Air Terjun Sendang Gile, cipratan air penyejuk

Mataram menjadi cukup terik siang itu. Sepulang sekolah Si Sulung, kami bermaksud untuk menengok sebuah tempat wisata yang belum pernah kami kunjungi bersama anak-anak, yaitu air terjun. Memberikan pengalaman yang berbeda kepada mereka adalah cara kami untuk membuat mereka makin cinta pada Allah SWT yang menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia. Juga menceritakan pada mereka kalau Bumi Allah SWT yang kita pijak ini baru amat sangat sebagian kecil dibanding seluruh alam semesta ini. 

Anak-anak sudah diberitahu kalau perjalanan kali ini akan tidak sama seperti biasanya yang turun kendaraan langsung bisa menikmati keindahan, jalan yang ditempuh akan panjang melewati hutan asli yang masih banyak monyet dan binatang yang menghuninya. Jangan lupa untuk membaca basmallah dan berdoa adalah pesan kami. 

Persiapan bekal makan anak-anak dan minum sudah menjadi prioritas bagi kami. Anak-anak harus ada makanan di kendaraan sewaktu-waktu mereka bisa makan tepat waktu tanpa harus menunggu ada tempat makan. Saya tak pernah membiarkan tidak ada makanan di dalam kendaraan kami saat bepergian.

Hari ini kami berniat akan memperlihatkan ke anak-anak yang namanya Air Terjun. Sudah lama sekali dia ingin melihat indahnya ciptaan Allah SWT itu. Pantai, bukit, mata air sudah pernah kami ceritakan pada mereka. Kali ini kami ingin membuat cerita tentang air terjun. 

Perjalanan Menuju Lokasi Air Terjun


Perjalanan dari rumah menuju lokasi air terjun akan memakan waktu yang cukup panjang. Bantal sudah kami siapkan di kendaraan untuk anak-anak tidur. Mungkin akan memakan waktu sekitar 2 jam dari Mataram menuju ke Senaru, Kecamatan Bayan yang merupakan tempat air terjun Sendang Gile juga sebagai salah satu kaki jalur pendakian menuju Gunung Rinjani. 





Kami berangkat dari Mataram pukul 14.00 WITA menempuh jalan melewati Gunung Sari menuju Pusuk ke arah Lombok Utara. Jalanan sampai ke Kecamatan Tanjung sudah cukup bagus, tapi setelah itu, jalanan agak bergelombang, rusak dan kami bertemu perbaikan pelebaran jalan yang cukup panjang juga perbaikan jembatan. Namun, secar keseluruan tidak terlalu menggangu dan nyaman untuk dilalui.

Sampai di Desa Senaru, udara menjadi begitu dingin, apalagi kami sampai di sana sore hari. Pukul 16.00 kami sampai di parkiran pintu masuk Sendang Gile yang sudah rapi dengan plester dan toko dibuat permanen. Tahun 2011 adalah terakhir kali saya ke Sendang Gile sampai ke Tiu Kelep ketika itu. Jalanan masih rusak, parkiran masih berupa tanah dan sepi. Area parkir sudah dilengkapi dengan kamar mandi dan musholla. Dimanapun berada, tempat ibadah umat muslim ini tak sulit dijangkau di Lombok. 

Masuk Lokasi Wisata


Tiket masuk hanya Rp 10.000,-/orang hanya dewasa saja. Melewati gerbang masuk ini, anak tangga turun sudah menunggu. Air terjun terjun di kawasan ini ada 2 yaitu Sendang Gile dan Tiu Kelep. Sendang Gile merupakan air terjun terdekat yang bisa diakses. Ada air terjun lain yang lebih besar dan lebih jauh aksesnya yaitu Tiu Kelep. 

Kami berempat berjalan santai menuruni anak tangga bersama anak-anak. Mereka sudah terbiasa dengan berjalan jauh karena kami sering mengajak mereka melakukan perjalanan yang melelahkan. Mereka antusias ingin melihat air terjun yang selama ini hanya mereka bayangkan. 

