Cerita Menyapih dan Lepas Diapers Mbak Nada dan Adek Melody

Minggu ini, ada banyak kejadian yang membuatku merasa kalau menjadi ibu itu memang harus siap dengan berbagai macam konsekuensi yang tak terduga. Benar kalau menjadi ibu memang harus siap mental dan siap emosi. Banyak sekali hal tak terduga yang menyulut emosi kalau tidak dilihat dari sisi yang lain.

Awal tahun ini kuawali memulai resolusi minim sampah dengan melepas ketergantungan diapers bagi si bungsu yang sudah berumur 2 tahun 4 bulan. Dulu si sulung 2 tahun sudah bisa lepas diapers langsung bahkan saat tidur siang sampai beberapa kali mengompol. Si bungsu saya coba dengan cara yang berbeda dari mulai menyapih ASI hingga melepas diapers. Beda karakter anak, beda perlakuan, beda usia ibu, beda kesibukan ibu dan beda emosi ibu adalah faktor yang mempengaruhi bagaimana pengambilan keputusannya.

Saat si Mbak, umur dua tahun kurang sebulan sudah lepas ASI dan pas umur 2 tahun lepas diapers tepat saat kami memutuskan untuk mandiri. Sebelumnya kami tinggal di rumah orang tua dari Ayahnya anak-anak. Tantrum si Mbak menjadi-jadi saat itu. Siang dan malam menangis hingga satu jam lebih dengan sangat emosional. Saya sampai menangis karena tidak tahu harus bagaimana. Tengah malam pun selalu menangis seperti bermimpi dan sulit untuk ditenangkan. Saat itu saya dan suami juga belum memiliki management emosi yang baik dan masih saling mencari tahu bagaimana mengerti satu sama lain. Dia menyalahkanku setiap kali hal buruk terjadi pada anak-anak dan aku pun merasa insecure.

Belajar dari perjalanan tumbuh kembang si Sulung, akhirnya saya tahu bagaimana menenangkan anak-anak. Saat orang tua tenang dan bahagia, mereka pun bisa merasakannya dan menjadi lebih tenang. Selalu ada masa mereka marah, kecewa, menangis, sedih, tapi reaksinya tidak berlebihan karena saya sudah bisa mengontrol diri saya sendiri sehingga bisa menenangkan mereka dengan cara saya. Saya pun mencoba mengenalkan macam-macam emosi pada mereka dan bagaimana cara menyikapinya. Meski tidak mudah, tapi saya terus mencoba dan menemukan cara saya sendiri. 

Si adek sudah mulai memegang beberapa ilmu, tapi tetap terus belajar. Masing-masing anak memiliki keunikan masing-masing jadi saya pun percaya orang tua yang mau belajar akan mengerti bagaimana bisa saling memahami. Bukan satu pihak saja, tapi dua pihak dan bisa membuat cara yang nyaman untuk kami. Lepas ASI si adek tanpa drama ngamuk seperti Mbak yang ngamuk karena puting saya balur dengan minyak kayu putih. Ngamuk hanya dua hari semalam, selanjutnya malamnya di tengah tidur gelisah dan digendong saat gelisah, tak sampai seminggu sudah aman. Nah, kalau si adek yang sudah di sounding sejak belum dua tahun kalau akan segera berhenti ASI, semakin semangat menyusu. Dia bersikap seperti harus puas menyusu sebelum berhenti. Sempat puting susu saya tempel dengan daun pepaya yang sudah dicuci air panas kemudian ditempel. Saat melihat puting kotor, dia tidak mau. Saya menggantinya setelah beberapa jam. Berhasil tanpa ngamuk sehari semalam, tapi esoknya, pas buka daunnya banyak rontok. Dibersihkanlah olehnya. Lalu, setelah bersih, dia pun menyusu sambil bilang, "Udah nggak kotor".

Gagal lah cara pertama, selanjutnya saya sounding kembali kalau satu minggu lagi dia akan genap berumur 2 tahun.

"Allah cuma kasih adek mimik Bunda sampai 2 tahun, habis itu adek harus bisa minum pakai gelas, ya?"

