Penghujung Tahun, Pandemi dan Introspeksi

 Bagaimana tahun ini? Tentu banyak cerita yang sudah terjadi ya, kan? Yang tentu dirasakan semua orang adalah pandemi yang sampai saat ini belum berakhir. Banyak cerita karena pandemi, banyak rasa karena pandemi, banyak hikmah karena pandemi. 

Mungkin di awal tahun, banyak yang sudah merencanakan banyak hal di tahun ini. Resolusi yang mugkin belum tercapai di tahun sebelumnya ataupun resolusi baru yang sedang diusahakan. Ada yang sudah tercapai? Ada yang belum tercapai, tapi masih progress? Ada yang sudah tercapai bahkan tanpa disadari? Bahkan juga ada yang harus merelakan karena harus gagal di awal ataupun di tengah jalan? 

Banyak cerita, banyak rasa dan tentu banyak pelajaran. Setiap langkah kehidupan adalah pelajaran. Setiap apa yang kita alami adalah pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Meski mungkin ada yang belum tercapai atau bahkan memulai pun belum karena banyak hal, mungkin juga karena pandemi. Namun, syukru harus tetap terpanjat. Syukur harus menduduki tempat yang pertama dipanjatkan dalam doa sebelum meminta. Syukur akan membuatmu menjadi lebih nyaman dan tenang.

Tahun ini, kami banyak berencana. Berharap Bapak bisa memiliki usaha sendiri di Lombok, berhenti proyek ke luar pulau dan kami bisa berdektan. Qodarullah, pandemi ini banyak usaha yang harus rela terhambat, ada beberapa juga yang justru mendapatkan banyak berkah. Jadi bahkan sebelum mulai, kami harus rela bersabar untuk kembali mencari peluang usaha sambil Bapak masih harus menyelesaikan proyek di Manado di umur yang sudah masuk kepala 6. Alhamdulillah masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk bisa tetap beribadah dan berbuat baik.

Aku dan suami yang berencana ingin ke Jawa mengunjungi beberapa keluarga yang sejak menikah belum pernah berkunjung akhirnya harus memupuskan harapan. Suami yang tahun ini mendapatkan cuti besar harus merangkap beberapa pekerjaan karena kekuarangan pegawai. Pekerjaan menumpuk dan tidak bisa bahkan untuk cuti istirahat di rumah. 

Alhamdulillah masih diberikan pekerjaan yang bisa untuk menafkahi keluarga. Alhamdulillah masih diberikan kesehatan meski beberapa kali terserang flu dan takut merupakan indikasi covid. Beberapa kali harus rapid test karena semapt kantor tempatnya bekerja banyak yang terjangkit dan takut pulang.

Sore itu, grup ibu-ibu teman sekantor suami heboh dengan cerita salah seorang teman kantor yang rapid test nya reaktif. Dia akan ada promosi jabatan ke Bima dan harus melakukan rapid test sebelum keberangkatan ke pulau sebrang. Dua kali rapid, hasilnya semua reaktif dan beritanya tersebar di seluruh kantor. Paginya, mereka baru saja foto bersama dan perpisahan di kantor. Tentu ada yang berjabat tangan, ada yang berpelukan ataupun foto bersebelahan tanpa masker dong. Saat di kantor, sering mereka terlihat menaruh masker di dagu karena sulit bernafas kalau harus terus bermasker selama bekerja di dalam ruangan. 

Sore itu, berita hasil reaktif tersebar. Kami punya grup piknik yang hanya terdiri dari 5 keluarga teman suami. Kami membuat grup wa untuk ibu-ibu untuk bisa berkoordinasi acara piknik bersama dan kami pun menjadi bersahabat. Sore itu kami heboh dengan berita salah seorang teman kantor suami rapid testnya reaktif. Tiga diantara kami suaminya berada satu kantor sedangkan Ayahnya anak-anak dan salah seorang lagi tidak di kantor Mataram. Suami sedang dinas di kantor Selong Lombok Timur dan satu lagi di kantor Praya, Lombok Tengah. Namun, aku ingat pagi ini dia ke kantor cabang terlebih dahulu untuk pertemuan.

Beberapa kali wa dariku dibalas dengan santai olehnya. Sepertinya dia tidak khawatir. Sampai di rumah, sebelum masuk rumah, interogasi berlangsung dengan sedikit khawatir.

"Kok santai sih? katanya Apip reaktif?"

"Iya, saya kan tadi habis rapat langsung ke timur," jawabnya santai tanpa rasa khawatir. Aku sedikit lega, tapi masih ada sebersit khawatir.

"Nggak ikut fotoan?"

"Nggak sempet lah, bawa berkas banyak."

Do'i cuek aja sambil mengeluarkan tasnya dari dalam mobil. Mencuci tangan, kaki dan mukanya. Kuikuti tanpa berani tersentuh olehnya. Untungnya anak-anak sudah tidur, saya pun bisa lebih leluasa menginterogasi suami tanpa khawatir anak-anak gelendotan sama ayahnya. Dia mandi, kubuatkan segelas teh panas seperti biasa. Katanya sudah makan, jadi tak kubuatkan makan malam.

Selesai mandi, berganti pakaian, aku masih belum berani bersinggungan. Do'i dengan santainya menyolek dan menakut-nakutiku. Saat itu memang tingakt kekhawatiran terhadap covid masih tinggi, apalagi mertua memiliki penyakit kronis. Kami harus lebih berhati-hati karena harus tetap mengunjungi beliau sedangkan suami tetap bekerja tanpa WFH. Ternayata memang dia tidak banyak bersinggunga dengan orang yang kami bicarakan. Aktifitasnya banyak di lotim dan tidak sempat berjabat tangan karena terburu-buru. 

