Weekend, Pagi dan Pantai




Seperti weekend yang lain, kami selalu berusaha memanfaatkan untuk keluar meski hanya sekedar ke pantai terdekat. Sudah lama anak-anak tidak ke pantai karena demam, batuk dan pilek. Kami beberapa minggu ini hanya di rumah saja.

Hari ini pun kami akhirnya memutuskan untuk ke pantai setelah Sholat Subuh. Menyambut pagi menikmati deburan ombak pantai dengan angin pantai yang menyejukkan. Kami memilih pantai di dekat rumah saja, masih di kota Mataram. Meski tidak pasir putih ataupun airnya biru, tapi cukup untuk menikmati suasananya. Bila ingin melihat pantai yang lebih bagus, kami pun bisa ke deretan Pantai Senggigi yang sedikit lebih jauh. Hanya sekitar 30 menit dari rumah atau di deretan Pantai Lombok Selatan Kawasan Kuta Mandalika yang sedang dibangun sircuit MOTO GP memang pantainya sangat indah.

Takkan bisa mendapatkan sunrise kalau harus ke pantai yang jauh karena bawa dua anak dan saya harus membawa bekal makanan dari rumah. Begini ternyata punya anak ya, emak harus sedia bekal kemanapun dan dimanapun. Jam makan anak-anak harus teratur sedangkan orang tua bisa kapan saja dan dimana saja. Namun, karena pagi, saya membawa lebih banyak bekal untuk kami semua sarapan di pinggir pantai.

Seperti biasa, yang ribet selalu emak. Ayah main sama anak-anak, mandi dan jalan. Emak ribet dengan masakan, nyapu sedikit dan beberes yang kelihatan. Si Ayah Cuma bilang, “Nanti aja pulangnya diberesin.”

Jiwa emak-emakku meraung-raung dong ya mendengar kalimat itu. Maunya pulang dari manapun rumah udah kinclong, semua beres, anak beres jadi tinggal gelar kasur trus rebahan. But thats impossible kalau melihat keadaan rumah yang belum beres sepenuhnya dan jemuran kemarin belum terjemur karena hujan seharian. Namun, demi anak-anak yang udah dari kemarin merengek mau ke pantai, emak pun harus rela kepikira jemuran daripada jemur duluan dan makin panas kalau ke pantai.

Hanya butuh waktu tidak lebih dari 10 menit dari Pagutan, kami sampai di dua pantai yang berderet di daerah Lingkar Selatan yaitu Pantai Gading dan Pantai Mapak Indah. Kami memilih Pantai Mapak Indah karena pernah sebelumnya kesana dan ada tempat melihat penyu di dalam bak besar dibuat seperti kolam. Anak-anak suka melihatnya. Tempat bilasnya pun bersih dan lebih rapi sedangkan Pantai Gading lebih biasa dengan beberapa penjual ikan dan minuman yang membuat warung dari anyaman bambu. Kami belum pernah bertemu penjual di Pantai Mapak karena selalu pagi hari saat kesini.

Kali ini Pantai ini sudah jauh berbeda. Pantai yang saat itu masih biasa saja dan apa adanya sudah disulap menjadi semi cafe. Berderet tempat makan yang dibuat bersekat-sekat dengan jalan yang rapi dan suasana yang lebih tertata. Kata penjaganya, sore hari baru mulai ramai karena warungnya baru buka di sore hari. Sudah terbayang bagaimana suasana malamnya yang dibuat nyaman untuk menikmati angin pantai di redupnya temaram.

Kami sudah pernah merasakannya jadi sekarang bukan lagi nyaman bagi kami untuk menikamti pantai di malam hari apalagi anak-anak masih terlalu kecil. Mereka akan sibuk berlarian kesana kemari dan kami sulit untuk mengontrolnya kalau banyak pengunjung dan hanya bergantung dengan cahaya lampu. Pagi menjadi saat paling menyenangkan membawa mereka bermain pasir pantai dan menikmati ombak yang berdebur membasahi kaki.






