Perjalanan dan Pelajaran







 Hujan, angin dna panas datang silih berganti menandai musim pancaroba. Hujan terjadi tiba-tiba berbarengan dengan angin kencang. Saya dan anak-anak tidak bisa kemana-mana karena cuaca sedang tidak memungkinkan. Si Sulung bosan karena tidak bisa keluar main. Kami pun memutuskan untuk ke Lombok Timur menggunakan angkutan umum. 

Ayah yang sedang dinas di Lombok Timur cukup sibuk sehingga tidak bisa pulang. Biasanya, seminggu pulang dua kali kalau tidak sibuk. Kali ini akhir bulan sehingga tidak bisa pulang. Si sulung merengek ingin ke rumah Uti, orang tua saya yang ada di Lombok Timur. Kami pun baru membangun sebuah rumah kecil untuk tempat tinggal sementara di Selong. Tempat tinggal Utinya anak-anak dan rumah yang kami bangun memang tidak dekat sekali karena rumah yang kami bangun dekat dengan kantor suami di sebuah perumahan.

"Bunda, ayo ke Lombok Timur."

"Mau naik engkel?"

"Mau."

"Bilang Ayah dulu."

Si Ayah memperbolehkan kami ke Lombok Timur dengan angkutan umum yang dulu sering kami gunakan saat si Sulung masih kecil. Saya dan Nada sering ke Lombok Timur dengan angkutan umum saat si Ayah tidak bisa mengantar. Setelah lama tidak menggunaan angkutan umum, sebenarnya sedikit ragu untuk kembali menggunakannya di masa pandemi seperti ini dan harus membawa dua anak. 

Namun, karena memang sudah lama menjanjikan si Sulung akan ke Lombok Timur minggu ini, akhirnya kami pun berangkat. Dari rumah, kami diantar seorang tetangga tempat kami menitipkan motor. Beliau khawatir saya naik angkutan umum bersama dua anak. Namun, saya menegaskan kalau saya pasti bisa. Toh kalau siang pasti tidak terlalu ramai.

Sejak kredit motor menjadi lebih mudah dengan uang muka yang kecil, banyak orang memilih membeli motor dibanding menggunanak angkutan umum karena tidak banyak angkutan umum yang bisa menjangkau ke pelosok. Ojek menjadi pilihan karena cidomo pun sekarang semakin sedikit. Cidomo banyak berada di pasar pada pagi hari dan sudah bukan menjadi transportasi umum seperti dulu lagi. 

Motor menjadi pilihan karena dirasa lebih cepat dan bisa menjangkau ke lebih banyak tempat. Beberapa desa memang terletak agak jauh dengan jalan setapak sempit sehingga motor menjadi alat transportasi yang dirasa lebih pas untuk membawa mereka sampai ke tempat yang jauh dari jalan raya. Meski harga ojek lebih mahal, tapi lebih cepat dan keterjankauan ke daerah dengan jalan sempit membuatnya lebih diminati dibanding cidomo yang hanya digunakan di pasar pada pagi hari.

Setelah sholat dzuhur, kami berangkat dari rumah. Membawa dua anak berumur 6 tahun dan 2 tahun ditambah satu tas baju dan satu tas perlengkapan dan makanan ringan ternyata cukup terlihat repot bagi orang yang melihatnya. Saya pernah lebih repot membawa banyak barang saat si Sulung masih sangat kecil dulu, tapi tetap bisa melakukannya. Sekarang si Sulung sudah bisa membawakan satu tas ringan sehingga sudah bisa lebih nyaman dibanding dulu.

Benar saja, angkutan umum yang kami naiki masih kosong. Meski jauh dari tempat berhenti mencari penumpang, tapi beberapa kali berhenti untuk mencari penumpang. Setelah kami, ada satu keluarga seperti kami yang menaikinya dan satu orang lelaki paruh baya yang duduk di samping sopir. Hanya ada kami sampai di Masbagik, Lombok Timur. Biasanya mereka sudah langsung pulang karena kebayakan angkutan umum yang banyak disebut engkel ini milik orang Lombok Timur.

Angkutan umum dengan bentuk mini bus dengan bahan bakar solar itu seharusnya bisa muat sampai 16 orang kalau penuh. Biasanya saat pagi hari menjadi saat yang paling banyak penumpang. Pedagang dari Lombok Timur yang berdagang di Mataram yang memenuhi angkutan umum ba'da Subuh. Sebuah baskom besar dari anyaman bambu menjadi tempat menaruh dagangan.