Memang beberapa kali hasil rapidnya reaktif, tapi hasil swabnya negatif. Menurut cerita, beliau konsultasi ke dokter yang mengatakan bahwa sepertinya sempat terjangkit. Namun, daya tahan tubuhnya  bagus jadi sudah bisa sembuh sendiri tanpa gejala. Inilah yang disebut dengan OTG yang mungkin banyak diluaran tanpa kita ketahui. Tanpa alasan keluar daerah, mungkin dia tak pernah tahu kalau pernah terjangkit karena tidak ada riwayat berinteraksi dengan pasien terjangkit.

Satu dua bulan berlalu, sudah sedikit lebih tenang, ada lagi kasus seorang teman kantor terjangkit dan harus dirawat di RS. Beliau memang sudah agak lama sakit, tapi masih masuk kantor. Saat ada kegiatan dari kementrian, beliau sering satu mobil dengan suami. Kasusnya hampir sama, beliau promosi jabatan ke laur pulau yang mengharuskan rapid yang hasilnya reaktif, akhirnya swab yang hasilnya positif juga. 

Setelah itu, seluruh rekan kantor dan teman berkegiatan di acara kementrian harus rapid. Saat itulah suami benar-benar khawatir. Pasalnya, setelah acara itu, dia pun kecapekan dan flu. Memang kalau terlalu capek, do'i mudah sekali flu dan batuk. Dari hasil pemeriksaan kesehatan tahunan dari kantor, memang ada gejala sinus. Setahuku, sinus akan membuat sering pusing dan daya tahan tubuh juga lebih rentan. Dia pun sering terkena flu, tapi tidak menular pada kami.

Beberapa kali dia menghubungiku, mengabarkan akan rapid tes dan takut karena kondisinya sedang tidak fit. Dia pun beberapa kali menceritakan kekhawatirannya, saya berusaha menenangkan. Bahkan, dia berniat tidak pulang sampai harsil rapid keluar, tapi aku bilang kalau bisa tidur di kamar sebelah karena anak-anak sudah tidur. Tidak perlu terlalu khawatir, aku pun malam itu tidak khawatir. Hanya berusaha tenang dan berhusnudzon sambil terus berdoa. Tak tega rasanya membiarkannya tidur di rumah orang atau di kantor yang belum tentu justru aman untuk terhindar dari virus.

Kutunggu keputusannya sampai tengah malam. Ia masih di kantor, bimbang antara pulang dan menginap di rumah teman yang istrinya sedang di luar kota. Aku masih memberikan pilihan untuk pulang dan akhirnya ia pun pulang. berusaha menjauh dariku, mandi air panas, minum minuman yang hangat lalu tidur. Melihat anak-anak tanpa berani memegang. Malam itu, rasanya kami seperti mengerti rasanya mereka yang terjangkit harus menjaga jarak dengan keluarga. Kami merasakan kekhawatiran yang banyak orang rasakan. Namun, aku tetap beresrah padaNya. Apapun hasilnya, aku pun akan menerimanya.

Paginya, suami sama sekali tak berani bersentuhan dengan anak-anak. Bangun tidur, dia pun mandi langsung pergi ke lapangan futsal. Olahraga rutin setiap minggunya. Anak-anak bingung, tapi kucoba menjelaskan Ayah sedang sibuk. Tak lama, ponselku berdering.

-Alhamdulillah, saya aman-

Syukur tak terhingga saat kami menerima kabar itu. Suami segera pulang nggak pake nongkrong dulu selesai futsal, kembali memeluk dan bermain dengan anak-anak. 

Bahagia itu sederhana kan, ya? Hanya bisa memeluk dan duduk bersama anak-anak pun jadi terasa sangat mahal disaat pandemi seperti ini. Berkumpul tanpa kekhawatiran, bercengkrama dan berkumpul bersama keluarga. Sekarang, ini semua terasa begitu berharga saat banyak orang harus rela lama tak bertemu keluarga, ada yang tak berani berjumpa keluarga, takut menularkan virus dan ada juga yang sedang berjuang melawan virus demi bisa kembali berkumpul bersama keluarga tercinta.

Tentu pandemi ini membawa banyak hikmah untuk hidup sehat, pola hidup dan pola makan sehat, lebih dekat dengan keluarga, lebih banyak dirumah dan introspeksi diri, mengurangi berbelanja barang tidak perlu, berempati pada mereka yang terdampak sehingga usahanya menjadi gulung tikar dan tentu banyak hikmah yang bsia kita petik saat kita melihat dari banyak sisi. Banyak hal yang terjadi, tentu banyak pembelajaran yang bisa dipetik. Jangan lihat akibat buruknya, lihatlah hikmahnya, cari peluangnya dan cobalah berdiri dengan apa yang kita miliki.

Banyak orang yang justru bisa lebih kreatif dan produktif selama pandemi, tapi ada juga yang hanya bisa mengharap belas kasihan orang lain. Terlepas dari itu, mari bersama optimis untuk bangkit. InsyaAllah tahun depan bisa menjadi lebib baik.

Sudah siapkah dengan resolusi tahun depan? Siap kembali berdiri bahkan berlari di tahun depan untuk mewujdkan cita dan asamu? Yakin bisa. Bismillah..... InsyaAllah tahun depan lebih bermafaat untuk lebih banyak orang.





Comments