Berjalan kurang lebih 15 menit, kami sampai di tempat yang kami tuju. Suara jatuhan air membuat segar kami yang mendengarnya. Air terjun sudah dekat. Kali dengan air jernih pun sudah kami lewati, rasanya sangat menyegarkan. Saat sampai di depan air terjun yang cipratan airnya sampai jauh terbawa angin, anak-anak langsung mengucap "MasyaaAllah... Allahu Akbar"















Suasana di Areal Air Terjun Sendang Gile


Akhirnya mereka bisa melihat langsung apa yang selama ini hanya didengarnya dari cerita tantenya. Perjalanan panjang terbayarkan dengan sejuknya Air terjun Sendang Gile. Hijau hutan alami yang ada membuat makin segar suasana hati dan pikiran. Tak ada hiruk pikuk kendaraan, tak ada berisik suara orang, hanya suara air yang jatuhd ari ketinggian membuat air sungai jernih mengalir di bawahnya. 

Sudah banyak dibuat tempat duduk dari cor-coran semen. Ada dua warung sederhana terbuat dari bambu, seng dan bangku kayu yang menjual jajanan, pop mie dan gorengan. Dibangun juga sebuah berugak besar untuk duduk menikmati indahnya air terjun. Di kawasan itu juga ada musholla dan kamar mandi yang tidak ada lampunya karena belum ada listrik sampai disana. Cukup dengan membayar Rp 2.000,-/orang untuk bisa menggunakan kamar mandi yang ada. Tidak terlalu bersih kamar mandinya, beberapa sampah berserakan di bawahnya. 

Kami terlalu sore tiba disini sehingga tidak terlalu ramai orang. Anak-anak cukup senang eksplore sungai di bawah air terjun yang airnya jernih. Cipratan airnya sudah membuat sejuk tubuh yang terkena. Begitulah kebaikan. Ketika dilakukan dengan ikhlas dan terus menerus, percikannya akan menimbulkan dampak menyejukkan untuk yang ada di sekitarnya. Air sungai yang jernih, tumbuhan di sekitarnya tumbuh subur, orang yang ada di dekatnya pun terkena cipran merasa sejuk. Tak perlu mempedulikan omongan orang ketika ikhlas melakukan kebaikan. Terus berjalan dengan apa yang dimiliki untuk menggapai ridhoNya di jalan yang benar adalah cara untuk tetap bisa mengalirkan kebaikan tanpa putus. 

MasyaaAllah...

Perjalanan seperti ini pun membuat kami menjadi lebih dekat, menjadi lebih tahu kekuatan masing-masing dan menjadi lebih peduli. Tak lagi banyak melihat gadget, kami saling bantu untuk bisa sampai di tujuan bersama-sama tanpa terpisah. Mbak Nada yang memang energinya tak pernah habis selalu berada di paling depan. Beberapa kali kami mengingatkannya untuk tidak terburu-buru dan menunggu kami yang masih mengikuti ritme jalan adik. Kami mengingatkannya untuk berhati-hati karena setiap melihat batu besar, dia selalu ingin menaikinya dan melompat. Sedangkan ini adalah hutan alami yang tidak menutup kemungkinan ada binatang buas seperti monyet yang banyak berkeliaran. Meski sudah terbiasa dengan pengunjung, tapi tidak menutup kemungkinan dia pun bisa menyerang.

Jalanan berupa tangga dengan pagar pembatas di sampingnya sudah bagus, hanya saja beberapa jalan area terkena longsor yang membuat batu besar melintang di tengah jalan. Namun, secara keseluruhan tidak ada kendala berarti untuk sampai disana. Tidak banyak monyet yang terlihat saat kami datang, tapi saat hari makin gelap, semakin banyak monyet yang keluar dari hutan. Anjing yang ada beberapa disana pun mulai lebih banyak. Kami pun memutuskan untuk segera pulang. 

Anak-anak sempat main di sungai di bawah air terjun menikmati sejuknya air yang Allah SWT limpahkan. Syukur dan takjub akan KuasaNya tak henti terbersit di hati kami. Kami pun memutuskan untuk segera kembali ke parkiran saat matahari sudah mulai meredup sinarnya.  

