Belajar dari Mereka yang Kuat, Cerita Nania part 1





Beberapa bulan terakhir ini saya cukup kagum dengan salah seorang Ibu yang ternyata memiliki banyak sekali permasalahan kompleks sebagai ibu tunggal. Dia anak wali murid dari salah seorang teman sekolah anak saya. Saat ini anak kami duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Saat kelas 1, kami jarang saling tahu karena pandemi yang membuat kegiatan sekolah pun terbatas. Wali murid tidak saling kenal. 

Saat kelas 2, saya kebetulan mendapat amanah sebagai perwakilan Majelis kelas untuk angkatan anak saya. Sebagai jembatan aspirasi wali murid dengan sekolah. Saat itulah, saya banyak tahu beberapa kondisi yang awalnya saya tidak tahu. Selain memang saya adalah tipe orang yang tidak terlalu mau tahu urusan orang, saya juga tipe orang yang takut dibilang Sok Kenal Sok Dekat. 

Sampai akhirnya beberapa cerita sampai ke saya dan saya mulai pelajari tentang keluarga ini. Keluarga ini kehilangan sosok ayah di usia anak-anak yang masih sangat kecil. Ibu dari dua anak ini baru saja melahirkan anak keduanya dalam hitungan hari harus menerima kenyataan kalau suami tercintanya meninggal dunia. 

Sebut saja nama anak ini Nania. Nania saat itu masih berusia sekitar 2 tahunan ketika adiknya lahir. Adiknya masih hitungan hari. Ibunya begitu terpukul. Dunianya tiba-tiba gelap. Cahaya itu menghilang. Dia menyelesaikan segala urusan pemakaman suaminya yang juga tak luput dari drama. Banyak keluarga yang meminta tahlilan dilaksanakan selama 9 hari seperti adat orang sasak dan di hari ke 9 dadakan begawe.

Begawe orang meninggal biasanya dilakukan selama 9 hari, dimana setiap malam mendoakan orang yang meninggal dan dzikir. Di hari ke-9 biasanya diselenggarakan "begawe" yang mengundang tetangga di sekitar juga keluarga dan masak banyak untuk dimakan di tempat dan dibawa pulang. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit untuk acara seperti ini. 

Bunda Nania tidak setuju dengan acara yang terlalu panjang dan memakan biaya. Dia sempat berdebat dengan keluarganya karena memikirkan dua buah hatinya yang masih panjang perjalanannya. Dia harus pandai mengatur keuangan untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka kedepannya. Perdebatan itu sempat membuat renggang komunikasinya dengan kedua orang tuanya. 

Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menerima keadaan ini. Sedih itu terlalu berlarut-larut sampai menimbulkan hutang pengasuhan. Ibu Nania lebih banyak meghabiskan waktu untuk melihat gawainya sedangkan anak-anak diberikan hafiz doll untuk menemani mereka. Hanya makan dan tidur saja menemani mereka tanpa bisa ngobrol banyak. 

Anak-anak pun tidak rewel. Mereka seperti tahu apa yang dirasakan ibunya. Sampai ibunya bekerja, mereka dititipkan di sekolah sekaligus penitipan anak. Sore ketika ibunya sudah pulang kerja barulah diambil. Waktu mereka tidak banyak, urusan rumah juga dikerjakan sendiri oleh Ibu Nania. Nania dan adiknya lebih banyak bermain sendiri. 

Waktu berjalan, anak-anak tumbuh semakin dewasa. Ibu Nania memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di salah satu sekolah swasta dengan rekomendasi temannya. Sekolah baru ini menjadi harapan Ibu Nania untuk bisa membuat anaknya lebih baik. Dia ingin anaknya bisa hafidz Qur'an. Dia ingin anaknya dibimbing dengan baik ketika dia tak mampu melakukannya. Pasalnya, dia pernah mengatakan kalau sekolah ini cukup mahal sehingga mungkin anaknya akan diperhatikan dengan baik dan dibantu.

Anak sulungnya masuk sekolah ketika masih pandemi covid 19. Pembelajaran di sekolah banyak disederhanakan dan disesuaikan dengan jam pelajaran yang tidak bisa maksimal. Saat itu, saya tidak tahu banyak tentang anak ini. Hanya anak saya pernah cerita kalau Nania suka usil, kalau main suka cubit beneran. 