Keluar dari daerahnya untuk berdagang mencari rezeki, bukan hanya orang muda tapi juga mereka yang lanjut usia. Menghindari dari meminta-minta dan tidak merepotkan mereka yang pernah menjadi tanggung jawab mereka. Mereka yang mengajarkan untuk tetap berjuang di usia senja tanpa mengeluh. Mereka yang mengajarkan kalau rezeki datang dari arah mana saja bagi yang tetap mau berusaha dan bertawakal. Mereka yang mengajarkan mencari nafkah adalah bagian dari ibadah untuk mencari rezeki halal dan berkah untuk menyambung hidup. 

Kadang saya merasa malu melihat mereka yang semangat berjuang sedang kami masih sering mengeluh. Mereka yang sudah tidak muda lagi tetap bisa optimis pada rezeki dan berkah dariNya karena Allah sudah mengatur rezeki setiap orang. 

Saya selalu suka suasana naik angkutan umum. Bisa melihat berbagai macam keadaan dan kadang ada teman cerita tentang banyak hal. Dulu saat sering naik engkel, saya bertemu dengan berbagai macam orang. Kebanyakan memang pedagang yang pergi atau pulang dari pasar. Kebanyakan dari mereka adalah seorang ibu. Mereka yang membantu suami mencari nafkah untuk mendapatkan rezeki halal dengan menjual apa yang mereka panen dari kebun mereka sendiri. Pulang membawa hasil jualan adalah kebahagiaan tersendiri bagi mereka. 

Ada pula beberapa pedangang yang berasal dari Jawa yang biasa keliling jalan kaki ke kampung-kampung untuk menawarkan dagangannya kalau di pasar masih kurang banyak laku. Mereka memberikan keringanan dengan memberikan kredit pada pembeli dengan membayar bulan depan atau memperbolehkan membayar bertahap untuk meringankan. Yang penting barang yang mereka perdagangkan bisa laku.

Banyak perantau yang datang dari Jawa yang tinggal di Pulau Lombok. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai penjual jamu, jual cilok, jual bakso dan pedagang keliling berupa sprei, baju ataupun sandal sepatu. Mereka yang gigih dan tak kenal menyerah memang benar bisa berhasil bahkan menyekolahkan anak-anaknya di Jawa sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tak ada yang tak mungkin saat kita yakin. Tak ada yang tak mungkin karena ada Allah.

Pernah juga saya bersama seorang kakek yang membawa cucunya yang memiliki kelainan untuk berobat. Cucunya itu sudah tidak kecil lagi, mungkin sudah berumur 6-7 tahunan saat itu saat saya masih sering naik engkel bersama si Sulung. Beliau kuat menggendong cucu yang katanya ditinggalkan orang tuanya bekerja. Dia mengalami ketidaknormalan yang membuatnya tak bisa berjalan dan bermain seperti anak yang lain. Fungsi koordinasinya tidak berjalan baik sehingga anggota geraknya tidak bisa berfungsi dengan baik. Kakinya tidak kuat untuk berjalan sedangkan tangannya masih mampu untuk sekedar memegang.

Katanya, beberapa kali dia harus ke dokter untuk pengobatan, tapi dia pun mencoba memijat di bebrapa tempat berharap kesembuhan cucunya. Berharap cucunya bisa sembuh seperti anak-anak lain yang bisa menikmati masa kanak-kanak mereka. Beberapa orang secara spontan memberikan uang transport pada kakek itu meski kakek itu tak pernah berniat meminta-minta. Itulah yang selalu membuat saya trenyuh. Di angkutan umum ini, banyak hal yang bisa saya pelajari. Mereka yang berempati bahkan pada orang yang tak mereka kenal. Supir angkutan pun memberikan kebebasan membayar pada kakek itu, tapi dia tidak mau. Dia tetap membayar sesuai tarif yang berlaku. Dia tidak ingin dikasihani dan malu saat diberi. MasyaaAllah.... Tak ada keluh kesah. Dia hanya berharap kesembuhan buah hatinya. Orang tuanya mencari uang, dia yang suka rela mengasuh dan mencari penyembuhan.

Hanya sekali itu saja selama sering naik angkutan umum saya bertemu kakek itu meski katanya supir angkutan memang dia rajin membawa cucunya berobat pijat ke tempat yang sama untuk mendapatkan kesembuhan. Saya memang tidak sering naik angkutan karena kadang diantar Ayahnya anak-anak. Namun, moment naik angkutan umum adalah moment yang selalu saya rindukan. Sejak sekolah saya terbiasa naik angkutan umum sampai kuliah. 

Saat inilah biasanya saat saya charge optimis, charga motivasi dan charge iman. Saat inilah gelombang energi syukur mampu mengisi relung hati, gelombang energi semangat mengisi lubuk pasif dan iman mengalir deras memenuhi hati dan fikiran. Bertemu orang-orang seperti mereka adalah anugerah untukku terus mengingat dan semangat. Saya selalu suka naik angkutan umum karena banyak pelajaran berharga yang bisa saya dapatkan tanpa harus berkata-kata.


Comments