Sebelumnya, kami sempat membeli makanan ringan di pedagang yang sudah membereskan dagangannya. Harga barang disini tentu berbeda dengan di luar sana karena butuh usaha yang keras untuk sampai di sini. Harga jajan yang biasanya seribu dijual 5.000 mendapatkan 3 pcs. Saat melihat perjuangan mereka berdagang, saya pun terharu. Sayangnya tidak sempat memotret moment itu, Semua barang dibawa kembali ke atas karena takut dirusak oleh monyet yang kepalaran. Ada seorang ibu bersama anaknya yang membawa barang dagangan begitu banyak kembali ke atas. Si anak laki-laki kecil yang kira-kira usianya sekitar 7-8 tahun membawa plastik besar snack yang belum laku. Tidak berat sepertinya, tapi cukup kewalahan karena ukuran plastikan yang cukup besar. Sedangkan si Ibu membawa barang di atas kepalanya dan juga plastik yang dijinjing. 

Mataku terus tertuju pada mereka. Setiap hari mereka harus melakukan itu untuk bisa mendapatkan rezeki halal menjalani peran sebagai khalifah di Bumi. Rasanya diri ini menjadi pribadi yang kecil dibanding mereka yang perjuangannya luar biasa. Pedagang yang satu lagi sedang memasukkan dagangannya di dalam karung. Beliau membawa kompor untuk memasak air dan menjual gorengan. Peralatan memasak ditinggalkan dimasukkan dalam box di bawah meja kayu sederhana tempat mereka berjualan. 

Sepasang suami istri itu akan kembali pulang membawa hasil rezeki hari ini untuk keluarga mereka. MasyaaAllah.... 

Ada beberapa pengunjung yang baru datang, foto lalu kembali karena hari sudah mulai gelap. Suasananya terasa begitu syahdu ketika matahari sudah mulai meredup. Kami kembali menelusuri jalan menurun tadi, kini berbalik menjadi menanjak. Kadang memang hidup itu terlihat mudah di awal, tapi justru berat saat di ujungnya. 

Ada seekor monyet yang baru keluar dari hutan kemudian melihat seperti akan menyerang kami. kami ketakutan dan aku baru sadar kalau ada makanan di tanganku. Setelah kulempar, monyet itu menyaut bungkus kacang kemasan itu lalu pergi meninggalkan kami. Apa yang membuat mereka menjadi seperti itu? Apakah makanan di hutan berkurang? atau mereka terbiasa diberi makanan oleh pengunjung? atau mereka memakan makanan sisa pengunjung sehingga mengenali bungkus makanan kemasan sebagai makanan mereka?

Jalan Menanjak Kembali ke Parkiran Kendaraan

Disini pengunjung diberi pilihan mau jalan lewat yang mana bahkan ada ojek yang sudah menunggu bagi pengunjung yang tidak kuat jalan kembali ke parkir kendaraan. 


Ulah kita juga manusia berakal membuat banyak hewan menjadi berubah perilakunya. Astaghfirullahal'adzim....

Menaiki anak tangga yang mengular untuk kembali ke gerbang masuk wisata ini membuat keringat mengucur cukup deras. Ada beberapa jalan yang ditawarkan. Ada sebuah jalan keluar lebih dekat dan cepat sampai, tapi medannya lebih terjal. Tanjakannya lebih tinggi meski sudah dibuatkan anak tangga yang rapi. Ada jalan yang kami lewati tadi, lebih jauh, tapi lebih landai tanjakannya dan ada pula jasa ojek yang bisa mengantarkan sampai ke parkiran tanpa harus lelah. Ada beberapa orang sudah menunggu dengan kendaraan mereka menawarkan jasa ojek sampai ke parkiran. 

Kami memilih berjalan kaki saja untuk bisa mengukur kekuatan kami. Mbak Nada selalu menjadi yang terdepan, melesat secepat kilat tak terlihat oleh kami yang masih berjalan mengikuti langkah kecil adik. Alhamdulillah adik pun sampai tanpa meminta gendong. Udara yang sejuk membuat kami tak terlalu lelah mendaki. 

Sampai di parkiran, kami menyempatkan mengisi energi di warung terdekat minum dan makan makanan ringan sambil menunggu maghrib. Selesai sholat maghrib di tempat parkir, kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Mataram yang akan menempuh jarak cukup jauh. 




_Cerita Venti_



Comments