Sembalun di Awal Februari

Cuti menjadi waktu yang sangat dinantikan bagi kami yang memiliki kepala keluarga seorang gila kerja. Sejak pertama menikah, saya memang sedikit kaget dengan ritme kerja suami yang sering tak kenal waktu. Mereka bilang terlalu rajin, tapi memang ternyata dia seperti melimpahkan ketidakpercayaan dirinya pada pekerjaan.

Cuti besar tahun 2020 tidak bisa diambil banyak karena banyak pekerjaan dan tak ada yang menggantikan. Rencana ke Jawa pun harus pupus karena pandemi, mungkin Allah memiliki banyak rencana indah untuk manusia kembali muhasabah diri, kembali mendekatkan diri dengan keluarga dan sekitar setelah selama ini mungkin terlalu sibuk dengan urusan sendiri. Kembali menata keadaan yang mungkin harus berubah dan menyesuaikan dengan keadaan yang sekarang. Juga memberi kesempatan untuk lebih peduli dengan mereka yang sekarang sedang terdampak oleh pandemi.

Cuti si Ayah akhirnya kami gunakan untuk melihat betapa luas bumi Allah. Melihat betapa luar biasa ciptaanNya yang baru sebagian kecil kami lihat. Setelah sebelumnya menjelaskan ke si Gendhuk kalau kami tinggal di satu pulau kecil di tanah air yang berupa kepulauan, lalu menjelaskan kembali betapa lebih kecilnya kami dibanding dengan seluruh dunia, apalagi dibanding dengan alam semesta dan seluruh isinya.

Kami berjalan dari Mataram sekitar jam 2 siang, menuju ke Lombok Timur. Kecamatan Sembalun yang terletak di lembah Rinjani ini terletak di Kabupaten Lombok Timur. Biasanya pendaki Gunung Rinjani akan naik lewat Kecamatan ini yang merupakan pintu gerbang pendakian ke Gunung Rinjani. Meski ada banyak jalan menuju Gunung Rinjani, tapi banyak yang bilang naik lewat Sembalun dan turun lewat Senaru merupakan jalan yang paling bagus pemandangan dan track yang paling ringan.

Bisa juga melewati Kabupaten Lombok Utara lewat Desa Bayan yang terkenal dengan Masjid tertua di Lombok untuk sampai ke Sembalun, tapi menempuh jarak yang lebih jauh. Nasi dan lauk yang sudah tersaji bisa dibawa untuk makan siang anak-anak. Rasanya tidak nyaman kalau tidak ada makanan untuk anak-anak. Mereka harus makan di jam makan mereka. kebiasaan sejak aku kecil dari mamak terbawa sampai sekarang aku menjadi ibu.

Si Sulung sangat antusias sampai tidak mau tidur selama perjalanan, padahal masih membutuhkan waktu sekiar 2 jam perjalanan. Dia yang sejak lama ingin mrasakan menginap di Sembalun dan memetik sayur buah di tempat ayahnya pernah cerita dulu ketika tugas di Lembah Rinjani itu. Melihat ayahnya pulang membawa sayuran membuatnya penasaran bagaimana saat panen.

Mendung mulai menggelayut setelah kami meninggalkan Kecamatan Aikmel, masuk ke Kecamatan Suela. Semakin tinggi mobil melaju, udara semakin terasa sejuk. Udara khas pegunungan yang sudah tak bisa sering kurasakan seperti saat di Ambarawa. Tinggal di lembah yang dikelilingi gunung membuat kami bisa merasakan hawa sejuk pegunungan dari rumah.

Semakin ke atas, rumah penduduk semakin jarang berganti kebun dan lereng yang ditanami alpukat dan beberapa tanaman buah seperti durian. Rasanya seperti kembali ke Ambarawa, sebuah kecamatan yang penuh kenangan. Kenangan indah yang tak terlupakan, baik pahit ataupun manis.