Meski seperti tidak peduli, tapi saya tahu dia mengerti. Saat mendekati hari ulang tahunnya, saya coba tidak memberinya ASI dengan alasan yang terus saya ulang. Tanpa ngamuk, dia minta gendong saat akan tidur dan agak galau di tengah tidur yang biasa minta ASI. Namun, tak serewel kakaknya yang bisa terbangun menangis. Namun, saat itulah dia terkadang tantrum saat apa yang diinginkan tidak dituruti seperti ingin mainan atau es. Menangisnya lumayan lama dan tidak mau disentuh. Saat sudah mau disentuh, saat itulah dia sudah mulai mereda emosinya. Saat itu kadang digunakannya untuk merengek minta menyusu, tapi saya yang sebenarnya kasihan tetap mencoba konsisten. Kunci utama ada pada konsistensiku. Tantrumnya berangsur berkurang dan dia sudah mulai bisa beradaptasi dengan keadaan yang baru. Sudah tidak menyusu lagi.

Selanjutnya adalah lepas diapers yang masih berat saya lakukan. Dulu saat baru satu anak, saya mantab segera lepas karena masih sanggup untuk cuci saat dia belum terbiasa, tapi saat sudah dua anak dan masih harus mendampingi belajar online rasanya sedikit sulit. Apalagi saya tidak menggunakan jasa ART. Kami mencoba untuk mengajarkan anak-anak untuk bekerjasama dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Membangun kedekatan dengan anak-anak dan membiasakan pada mereka untuk mandiri karena saya tak bisa menyelesaikan semua yang mereka inginkan. 

Seperti saat lepas ASI, saya pun sudah jauh-jauh hari sounding ke si adek untuk bilang sebelum buang air kecil atau buang air besar, lalu melepas celana, masuk kamar mandi, barulah buang hajat di kamar mandi atau kloset. Dia pun sudah melihat si Mbak yang sudah bisa melakukannya dan membersihkan dirinya sendiri tanpa bantuan saya. Tentu tidak serta merta dia bisa melakukannya. Si kakak butuh waktu dua mingguan bisa bilang mau buang air di kamar mandi. Minggu pertama ngompol sembarang tempat, minggu kedua kalau mau pipis keluar rumah dan minggu ketiga seterusnya aman. Si adek saya coba lepas diapers saat bangun tidur sampai menjelang tidur siang. Saat tidur pakai diapers, bangun tidur lepas lagi sampai mandi sore. Setelah itu pakai diapers sampai pagi bangun tidur. Setelah seminggu, saya stop karena sempat batuk pilek jadi full diapers kembali sekitar seminggu karena dia rewel minta gendong terus jadi saya tidak bisa leluasa mencuci celana yang basah. Saat sudah mulai mendingan batuk dan flu nya, kembali saya lepas pakai dan alhamdulillah dia sudah mulai bisa bilang mau ke kamar mandi dengan melepas celana terlebih dahulu. Buang air besar dan buang air kecil sudah bisa bilang. Tinggal saat tidur saja mengenakan diapers.

Menjadi ibu tidak pernah berhenti belajar. Sama seperti proses tumbuh kembang anak-anak yang harus terus beradaptasi dengan umur baru, kebiasaan baru, cara yang baru menjadi lebih dewasa dan lebih mandiri. Kami sebagai orang tua juga harus terus belajar menjadi lebih baik, belajar mengerti dan memahami, belajar mengelola emosi dan belajar mengesampingkan ego kami. Tanpa sadar, sering kami egois pada anak-anak yang harus seperti yang kami inginkan karena kami merasa tahu yang terbaik untuk mereka. Kami merasa dengan membandingkan adalah cara terbaik untuk mengukur kehebatan anak kami, padahal tolok ukurnya sangat banyak dan membandingkan bukan dengan orang lain, tapi dengan kemampuan dan kemauan anak itu sendiri. Fokus pada kemampuannya, keinginan dan kemauannya, temukan formulasi yang tepat dan terus bertumbuh bersama. Sejatinya, kami pun banyak belajar dari mereka yang menjadi titipanNya.

Semangat bertumbuh Buibu, meski semakin belajar semakin merasa insecure karena ketidaksempurnaan, tapi yakinkah kita bisa menjadi lebih baik. Allah tahu kadar kemampuan kita dan terus berusaha itulah kuncinya. Semoga bermanfaat :)



Comments