Dua Kado Indah di Hari Ini


Beberapa teman menganggapku konyol ketika kuceritakan tentang keinginanku untuk dijodohkan. Mungkin memang sedikit aneh di zaman yang serba bebas dan anak-anak memilih pasangannya sendiri dan nggak mau dijodohin, aku justru menantang arus kebebasan. Aku minta orang tuaku menjodohkanku dengan orang yang mereka anggap cocok untuk menjadi penampingku.
“Kamu serius?” Tifa masih tidak percaya dengan yang baru saja kuceritakan. Ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan tatapan dan nada keherenan dan sedikit mencemooh ‘konyol’.
Yah, mungkin konyol, tapi aku benar-benar ingin dijodohkan. Mungkin Umi yang sering aku ajak sharing tentang permintaanku untuk dijodohkan juga memiliki persepsi yang sama dengan mereka. Konyol. Tapi sorot mata dan nada bicaranya sama sekali tak menyiratkan kata itu muncul di benaknya. Beliau mengerti aku. Beliau paling tahu siapa aku dan aku percaya beliau takkan mengecewakanku walaupun beliau sempat bilang kalau aku harus menemukan jodohku sendiri.
“Ayolah Umi…” dengan tampang memelas dan memperlihatkan keseriusan, Umi tidak mengiakan, tapi tidak menolak. Namun, aku yakin Umi tak menganggap obrolan dan permintaanku ini angin lalu. Aku juga tak jemu mengingatkannya di sela canda tawa dan sesi curhat kami, membahas banyak hal dan pasti masalah perjodohan ini tak pernah luput. Dua puluh dua tahun bukan umur yang muda lagi untuk bermain pacar-pacaran dan aku memang tak berminat mpacaran meski orang tuaku pun tak melarang kami pacaran. Satu-satunya alasanku ingin dijodohkan karena kalimat yang sering aku dengar ‘Ridho Allah ada pada ridho orang tua’.
Dua bulan setelah ide minta dijodohin bergulir, di pernikahan Paman Ozi di Lombok, tanah kelahiran Umi yang harus naik bus du hari dua malam dari Semarang dengan melewati perjalanan darat dan dua kali menyebrangi selat, Umi menemukan titik terang atas perminataanku. Aku tidak bias ikut menghadiri pernikahan Paman Ozi karena kewajiban kuliah di semester akhir yang melelahkan. Diam-diam Umi sudah menemukan siapa orang yang akan dijodohkan denganku setelah berunding dengan paman Ozi dan eyang di Lombok.
Enam bulan berlalu, aku masih saja membicarakan tentang perjodohan dan meminta Umi untuk benar-benar menjdohkanku yang dibalas senyum manis dan bijaksana dari sosok yang melahirkanku dua puluh dua tahun silam. Tanpa sepengetahuanku, pertemuan telah diatur, di hari wisudaku. Sosok pemuda tinggi dengan badan atletis, wajah tampan dan tampak sopan dan berkarakter bediri di dekat adik laki-lakiku, Amdan. Namanya Erwin. Ia menghampiriku, tersenyum dan memperkenalkan diri. Umi membisikkan sesuatu yang selama ini kunantikan. Kado istimewa di hari wisudaku.
“bagimana?” Tanya bisikan lembut itu saat pandangan kami bertemu. Aku menundukkan pandanganku lalu menoleh pada Umi. “Terimakasih Umi,” kataku sambil tersenyum.

Comments

  1. Ehmmm...udah tinggi, atletis, tampan, berkarakter, sopan pula...
    Alhamdulillah...

    ReplyDelete
  2. haha...namanya juga khayalan mbak. kalau beneran dapet yang begini alhamdulillah banget...hehe

    ReplyDelete

Post a Comment