Menikmati udara yang mulai sejuk, kami membuka kaca mobil untuk merasakan luar biasanya nikmat Allah berupa udara yang sejuk dan segar ini. Semakin jalan menanjak, kami mulai memasuki hutan yang cukup lebat. Beberapa terlihat pohon tumbang mungkin karena angin besar beberapa waktu yang lalu. Ada pohon besar yang terlihat akarnya terangkat, menambah suasana syahdu ditemani sunyi dan cahaya yang terhalang dedaunan yang lebat. Beberapa monyet terlihat di pnggir jalan. Ada beberapa wisatawan yang memberi makan hewan kecil itu sehingga ia pun sudah terbiasa dengan para pengendara. Namun, tak seperti biasanya, tidak banyak yang keluar dari hutan.

“Di dalam hutan ada apa saja, Bunda?” si Sulung bertanya sambil menikmati pepohonan yang rindang. Tak ada yang terlihat selain pepohoan yang rindang dan bau tanah basah. Karena bukan weekend, jalanan tidak ramai. Kabut mulai terasa meyelimuti saat kami hampri sampai puncak pusuk.

“Kita di awan ini.” Benar kalau Ayah adalah sumber imajinasi anak-anak.

Ketika Emak mecoba menjelaskan untuk mudah dimengerti, si Ayah memberikan bumbu imajinasi di setiap cerita. Seperti saat Emak bilang kalau yang putih seperti awan ini namanya kabut. Kabut ini uap air kayak kalau masak air ada uapnya itu atau kalau kita lihat es yang keluar dari kulkas kadang ada seperti asap. Itulah uap air yang merupakan kumpulan titik-titik air.

“Coba keluarin tangannya,” kata si Ayah.

Gendhuk mengeluarkan tangannya dan merasakan tangannya menjadi dingin dan basah.

“Dingin ya? Ada airnya ya?”

“Iya,” kata si Gendhuk.

Jalan dekat dengan Pusuk, mulai sangat curam. Kabut juga menjadi lebih tebal. Mungkin karena bukan hari libur jadi memang sepi.Sepi, kabut tebal yang sangat pekat membuat suasana menjadi sangat syahdu. Kami berjalan perlahan, ada bekas longsor yang baru saja dibersihkan. Karena Ayahnya anak-anak hafal jalan ini jadi tidak khawatir. Dia juga pernah merasakannya saat masih bertugas di Sembalun. Jalanan longsor, kabut tebal dan dingin adalah teman setiap hari. Dia sudah hafal mati jalan Sembalun dengan berbagai kejadiannya, tapi tentu berbekal Bismillah yang tak pernah kami lupa untuk lafadzkan. Rasanya ketika sudah berserah padaNya, semua terasa lebih ringan dan ikhlas. Apapun yang terjadi adalah takdirNya yang tentu memiliki hikmah.

Sepanjang perjalanan kami membicarakan beberapa penginapan yang ada disana. Si Ayah menawarkan beberapa opsi menginap yang cukup bagus di sana meski banyak penginapan lain. Sudah cukup lama dia tidak ke Sembalun sejak gempa besar di Pulau Lombok tahun 2018 lalu dan tidak tahu bagaimana suasana penginapan baru yang banyak dibangun. Selain itu, Sembalun juga banyak menyediakan tempat berkemah di suatu area. Menikmati suasana kemping tanpa repot. Makanan dan perlengkapan sudah disediakan dan ada kamar mandi umumnya juga. Namun, saya tidak tertariak karena tidak nyaman dengan kamar mandi umum. Lagipula, sepertinya sangat dingin kalau menginap di tenda.

Kami pun memutuskan untuk menginap di Rudhis setelah si Ayah menawarkan untuk mempertimbangkan Hotel Nusantara juga. Rudhis memiliki tipe bungallow dan memiliki halaman yang lebih luas, meski banyak hotel yang menawarkan pemandangan Gunung Rinjani. 

Sejak naik ke Pusuk hingga turun kembali menuju Lembah Rinjani ke Sembalun, kabut begitu pekat menutupi jalan kami. Jarak pandang menjadi sangat pendek dan kami harus berhati-hati karena ada sisa longsor yang masih menutupi sedikit bahu jalan. Suasana seperti ini yang tak pernah kami dapatkan. Meski pemandangan menjadi tidak terlihat, tapi si Gendhuk sangat menyukai kabut yang katanya adalah awan. 