Pagi ini, angin cukup keras. Berita terakhir memang ombak dan angin laut sedang besar, tak heran kalau ombak yang biasa tenang dan landai kini berubah menjadi besar dan menggelegar. Kami memutuskan tidak memperbolehkan anak-anak bermain air. Mereka hanya boleh bermain pasir di salah satu lapak tempat duduk yang masih tutup.

Masing-masing tempat memiliki ke khas an dekorasi. Ada yang bertema anjungan kapal, ada yang dibuat seperti bangku panjang di balkon dan ada juga yang membuat berugak dengan tirai sehingga terlihat lebih romantis. Semua memiliki cara tersendiri memikat kenyamanan pengunjung dengan suasana yang romantis dan instagramabel. Tentu ini penting di era sosial media ketika semua yang kita lakukan bisa menjadi story. But, not for me. Saya lebih sering tidak punya waktu membagikan story karena sibuk dengan duo krucil yang tidak boleh lepas dari pengawasan.

Hampir semua menggunakan beanbag anti air untuk duduk dengan warna yang cerah dan memikat. Lampu kecil bergelantungan, sudah terbayang bagaiaman suasana malamnya di tempat ini. Anak-anak bermain pasir sambil saya suapi. Mereka terlihat senang meski awalnya benar-benar ingin bermain air sampai basah. Meski demikian, mereka tetap menikmatinya karena bisa bermain dengan lebih leluasa karena tidak banyak pengunjung. Kebanyakan mereka sedang berolahraga pagi lalu sarapan di sini kemudian pulang.

Biasanya saat pagi di pesisir banyak nelayan yang pulang melaut membawa hasil tangkapannya. Banyak pedagang ikan yang membeli dan kami pun bisa langsung membelinya. Pagi ini tidak ada kami temukan perahu nelayan yang bersandar. Mungkin sudah tidak digunakan untuk bersandar perahu nelayan karena sudah dibuat cafe atau karena peringatan cuaca buruk membuat banyak nelayan tidak bisa melaut, kami tidak tahu pasti. Yang pasti, saat cuaca buruk seperti ini harga ikan akan naik karena tidak banyak ikan yang bisa dijual.

Berbeda saat tinggal di Ambarawa dulu, kami sangat jarang bisa ke pantai. Lereng gunung dan taman menjadi tempat yang sering kami kunjungi. Butuh waktu berjam-jam utnuk bisa sampai ke pantai yang terkadang harus drama muntah karena jalannya yang berlika-liku. Untungnya kami sudah terbiasa dengan berbagai medan karena Bapak sering mengajak kami berjalan-jalan ke berbagai tempat dengan angkutan umum dengan berbagai medan. Kami sungguh sudah terbiasa dengan berbagai macam medan perjalanan dan tidak mudah mabuk kendaraan.

Udara dingin yang kadang berkabut yang dulu sering kami rasakan di Ambarawa harus berubah menjadi hawa panas angin pantai di siang hari. Meski awalnya merasa kepanasan, tapi akhirnya memang sudah terbiasa. Rasanya bahagia kalau bertemu udara sejuk yang tidur tidak perlu menggunakan AC dan bisa selimutan.

Saya bersyukur hidup di beberapa tempat yang berbeda, mengambil hikmah dari beberapa tempat yang pernah kami tinggali. Mulai dari Jombang, masa TK saat Bapak proyek disana kami tinggal di Kompleks kemudian berpindah ke Ambarawa yang masih desa lalu saat lulus kuliah kami pindah ke Masbagik. Setelah menikah, aku kembali tinggal di kompleks perumahan di Kota.

Banyak hal yang terjadi, mulai dari yang pahit hingga yang manis. Bertemu dengan berbagai macam latar belakang orang, lingkungan dan suasana lingkungan yang berbeda membuat banyak pengalaman yang mencoba untuk diambil hikmahnya. Tidak mudah heran dan kaget dengan banyak hal yang menyenangkan ataupun menyedihkan. Berusaha untuk menyikapinya dengan sewajarnya dan ingat kalau ini adlaah ujian dariNya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments