungkapkan secara tersirat lewat email. Mereka terus dipertemukan dalam forum yang sama dengan komunitas yang sama membuatnya makin galau. Apalagi perlakuan si dia tidak seperti apa yang diharapkan fafa.
Cerita lain datang dari Ian yang menyukai teman seprofesinya yang kebetulan tinggals atu kos dengannya. Dia juga memilih untuk tidka mengatakan perasaannya pda si dia karena dia sudah punya calon suami. Kegalauan terjadi ketika perubahan sikapnya yang awalnya manis berubah ketus dan jutek dalam seketika. Ian bingung karena mereka bekerja di bidang yang sama dan tinggal satu atap.
Saya sendiri, dengan cerita yang masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Tentang mantan yang masih saja bertahan menjadi trending topik. Walaupun saya tidak memungkiri kalau perasaan untuknya masih ada, tapi realitas berkata lain. Terkadang masih sering sakit ketika mendengar kabarnya menyukai orang lain.
Ditambah lagi si ibu suri seneng banget nonton drama korea yang entah kenapa ceritanya mirip sama kisahku. Dilema yang terjadi antara mereka dan karakter si cewek pemeran utamanya persis saya (kata ibu suri). Mau nggak mau teringat dia lagi, dia yang berhasil kukesampingkan dengan prioritas-prioritas lain di tanah sebrang. Dia yang berhasil sedikit lebih sering menghilang dari otak dan fikiranku karena jarak dan logika.
Sudah tidak berartikan saya untukmu sekarang?
Sudah nggak adakah hati untukku?
Setidak berarti itukah saya sampai kau bisa membaginya dengan mudah?
Tiba saya tersadar dimana saya duduk sekarang, dimana saya memijakkan kaki, dimana saya menatap awan. Saya ada di dunia nyata sekarang, bukan di dunia khayalan dan ketika itu.
Yah, dunia nyata. Dunia yang tak bisa bahagia hanya dengan angan. Dunia yang harus kita sikapi dengan baik apa saja yang kita terima, dunia yang bisa kusikapi dengan baik apa yang telah kudapatkan. Bukan masalah harus mendapatkan yang itu, tapi bagaimana menerima yang ini dan memanfaatkannya dengan baik.
 Melihat ke depan bukan berarti tidak boleh menengok ke belakang, sesekali boleh lah menengok ke belakang, sekedar mengingat bagaimana kita masuk ke dalam lubang dan berusaha untuk tidak lagi terperosok kalau ada lubang lagi.
Memastikan hati tetap terjaga, untuk dia yang kelak menjadi imamku. Untuk ia yang bersedia mencari ridho Allah dalam ibadah yang disunatkan Rosulullah. Untuk dia yang sampai hari ini belum kuketahui...jodohku.
Berhenti galau, ikhlaskan hati itu terluka dan jaga hati yang tak terluka agar tetap bersih. Bersihkan luka itu sehingga tak menyebar dan terjadi infeksi. Meski meninggalkan bekas, tapi asalkan sembuh, tak menjadi masalah. Saya harus bisa menyembuhkannya sendiri.

Comments