Kami pun sampai di Rudish sekitar pukul 17.15 WITA. Dingin masih terus menggelayut, kabut membuat hawa dingin ini makin menusuk. Jaket membungkus tubuh kami agar dingin tidak semakin menusuk kulit menembus tulang. Banyak kamar masih kosong karena memang bukan hari libur. Kami memilih bungallow yang paling ujung dekat dengan tempat parkir. 

Berjalan dari lobi yang dekat kolam renang melewati rerumputan dan sejuknya hawa pegunungan membuat hati menjadi ikut adem. Kabut masih masih menyelimuti, suasananya sungguh syahdu. Ada bebrapa orang yang sedang berenang. Informasi dari resepsionisnya, ada tiga kamar yang terisi. Dua bungallow yang disewa minta berdekatan. Jadi, hari ini benar-benar sepi pengunjung karena memang beberapa hari ini sedang terjadi cuaca ekstreem, hujan dan angin yang cukup keras. Mungkin hanya kami yang terfikir untuk berlibur ketika banyak orang memilih untuk tidak kemana-mana karena cuaca sedang tidak mendukung.

Setelah sempat memilih twin bed yang kami pikir bisa lebih besar saat disatukan karena ada dua anak, kami pun akhirnya memilih king bed karena ternyata lebih besar kasurnya. Kenyamanan anak-anak menjadi pertimbangan ketika kami melakukan perjalanan. Perjalanan di sekitar Lombok bisa menjadi pengalaman kalau nanti suatu saat ada rezeki untuk jalan-jalan ke Jawa. InsyaaAllah.




Selesai beberes di kamar, kami sengaja menunggu maghrib sebelum keluar untuk mencari semangkok bakso hangat. Sayangnya di kamar tidak ada pemanas air seperti hotel yang lain. Ukuran kamarnya pun tergolong kecil dibanding ukuran kamar dengan harga Rp 500.000,- ketika kami menginap di daerah Kuta atau Senggigi. Ukuran kamar yang hanya cukup satu king bed, satu lemari yang bersebelahan dengan meja panjang hanya tersisa space sekitar 1 meter yang free tanpa barang. Tak ada meja tambahan atau kursi di kamar tidur. Kursi kayu panjang dan satu meja bulat diletakkan di teras bungallow. 

Kami duduk di teras sambil menikmati hujan yang tidak terlalu deras. Gerimis menemani sore itu meski tanpa minuman hangat. Anak-anak asik bermain keluar masuk kamar. Mereka berdua menikmati suasana baru selain di rumah. Saya dan si Ayah duduk menikmati hujan, mereka asik bermain keluar masuk kamar. Angin membawa titik hujan membasahi tempat kami duduk sehingga kami pun menggeser sedikit kursi kami agak ke tengah agar tidak terkena hujan.

Selesai sholat maghrib, kami keluar mencari bakso hangat untuk menghangatkan tubuh. Si Ayah mengajak kami ke tukang bakso sebelah kantor. Ada cafe dan tukang bakso. Dia seperti bernostalgia dengan beberapa tempat makan di tempatnya bekerja sebelum ada kantor. 

"Dulu sepi disini, tempat makan cuma beberapa. Itupun cuma nasi bungkus Sekarang udah rame banget ini sih." 

Aku masih ingat ketika setiap malam baru bisa telfon setelah jam 9 atau setelah sholat maghrib hanya sebentar sebelum pergi ke rumah nasabah. Meski outfit kerja saat itu lebih santai dengan kaos dan kadang celana training, tapi lebih lelah karena harus keliling ke sawah, kebun dan rumah warga untuk survei dan sosialisasi. Emang do'i menikmati pekerjaanya. Apalagi sering pindah sehingga tidak bosan stag di satu tempat. 

