Tradisi Lebaran yang Berubah




 

Lebaran menjadi moment yang sangat dinantikan bagi banyak orang. Namun, tentu saja tak selalu sama rasanya. Ada kalanya sangat bahagia karena bisa berkumpul semua, ada kalanya harus menahan rindu pada orang tercinta yang ternyata tidak bisa berkumpul bersama. 

Merayakan kemenangan setelah berpuasa dimaknai beragam oleh manusia. Ada yang memaknai sebagai perayaan kemenangan sehingga memperlihatkan bahagia berkumpul keluarga, ada yang memaknai dengan melanjutkan berpuasa syawal, ada yang masih harus bersabar dengan menahan rindu karena keluarga tidak bisa lengkap berkumpul. 

Kami pun demikian. Sudah beberapa tahun sejak aku dan adik laki-lakiku menikah, tidak pernah lagi kami bisa berkumpul saat lebaran. Selain karena jarak, libur yang tidak lama membuatnya tak bisa menyeberang ke Lombok untuk bisa berkumpul. 

Terakhir merayakan lebaran bersama adalah ketika saya hamil anak pertama. Omnya anak-anak belum menikah. Setelah itu, kami bertemu lagi ketika sudah memiliki satu anak sekitar tujuh tahun yang lalu. Meski tak selalu bersama dan berkumpul, tapi rasa itu selalu ada. Tak pernah luntur sedikit pun. 

Lebaran saat pandemi pun kami tidak bisa berkumpul bersama Bapak saya selama 3 kali lebaran. Bapak baru bisa pulang setelah lebaran karena tiket menjelang lebaran dari Manado ke Lombok cukup fantastis. Selisih harga tiket dengan yang harga normal bisa digunakan untuk kebutuhan lain. Keluarga kami sudah biasa menunda kesenangan dan mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan sesuatu. 

Ini bisa dijadikan moment untuk dialog bersama anak-anak, memberikan mereka pengertian kalau lebaran bukan saat untuk bersenang-senang berlebihan. Ada banyak orang yang tidak bisa berkumpul dengan keluarganya karena terpisah maut, terpisah jarak bahkan terpisah keterbatasan ekonomi yang meski sudah berkumpul tetap tidak bisa merayakan hari kemenangan. 

Tak perlu berlebihan memperlihatkan bahagia, cukup dirasakan, tidak mengumbar berlebihan karena nyatanya masih banyak yang tidak bisa merasakan itu. Kini, saudara di Palestina sedang merasakan duka yang sangat mendalam. Empati menjadi alasan untuk tidak terlalu mengumbar bahagia. Bersyukur dalam doa menjadi cara terbaik untuk merayakan lebaran tahun ini. 

Anak-anak pun tidak saya biasakan untuk menyambut lebaran dengan baju baru. Membeli apapun itu harus dengan pertimbangan kebutuhan karena mereka tumbuh. Bukan berarti lebaran harus baju baru, tapi menggunakan baju terbaik yang bersih dan menutup aurat. Ini saatnya berbagi, saatnya memberi dan terus menebar kebaikan. 

Menjalin silaturohim dan tulus meminta maaf atas kesalahan kepada makhluk dan mohon ampunan pada Yang Maha Kuasa atas khilaf dalam beribadah. Memberi pengertian kepada anak-anak harus diulang dan diberikan wujud nyata. Selama silaturohim saya tidak banyak mengabadikan gambar, tidak posting. 

Mengabadikan moment bisa menjadi kenangan manis dan cerita untuk generasi selanjutnya. Ketika sudah tak lagi bisa bertemu fisik, tapi bisa melihat dari kenangan yang tercetak. Namun, media sosial membuat banyak niat menjadi berubah. Bukan lagi untuk mengabadikan moment, tapi untuk bisa memperlihatkan kepada dunia betapa senangnya dengan apa yang dimiliki saat ini. Menggunakan baju yang sama dengan keluarga, berpenampilan yang terlihat sangat senang dan membagikannya ke sosial media. 

Tidak ada yang salah, itu adalah ekspresi bahagia setiap orang. Namun, bukan untuk keluarga kami. Kami berusaha membuat lebaran menjadi moement kemenangan atas puasa, bukan ajang pamer melalui sosial media. Mengingat masih banyak yang tidak bisa merayakan lebaran dengan sukacita. Saudara yang kekurangan dan yang jelas nyata adalah saudara di Palestina yang bahkan sebelum Ramadhan sudah harus mendapatkan musibah yang begitu berat. 

Mengingat mereka dan menahan diri untuk mengumbar bahagia di sosial media, bahkan tak terlihat jejak apapun di sosial media. Bukan tak merayakan, tapi hanya ingin merasakan tanpa banyak mengumbar di sosial media. 

Apalagi lebaran kali ini kami juga masih harus minus Om Ardis, adikku. Ia, istri dan kedua anaknya tinggal di Semarang dan sudah beberapa tahun tidak bisa ke Lombok karena selain cuti yang hanya sebentar, mudik cukup menguras tabungan. Namun, insyaaAllah akan bisa segera berkumpul bersama di kesempatan yang berbahagia.

Lebaranmu, bagaimana?

_Cerita Venti_

Comments