Maha, Teman Sekamar Yang Menginspirasi




Punya kehidupan yang mulus dan monoton?
Hidupku sejak kecil hingga kuliah rasanya banyak mulusnya. Tak ada masalah yang sangat serius sampai aku masuk di bangku kuliah. Rasanya urusan masalahku hanya soal nilai sekolah karena orang tuaku sangat menjaga perasaan kami. Perasaan kami yang tak boleh terlalu memikirkan hal lain selain sekolah. 

Hingga saat lulus SMA, saya diterima di sebuah kampus swasta di Jakarta. Selain itu, lewat jalur tes SPMB (sekarang SNMPTN, UMPTN) saya diterima di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Meski sempat akan daftar ulang di sekolah swasta di Jakarta, bahkan Pakde sudah cuti untuk mengantarkanku, aku mengurungkan niat sekolah disana. Selain karena ternyata tidak bisa mendapatkan beasiswa full, ongkos pulang pergi pun cukup lumayan mahal. 

Aku kepikiran kedua adikku yang masih sekolah. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dan menciba daftar ulang ke Universitas Sebelas Maret, meski terlambat. Inilah masalah besar pertama yang kuhadapi. Masalah besar untuk diriku sendiri, tapi support system orang tuaku cukup besar sehingga aku pun berusaha berjuang meski aku tidak sepenuhnya ikhlas ada di jurusan itu. Jurusan yang aku hanya memilih secara acak karena aku sudah mantab untuk mengambil kampus swasta yang menjanjikan beasiswa penuh itu.

Saat itulah pertama kali aku sadar kalau tak semua yang diharapkan sesuai keinginan sebab selama ini hanpir semua keinginan dan rencanaku berjalan seperti yang kuinginkan. Semester pertama sekolah begitu menyiksa. Setiap pulang kerumah, aku selalu menangis. Rasanya tak ingin kembali ke Solo, tempat menuntut ilmu. Namun, Ibuku adalah orang yang selalu menguatkan disaat aku goyah. 

Selain ibu, ada seorang lagi yang bisa membuatku nyaman. Namanya Maharani. Kesan pertama dengannya saat masuk ke kos adalah anakya mandiri. Dia diantar Bapaknya, tapi terlihat kedekatan mereka sepertinya kurang sebab dia mengurus semuanya sendiri. 

Dia mendapatkan kamar yang paling sempit diantara 5 kamar yang ada di rumah kosan itu. Kosan kami berbentuk seperti rumah. Tidak ditunggu oleh Bapak kos karena rumahnya jauh. Rumah itu ada lorong yang bisa dipakai untuk menerima tamu. Disekat tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah tempat menonton TV. Ada sebuah TV tabung kecil sebagai hiburan kami sambil makan nonton TV. Ada meja dapur panjang dan tempat kompor yang disediakan dengan 2 kamar mandi yang ada di bagian samping. 

Kosan itu seperti rumah yang tak terawat. Aku mendapatkan info dari pemilik kos yang bekerja sebagai staff administrasi di kampus. Rumahnya jauh. Aku dan Maharani sama-sama terlambat daftar ulang. Ternyata Maha, begitu panggilan kami padanya, sempat mengalami kecelakaan yang membuatnya terlambat daftar ulang. 

Kami bersebelahan kamar. Kamar kami hampir mirip, bentuk persegi panjang. Kamar di rumah itu berbeda-beda ukurannya, terkesan tak beraturan memang, tapi bagiku yang sering pulang kamar itu cukup untuk sekedar numpang tidur saja. 

Hatiku dan Maha langsung cocok. Kami sering ngobrol dan curhat di kamarnya. Diantara banyak kamar disana, kamarku lah yang paling tak pernah kurawat. Aku kacau karena merasa jurusan yang kujalani kali ini bukan yang aku suka, tapi mau tidak mau harus kujalani. Maha yang cukup mengerti aku hingga kami sangat dekat dan kami pernah berkunjung ke rumah masing-masing. 