Bakso malam itu terlihat banyak. Kami pesan 3 porsi. Untuk anak-anak cukup satu porsi berdua ditambah satu lontong. Sejak tinggal di Lombok, saya baru mengenal makan bakso ditambang dengan lontong. Mungkin ada beberapa yang merasa belum kenyang hanya dengan makan mie. Makan bakso dengan nasi memang tidak enak, tapi lontong memang lebih enak dan mengenangkan. Selain itu, kebanyakan bakso yang ada juga citarasanya disesuaikan dengan citarasa masyarakat setempat sehingga rasanya enak untuk dimakan dengan lontong.

Anak-anak lumayan lahap makan bakso malam itu. Mungkin karena sangat dingin, Kuah bakso membaut tubuh menjadi lebih hangat. Porsi bakso yang menurut saya cukup banyak itu bisa habis berdua dengan ditambah satu lontong. Bahkan si Bungsu sampai menyeruput kuahnya sampai terakhir. Dia sepertinya menikmati sekali setiap kali makan sampai si Ayah takut dia kekenyangan.

Kami kembali ke penginapan tanpa kemana-mana karena hujan. Memang kalau di Gunung, tidak ada tempat yang bisa dikunjungi pada malam hari. Kami pun sudah mengantuk jadi ingin segera tidur sedangkan si Ayah ingin makan bebek goreng yang sering dibelinya di resto penginapan ini. Dulu mereka sering makan disini. Ada beberapa tempat makan yang ingin dipesan, tapi karena hujan, dia pun memutuskan makan di penginapan saja. 

Paginya, udara dingin menusuk ke tulang. Aku dan suami duduk menikmati pemandangan pagi di Sembalun meski megahnya Gunung Rinjani terututp kabut, tapi suasana tentram dan sejuk membuat kami terpaku. Benar-benar cocok untuk melepas penat dan lelah setelah beraktifitas. Sempat si Ayah mengungkapkan rencananya membeli tanah di daerah ini dan membuat sebuah hunian nyaman yang bisa disewakan semacam villa.






Itu masih sebatas keinginan kami yang entah kapan akan terwujud atau tidak terwujud. Kami hanya merasa nyaman berada di tempat yang jauh dari hiruk pikuk. Anak-anak mulai bangun, kami pun bersiap untuk meminjam motor di kantor si Ayah yang ada di daerah ini.

Kami berniat ke kebun apel yang medannya sulit kalau menggunakan mobil. Motor menjadi kendaraan yang nyaman digunakan untuk menuju ke beberapa jalan yang sempit dan berbatu. Seorang teman menunjukkan kebun apel yang tidak terlalu jauh dari jalan. Kalau strawberry baru saja tanam, jadi tidak ada yang bisa dipetik. Si Sulung sudah pernag petik strawberry beberapa waktu yang lalu bersama teman-teman kantor si Ayah saat ke Sembalun.

Perjalanan berempat selalu menyenangkan karena santai dan tanpa rencana. Kami suka menikamti waktu berempat hanya sekedar melihat sesuatu yang baru. Kebun apel yang ditunjukkan teman pun tidak semua berbuah. Sudah ada yang habis, masih ada sebagian saja yang sudah matang bisa dipetik.

Wisata petik apel dipatok Rp. 25.000,- setiap orang dengan hanya memetik 2 apel. Anak-anak yang memang suka melihat kebun dengan buah bergelantungan sangat antusias. Hampir saja semua apel yang pendek ingin dipetiknya. Jenis apel yang ditanam di Sembalun ini lumayan manis dengan jenis Apel Manalagi. Buahnya pun besar-besar dan tidak terlalu tinggi.






















Kebun apel ini terletak di sebuah tanah yang cukup luas dengan banyak tanaman sayuran di sekitarnya. Ada penginapan pula yang dibangun oleh pemilik lahan. Ada empat kamar biasa dan satu berugak bertingkat yang kamarnya berada di atas paling sering diminati. Pemandangan perbukitan yang menjulang terlihat hijau dan menyegarkan.

Anak-anak belajar beberapa tanaman sayur seperti wortel, kentang, bawang dan masih banyak lagi. Ada tempat duduk bambu yang dibuat berjajar dan dua ayunan yang menambah syahdu suasana. Rasanya ingin duduk berlama-lama menikmati hijaunya alam dan sejuknya udara pegunungan yang mulai hangat dengan adanya sinar matahari.