"Ya kasih tau aja ke dia kalau Mbak nggak suka mainnya gitu, sakit. Tapi jangan dijauhin, jangan dimusuhin kalau dia mau berubah."

Saya tidak pernah menyangka kalau ternyata permasalahan yang dialami anak ini cukup kompleks. Saat duduk di bangku kelas 2, saya mendengar bebeapa cerita tentang keusilan anak ini. Memang dia suka mengajak temannya bermain dan kurang fokus dengan pelajaran di kelas. Dia sering mengajak temannya bermain saat pelajaran berlangsung, gigit pensil yang membuat temannya kurang nyaman juga jalan berkeliling ketika temannya mengerjakan tugas karena dia tidak mengerti dan tidak bisa mengerjakan soal. Banyak temannya yang mengeluh tentang keusilan anak ini dan masih seperti anak Taman Kanak-kanak. Bahkan ada juga yang sampai disenderin bahunya, ditarik jilbabnya, disikut dan sejenisnya. Namun, anak ini bukan mau menyakiti, tapi sebagai bentuk ingin diperhatikan temannya.

Saya memahaminya ketika saya tahu kalau dia sudah tidak memiliki ayah. Ini sulit pasti bagi ibunya. Apalagi ternyata banyak ketertinggalan dengan pelajaran sekolahnya. Jadi, anak ini kebingungan saat mengerjakan tugas sekolah sehingga mencari perhatian temannya dengan main. Kesepiannya juga membuatnya sepertinya butuh perhatian yang banyak dari sekitarnya, tapi dia tidak bisa mengungkapkan sehingga tersalurkan melalui usil. 

Ibunya seorang ASN di bawah Departemen Keagamaan. Beliau sekali waktu cukup sibuk dengan pekerjaannya sehingga kadang harus menjemput putrinya sangat terlambat. Tidak ada yang bisa diminta bantuan karena tidak ada ART di rumah. Orang tua dan saudaranya pun tidak bisa selamanya diandalkan karena keterbatasan mereka juga kurangnya komunikasi yang baik diantara mereka. 

Nania sering minta Ustadzah untuk menelfon ibunya minta segera dijemput, bahkan beberapa kali dia ketiduran di sekolah karena lama ibunya menjemput. Beberapa ibu teman Nania pernah menawarkan untuk pulang bersama sebelum dijemput ibunya karena iba, termasuk saya. Namun, ternyata anak saya kurang cocok bermain bersama Nania. Memang dia tidak usil saat saya bawa ke rumah, hanya saja dia suka rebahan dan nonton TV sedangkan anak saya suka main keluar. Beberapa kali saya mengingatkannya kalau jangan main keluar, kasihan temannya sendirian. Itu membuat anak saya tidak nyaman karena Nania tidak mau diajak main keluar. 

Nania tidak mau makan, tapi jajan dan buah habis dimakannya. Dia seperti kelelahan, rebahan dan tidak banyak gerak. Pukul 17.30 ibunya menjemputnya setelah menjemput adiknya di penitipan anak. Saya sempat terharu melihat mereka. Pasti ini tidak mudah, tapi mereka berusaha kuat untuk bisa tetap melanjutkan hidup. 

Sejak sering bertemu dengan wali murid, saya mendengar berbagai versi cerita tentang keluarga kecil ini yang cukup mengejutkan. Nania sempat dipertimbankan untuk tinggal kelas karena calistung nya masih jauh dari target. Padahal, materi yang diberikan dengan K-13 memaksa anak memiliki target calistung yang sudah jauh dari kemampuan Nania. Tentu saja tertinggal. Bukan hanya calistung, mata pelajaran diniyahnya seperti hafalan dan tahsinnya juga masih tertinggal dari teman-temannya. 

Saya mendengar cerita dari seorang wali murid yang cukup tahu banyak tentang keluarga ini. Ibu Nania sempat menunggak pembayaran sekolah dan caatering untuk Nania mendapatkan support dari donatur tetap. Rasanya campur aduk mendengar cerita ini. Teman yang sering mendengar ceritanya bahkan cerita kalau Ibu Nania sering kebingungan harus bagaimana saat dia mengatakan kalau ingin meminta keringanan SPP Nania. Dia sempat bertanya apakah komite sekolah bisa membantu meringankan SPP Nania, tapi tidak ada dana komite untuk itu.