Kami pun memutuskan untuk pindah kos ke rumah depan kosan yang membuka kos di lantai atas. Selain kosan yang kami tempati terlalu sempit dan tak terawat, kami juga cukup dekat dengan pemilik kos yang baru buka itu karena punya kios tempat kami membeli banyak kebutuhan hidup. Orang tua kami pun menitipkan kami pada sepasang suami istri shalih shalihah itu untuk bisa diawasi dan dibantu. Mereka sudah seperti kakak dan orang tua bagi kami. 

Aku pun memilih sekamar bersama Maha karena nyaman dengannya. Kami bisa nyambung saat bicara dan merasa dimengerti olehnya. Maha yang mengenalkanku pada banyak temannya, dia sering mengajakku di banyak kegiatannya. Mahasiswa FISIP ini mengambil jurusan komunikasi. Dia banyak mengajariku berkomunikasi dengan orang lain. Melihatnya selalu bisa ngobrol dengan orang lain, aku selalu kagum. Kuperhatikan dan kupelajari caranya. 

Menyamakan duduk dengan orang yang diajak bicara akan membuat orang lain akan lebih nyaman dengan kita dan berusahalah untuk berwawasan luas. Orang yang wawasannya luas akan lebih nyaman diajak bicara, begitu katanya ketika aku bertanya bagaimana bisa menyenangkan setiap kali ngobrol dengan orang lain. 

Dia mengajariku tidak canggung bertemu dengan orang lain.

"Pede aja, kalau kita pede, mereka pasti nyaman kok ngobrol," katanya dengan semangat positif yang selalu menular. 

Aku selalu melihatnya ceria, penuh senyum dan tak pernah putus asa. Rasanya bersamanya selalu bisa menularkan energi positif yang menular.  Dia adalah sosok yang cerdas, mandiri dan periang. Dia seperti melengkapi banyak di diriku yang tak kumiliki. 

Kami tinggal sekamar hampir dua tahun tanpa konflik. Kami saling mengerti dan memahami. Kami berusaha untuk saling melengkapi satu sama lain. 

Lucunya, kami pernah ada satu masa ketika kami tak saling bertatap muka karena kesibukan kami. Aku yang selalu tidur setelah sholat Isya' dan dia yang pulang larut karena mengerjakan tugas shooting. Aku yang bangun pagi lalu ke kampus sedangkan dia yang setelah sholat subuh tidur lagi sampai siang baru ke kampus. Aku pulang kampus dia sudah pergi, dia pulang ke kos aku sudah tidur. 

Begitulah sampai beberapa bulan kami rindu bisa ngobrol bareng. Kami rindu nonton film bareng. Dia sering meminjam CD film sebagai bahan referensinya karena banyak kulihanya berhubungan dengan broadcasting. Aku pun sesekali ikut menonton. Selain film, Maha juga suka pinjam komik kungfu boy. Komik kocak yang membuat kami menyamakan tokohnya dengan lingkungan kami. Aku tidak terlalu suka baca komik, aku lebih suka baca novel. 

Meski banyak perbedaan kami, tapi kami nyaman satu sama lain. Sampai akhirnya sebuah percakapan random terjadi malam itu. Kami sering bercerita tentang mimpi kami di balkon kos. Kami menceritakan apa yang kami rasakan  sambil melihat bintang yang sering nggak kelihatan, ahaha...

Aku merasa Maha cukup peka. Malam itu, dia bilang "Kayaknya aku mau naik kelas nih. Bapakku ada sakit ginjal, tapi nggak mau berhenti ngerokok sama ngopi," katanya sambil matanya melihat bintang. Kami menamai ujian hidup kami itu naik kelas. Malam itu aku tahu dia sedang khawatir dengan kesehatan Bapaknya. 

Maha selalu cerita kalau Bapak adalah orang yang cukup tegas mendidik anak. Bahkan, dia sering ketakutan ketika melakukan kesalahan sampai harus menempel di tembok saat bapaknya datang menghampiri. Sejak kecil dia ditempa untuk menjadi mandiri. Ternyata Allah sedang mempersiapkannya menjadi sosok yang kuat. 