Kami melanjutkan perjalanan ke pematang sawah. Memperlihatkan pada si Sulung betapa damainya tinggal di desa. Ayah menceritakan pada si Sulung kalau setiap hari ke sawah dan kebun. Udara dingin sudah menjadi teman sehari-hari dan panas terik sawah sudah menjadi sahabat ketika bekerja di tempat ini beberapa tahun silam sebelum gempa mengguncang Lombok. Persis sebelum gempa, si Ayah dipindah dari Sembalun, meski masih di Lombok Timur.

Selesai melihat sawah, kami pun berniat ke bukit yang tidak terlalu tinggi mengajak duo sholehah untuk melihat bumi Allah dari ketinggian. Sebagian kecil dari bumi Allah yang sudah kita pijak. Masih sangat luas yang kita belum tahu, itulah alah satu Keagungan Allah. Mengenal Allah dari ciptaanNya.

Bukit Selong menjadi tujuan kami karena kata si Ayah ada tangga untuk naik di bukit terendah. Kami melewati kebun bambu yang dipagar keliling di setiap gerombolnya. Katanya agar tidak dimakan sapi yang berkeliaran bebas tanpa kandang. Jalanan agak licin karena memang hujan semalaman. Cahaya matahari tidak banyak bisa masuk tertutup dengan daun bambu yang menjulang dan rapat. jalanan masih berupa bebatuan, tapi lebar.



Si Ayah sempat bingung jalan masuknya karena sepanjang jalan dipagari anyaman bambu sampai di ujung. Dulu ada jalan masuk menuju rumah adat yang terlihat sudah rusak. Ada lima rumah adat yang terlihat sudah tidak berdiri lagi. Rumah adat itu rusak sejak gempa besar mengguncang Lombok. Bebatuan yang ditumpuk hingga tinggi itu diatasnya dibuat seperro gubuk anyaman bambu dengan atap ilalang. Rumah yang kecil itu berderet rapi. Sayang semua atapnya sudah rubuh. Tidak ada yang memperbaikinya. Mungkin juga karena wisata yang belum stabil dan butuh biaya yang tidak sedikit untuk memperbaikinya persis seperti semula karena bahan pembuatnya memang sudah lapuk.





Saya berharap masih bisa diperbaiki sebagai pengimgat sejarah bagi generasi penerus kelak. Sii sulung bertanya, “Apa itu Bunda?”

“Itu rumah zaman dulu. Rumah adat sasak.”

“Kenapa nggak kayak rumah kita, Bunda?”

“Ya karena masih belum tahu, semua belajar dulu lama kelamaan jadi lebih baik. Pertama sekali dulu orang bikin rumah pakai kayu ditutup daun, tappi kalau hujan basah, buat rumah pohon trus buat lantai dari batu yang disusun tinggi kemudian lama kelamaan belajar sampai bisa buat rumah kayak sekarang. Itulah mengapa ktia harus terus belajar. Dari sulit akan jadi mudah. Bunda juga terus belajar sampai sekarang, Ndhuk.”



Kami hanya diminta membayar kontribusi sebesr Rp 10.000,- saat masuk ke Desa adat. Si bungsu digendong Ayah menaikit tangga menuju bukit terendah. Ke arah kanan ada bukit yang bisa didaki lebih tinggi, tapi kami tentu tidak memilihnya karena medannya tidak memungkinkan membawa anak-anak. Cukup memperlihatkan pada si Sulung yang sedang besar keingintahuannya.

“MasyaaAllah...”









Kami bisa melihat hamparan sawah yang sedang tidak ada tanaman karena musim penghujan yang terus menerus. Ada orang yang sedang panen jagung, ada sawah yang tanamannya rusak karena hujan berkepanjangan menyebabkan gagal panen. Beberapa petani terlihat sedang memiliah tanaman kubisnya yang sekiranya masih bisa dipanen karena banyak yang busuk.