Ibu lain ini menyarankan untuk menjelaskan keadaannya pada pihak sekolah dan minta waktu untuk membayar SPP. Sekolah pun memahami dan memberi kelonggaran. Kesulitan ini rasanya berbeda dengan apa yang pernah beliau ceritakan kepada saya kalau beliau mampu menyekolahkan anaknya di sini. Apalagi penitipan anak untuk adik Nania pun yang saya tahu tidak murah. Saya tidak tahu persis apa alasan Ibu Nania memilih keputusan ini untuk anak-anaknya meski kesulitan yang dirasakannya cukup berat.

Bukan hanya soal finansial, waktu dan kemampuan anak pun sepertinya tidak menjadi pertimbangan beliau. Sering menjemput terlambat, Nania sering telat masuk sekolah karena jarak rumahnya, tempat kerja ibunya dan sekolah Nania tidak searah. Kadang dia harus ikut ibunya absen di kantor dulu sehingga terlambat dan harus sholat dhuha di lobi dan menyapu kelas sepulang sekolah sebagai hukuman. Ibunya sempat menjelaskan ke pihak sekolah, tapi pihak sekolah menegaskan kalau semua anak diberikan keleluasaan seperti ini maka aturan sekolah tidak berlaku.

Selain itu, ketertinggalan Nania akan target pencapaian di sekolah membuat ibunya beberapa kali kewalahan. Tugas sekolah yang belum selesai harus dikerjakan di rumah oleh Nania. Kadang, kalau sedang capek dan Nania sulit memahami, ibunya bahkan mencubitnya. Meski menyesal, tapi hal itu diluar kontrolnya. Beliau sering kebiingungan dan kelelahan yang membuat emosinya tidak stabil. Bahkan sering dia menelfon wali murid lain untuk bertanya dan bahkan sampai menangis bercerita tentang kebingungannya. 

Nania tumbuh menjadi anak yang sulit mengeluarkan apa yang dirasakan. Beliau sering bingung menentukan langkah prioritas yanng harus diambil untuk kebaikan bersama. Ibu dua anak ini butuh seseorang yang bisa diajak bertukar fikiran, diskusi dan sharing banyak hal. Sampai akhirnya ada wali murid yang ingin membantunya dengan menyarankan minta saran ahli, yaitu psikolog anak untuk bisa mengetahui apa yang sebenarnya Nania rasakan dan butuhkan.

Setelah kami telusuri, ternyata wali muridnya pun kewalahan dengan Nania yang kurang fokus dan lambat mengikuti pelajaran. Beberapa guru les privat dari guru sekolah pun sampai mundur karena tidak ada perubahan mengajari anak ini. Salah seorang wali murid membantu Ibu Nania untuk les di sebuah lembaga dengan metode yang menarik untuk belajar calistung. Menggunakan alat peraga dan lebih modern dan menyenangkan. Bahkan ibu itu berhasil menggalang dana untuk bisa mencukupi les dengan biaya yang tentuu tidak murah. Sampai 2 periode les, sudah ada perubahan yang terjadi pada Nania, meski masih tertinggal dari teman-temannya. 

Sayangnya, Nania tidak mendapatkan guru di sekolah yang bisa menangani kondisinya. Banyak yang kewalahan sehingga justru disupport dengan membantunya saat pengambilan nilai sehingga nilainya bagus. Tentu hal itu menjerumuskan membuat anggapan terhadap anak ini menjadi bias. Dia tidak dianggap bermasalah, padahal bermasalah. Entah apa yang membuat guru sekolahnya membuatnya mendapatkan nilai bagus dengan bantuan penuh. 

Ibunya pun sanksi, tapi dia menceritakan ke semua orang termasuk psikolog kalau anaknya mendapatkan nilai bagus di sekolah. Psikolog pun menyimpulkan kalau anak ini tidak bermasalah dalam hal akademik. Meski ini mengecewakan, tapi hal ini sudah terjadi. Kami pun sempat menemui guru yang membantu memberikan nilai bagus dan menjelaskan akibat dari apa yang beliau lakukan kepada anak ini. Beliau pun berjanji akan memperbaiki keadaannya dan bicara dengan psikolog terkait keadaan Nania yang sebenarnya. 