Tak lama setelah pembicaan itu, kabar tentang bapaknya sakit membuat Maha harus segera pulang. Kedua adiknya juga sakit thypus dan sedang dirawat di Rumah Sakit. Ibunya kewalahan karena ibunya harus menemani bapaknya berobat sampai ke Rumah Sakit di Purwekerto. Mereka tinggal di Majenang, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maha harus segera pulang menemani kedua adiknya yang opname di Rumah Sakit di Majenang.

Sampai akhirnya berita ayahnya berpulang sampai ke kami. Campur aduk rasanya saat itu, aku berusaha untuk bisa kesana mengejar bus yang berangkat ke Majenang dari Terminal Bawen. Aku pernah ikut ke rumah Maha jadi aku lumayan tahu bagaimana sampai disana. Aku juga berusaha menghubungi sahabat Maha minta bantuan kalau saja aku bingung nanti di terminal. Sayangnya, saat sampai di Bawen, busnya sudah jalan. Aku pun mengurungkan niat kerumah Maha. Takut merepotkan juga.

Cukup lama Maha tidak kembali ke kos setelah kepergian bapaknya. Dia sempat bilang mungkin tidak lanjut kuliah, padahal ketika itu kami sudah semester 4. Sudah pertengahan kuliah, tapi aku berusaha untuk mengerti keadaan mereka. Bukan masalah biaya, tapi ibunya belum stabil untuk ditinggalkan ke Solo.

Sampai akhirnya dia pun kembali ke Solo. Kembali ke kos. Saat mengabarkan kalau dia akan kembali ke kos, aku sudah berusaha menata hatiku. Entah kenapa aku yang merasa sangat terpukul, padahal dia yang sedang berduka. Kumenunggu dia sampai di kos, bayanganku dia akan menangis haru dan aku harus siap mendengar ceritanya tanpa menangis. 

Ternyata aku salah. Dia datang membuka pintu kos dengan senyum khasnya. Tak ada tangis bahkan saat menceritakan kejadian itu. Dia harus membawa kedua adiknya pulang dengan selang infus masih terpasang, melihat bapak yang dianggapnya sebagai sosok terkuat itu terbaring tak bergerak saat dimandikan. Tak ada air mata yang menetes sedikitpun saat dia menceritakan semuanya. 

Hingga ibunya yang masih saja terus bersedih dan tidak bisa mengambil keputusan untuk langkah mereka selanjutnya. Maha maju menjadi kepala keluarga, mengayomi ibu dan adik-adiknya. Dia maju menjadi ujung tombak keluarga menuntaskan beberapa hal yang harus diselesaikan seperti bengkel peninggalan bapak, mobil bapak dan beberapa aset keluarga mereka yang tidak bias diurus sendiri. Maha memilih menjual beberapa aset dan meninggalkan beberapa aset yang bisa ditanangani sendiri. 

Toko baju ibunya belum bisa dibuka karena ibu masih sedih dan lemas sepeninggal separuh jiwanya. Maha baru menyadari kalau mungkin dia dilatih mandiri oleh bapak sejak kecil untuk bisa sampai di titik ini. Titik dimana dia bisa menyelesaikan semuanya dan menjadi pengayom keluarganya.

"Kamu nggak nangis, Ha?"
"Nangis sih sesekali kalau inget bapakku udah nggak ada, tapi habis nangis udah aku realistis lagi. Mau nangis sedih terus juga bapakku kan gabisa kembali. Aku harus kuat buat ibu dan adik-adikku."

Aku selalu kagum dengan caranya memandang permasalahan. Dia yang sejak awal kuliah sambil menjadi guru les privat yang berpenghasilan lumayan. Bakat berdagang menurun dari ibunya, dia kadang membawa barang dagagan ibunya untuk dijual di kampus. MasyaaAllah benar-benar wanita kuat dan tangguh. 


Tak heran kalau setelah lulus dia pun bekerja di tempat yang keren. Bikin berita internasional, jadi editor freelance yang gajinya nggak main-man dan sekarang udah jadi ASN. MasyaaAllah... semoga Allah memberi rezeki kita untuk ketemu ya.

Terimakasih Maha, banyak hal yang kupelajari darimu. Banyak hal yang tak pernah kulupakan. 

_CeritaSahabatVenti_

Comments