“Kalau terlalu banyak rusak dibiarin sama petaninya. Kalau mau aja boleh milih kalau ada yang bisa dipanen, tapi sudah nggak ada harapa buat dijual.” Ayah menjelaskan pengalamannya saat banyak bergaul dengan petani karena program pemerintah.

“Inilah yang harus kita tahu, Ndhuk. Tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan, tapi tetap berprasangka baik pada Allah. Ada yang namanya ketetapan Allah. Saat petani menanam, mereka pasti ingin panen. Menikmati hasilnya dan untuk dijual, tapi ternyata hujan yang seharusnya masih beberapa bulan lagi sudah turun sangat deras tanpa henti sampai sawah jadi terlalu banyak air. Tanaman jadi banyak busuk karena terendam air. Namun, mereka ikhlas karena sudah menjadi ketetapan Allah.”

“Ooh...”

“Tapi bukan  berarti mereka diem aja, belajar dari ini, mereka menyisihkan sebagian uang saat panen sehingga ketika ada gagal panen mereka masih punya cadangan uang. Atau mereka memiliki usah alain misalnya jualan makanan, jadi tetap ada peghasilan saat gagal panen seperti ini.”

Entah mengerti atau tidak, si Gendhuk masih terpukau menikmati dirinya berada di ketinggian. Setelah melihat ke bawah, dia pun meliht deretan pegunungn yang mengelilingi tempt kami berdiri.

“Itu dinosaurus lagi tidur.” Si Ayah nyeletuk membuat ketakjuban si Gendhuk menjadi berubah bingung.

“Bukan, itu kan Bukit.”

“Bukan, itu dinosaurus t\lagi tidur tengkurep. Dinasurus itu besar nggak?”

“Iya, besar.”

“Itu dah.”

Si Gendhuk menoleh ke emaknya, “Iya Bunda? Itu Dinosaurus?”

“Nggak. Itu bukit. Ceritanya aja, pura-puranya.”

“Tuh Ayah... bukan.”

“Iya, bener itu Dinosaurus. Lihat tuh yang tajem kan kayak punggung Dinosaurus., iya kan?”

Si Sulung masih terus berimajinasi dengan si Ayah sampai kami diajak ke kaki lembah terdekat. Mereka bercerita tentang Dinosaurus yang terbangun pada malam hari mencari makan. namun, ternyata hawa dingin membuat perut kami terasa lapar. Kami pun kembali ke penginapan untuk mendapatka sarapan pagi di penginapan.

Si Sulung meminta untuk berenang meski sudah emak peringatkan kalau dingin. Namun, anak-anak tak akan puas sebelum mencoba. Dia pun akhirnya memberanikan diri berendam di kolam renang di tengah dinginnya udara yang matahari pun malu untuk memunculkan sinarnya. Baru sebentar, dia naik untuk minum susu hangat yang sudah tersedia sambil makan nasi goreng.

Si adek ingin ikut main air. Dia hanya maka sereal dan susu hangat, tapi tidak mau makan. Selesai sarapan, Ayah membawanya berenang sedangkan si Sulung sudah tidka mau karena kedinginan. Dia pun meminta kembali ke kamar untuk mandi air hangat lalu berganti baju. Si adek belum mau karena masih asik main air. Namun, Ayah ternyata juga kedinginan jadi kami sedikit memaksanya kembali ke kamar.

Selesai mandi air hangat, minyak kayu putih dibalurkan ke seluruh badan agar hangat. Si Sulung sudah langsung memakai jaket lalu main sedangkan si Bungsu masih kedinginan sambil makan mie goreng yang dipesan. Setelah kenyang, kaos kaki terpasang dan jaket terpasang, si Bungsu tidur di pelukan Bunda. Bahkan sampai kami check out dia masih pulas tertidur. Nyenyak memang tidur saat dingin.

Liburan kami pun usai. Setelah ini, kami bolak-balik mengurus sebuah rumah kecil yang kami bangun di dekat kantor Ayah. Sebuah investasi yang memang rencananya akan kami jadikan sebagai bisnis agar bisa memutar uang. Nantikan di cerita kami selanjutnya J

  

 


Comments