Cobaan sepertinya terus menerpa keluarga ini untuk membuat mereka kuat. Allah SWT sedang menempa mereka menjadi hamba yang kuat. Nania terdiagosa usus buntu dan harus segera operasi. Ketika sedang buka puasa bersama teman kantor ibunya, Nania mengeluh sakit perut. Mereka akhirnya menuju ke Rumah Sakit terdekat dari tempat mereka buka puasa dan qodarullah harus opname karena harus dilakukan beberapa observasi dengan USG dan rontgen. Tidak ada persiapan dan persiapan tentunya. Jarak rumah sakit dengan rumah mereka pun cukup jauh. Ibu Nania membawa si bungsu juga. Dia tidak mungkin meninggalkan Nania sendiri di RS untuk mengambil barang, tidak mungkin pula membawa si bungsu perjalanan jauh juga lebih tidak mungkin meninggalkan mereka berdua di RS untuk sekedar mengambil barang di rumah.

Tidak terfikir untuk meminta bantuan keluarga, malam itu mereka hanya bertiga menghadapi ujian ini. Nania yang terus mengeluh sakit dan tidak bisa masuk makanan membuat ibunya sedih dan bingung. Taak terbersit untuk menghubungi keluarga sampai ada beberapa teman yang menanyakan tentang status di media sosialnya membantu dengan mengirimkan baju dan mukena besok paginya. Entah apa yang ada di pikiran ibu dua anak ini tidak segera menghubungi keluarganya dan minta bantuan. Setahu saya, orang tuanya ada di kota yang sama tempatnya tinggal, tapi di psikolog bercerita kalau keluarganya ada di luar kota, di Lombok Timur sehingga tidak bisa meminta bantuan untuk mengurus anak-anak. 

Padahal, saat Nania dinyatakan harus operasi, Nenek dari ibunya yang menemani. Beliau cerita kalau tinggal tak jauh dari rumah Nania dan ibunya tinggal. Komunikasi mereka sepertinya berjalan kurang baik karena Nenek bilang kalau Ibu Nania terlalu keras dengan anak. Cukup kompleks permasalah Ibu Nania hingga hilang arah fokus. Pancaran mata Ibu Nania pun sayu, seperti hampa. Dia sering menceritakan masa lalu yang bahagia bersama suaminya, dia seperti belum selesai dengan kecewanya atas kepergian suaminya. Ada ketidakikhlasan yang masih mengganjal. 

Beberapa wali murid cerita kalu Ibu Nania pernah bercerita ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri ketika salah seorang ibu menceritakan suaminya sedang melanjutkan sekolah. Ibu Nania juga sempat mau membeli material dari seorang wali murid sehingga membuat beliau kebingungan karean seperti yang banyak orang tahu beliau sedang sulit finansial. Namun, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan beliau. 

Bahkan, yang membuat kami heran, Nania merayakan ulang tahun di sekolah dengan bagi kue dan makanan. Kami kaget karena kami tahu kondisi beliau dan sepertinya ulang tahun bukan hal yang cukup penting untuk saat ini, meski anak ini sangat menginginkan karena banyak temannya yang melakukannya. Penjual kue yang dipesan bercerita kalau dia sempat bingung dengan uang yang dipegangnya kurang untuk membayar. Disaat seperti itu, dia menceritakan kalau adiknya tidak tahu kakaknya merayakan ulang tahun bersama temannya. Kalau dia tahu, nanti dia pun akan meminta hal yang sama dan akan diwujudkan oleh ibunya. 

Spontan penjual kue itu mengatakan, "Simpan saja uangnya untuk yang lebih penting, Bu. Perjalanan anak-anak masih panjang daripada sekedar ulang tahun."

Kaget juga dengan pertimbangan ibu dua anak ini. Beliau sering sulit menentukan prioritas dan fokus. Bias dengan terlalu peduli omongan dan pandangan orang. Alih-alih tak ingin anaknya disepelekan dan diremehkan, beliau justru membuat masalah baru. 

Memang beberapa kali Ibu Nania cerita kalau sempat ada beberapa teman anaknya yang membully. Dibilang miskin tidak punya bapak, dijauhi karena bau (menurut teman-temannya), dituduh mencuri oleh temannya saat menemukan uang di bawah meja dan tidak mau diajak berkelompok karena tidak bisa calistung, takut kelompoknya kalah bersaing dengan kelompok lain. 

Banyak hal yang dialami Nania yang membuatnya tidak nyaman, tapi dia tak bisa mengungkapkannya.

Sekarang, Nania sedang pemulihan pasca operasi. Sebulan dia tidak diperbolehkan masuk sekolah. 


_Cerita Nania part 1_

Comments

Post a Comment