Berubah jadi lebih baik

Ternyata aku belum pernah cerita tentang pengalaman jadi ibu dua anak ya. Alhamdulillah Allah sudah memberi kami amanah dua putri yang insyaAllah akan berusaha kami arahkan menuju jalan ridhoNya. Menuju tahun ke-6 pernikahan kami, banyak hal yang sudah terjadi yang membuat kami terus belajar. Belajar menjadi orang tua, belajar menjadi suami dan istri, menyikapi dan mengkomunikasikan masalah.

Awalnya, kami adalah tipe orang yang sama-sama tidak suka berkonflik. Sesekali kami menyampaikan ketidaksukaan kami saat sedang duduk berdua dan dalam keadaan yang sangat nyaman. Mencoba menyampaikan yang ada di hati kami dengan bahasa yang santun agar tidak melukai pasangan. Mencoba merubah pasangan menjadi lebih baik. Memposisikan diri agar sama-sama lebih nyaman. Saling kritik untuk menjadi lebih baik.

Tentu sebagai pasangan, kami memiliki masa yang sulit dan masa yang mudah. Sejak memutuskan untuk rumah sendiri, kami justru lebih jarang bertikai karena lebih leluasa mengungkapkan pendapat dibanding masih tinggal bersama orang tua. Biasanya kami lebih memilih memendam lalu marah sambil diam  saat masih di rumah mertua. Namun, sejak memiliki rumah sendiri, kami lebih sering mengungkapkan apa yang mengganjal. Kami lebih terbuka soal perasaan.

Memang tidak mudah, terkadang kami terlibat perang mulut yang sebelumnya tak pernah terjadi di rumah mertua. Aku lebih banyak diam saat ada yang tidak kusukai. Aku tidak banyak memotong pembicaraan saat aku terkadang disalahkan atas apa yang sebenarnya tidak seperti itu. Aku sadar laki-laki punya ego, aku sadar kalau mereka tak mau langsung dibantah saat berada di puncak ego. Aku lebih sering memendamnya, menyampaikan nanti saat sedang merasa nyaman. Namun, terkadang ada emosi yang ikut andil. Aku tidak bisa mengontrol emosi saat apa yang seharusnya tidak seperti kelihatannya itu ditimpakan padaku. Sebuah kejadian yang seharusnya kita saling menguatkan, tapi justru malah menyalahkan.

Tak jarang aku melupakan hal yang tidak menyenangkan selama itu masih dalam batas wajar dan tidak terlalu prinsip. Kalau sudah masuk di dalam ranah prinsip, aku lebih sering mencoba mengkomunikasikan. Sama seperti saat aku merasa lelah sendiri, tak merasa ada kontribusi suami mengurus pekerjaan rumah. Mungkin memang dia sedang capek, tapi selama dia tidak protes dengan keadaan rumah yang tidak sempurna, aku tidak mau mempermasalahkan ketidakterlibatannya. Namun, saat kerepotanku tak ternilai dengan satu kesalahan kecil, aku pun mulai mengatakan apa yang seharusnya ku katakan.

Aku belajar untuk memilah mana yang harus memang disampaikan dan mana yang belajar untuk dilupakan. Jangan pernah memendam karena hanya akan menjadi bom waktu yang akan meledak. Hidup berumah tangga memang tak selamanya indah, tapi yang mengelola itu harus berdua. Mereka bahkan yang sepertinya sangat bahagia dan bisa berkomunikasi dengan baik pun pasti memiliki masa dimana dua kepala itu berbeda pendapat. Namun, bagaimana menyikapi dan mencoba memaafkan itulah yang membuat mereka masih bisa bertahan. Bagiku selama tidak melanggar prinsip, selama tidak melanggar ajaran masih bisa dimaafkan.

Saat masih punya satu anak, kami sempat sama-sama belum bisa mengatur ego. Ego untuk membuat anak menjadi seperti yang kami harapkan. Mengukur dan membandingkan anak dengan orang lain. Memaksakan kehendak kami agar anak terlihat pandai dan baik. Seringkali kami mengesampingkan kemauan anak untuk menuruti keinginan kami. Namun, semakin hari kami sadar kalau setiap anak memiliki kepandaiannya masing-masing. Mereka harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan kecerdasannya.

Sampai akhirnya kami memiliki satu amanah buah hati lagi di tahun ke-5 pernikahan. Seorang putri lagi. Dua orang putri yang dititipkan pada kami untuk kami rawat dan kami didik. Banyak yang berubah, meski tidak semuanya. Kami lebih berusaha mengerti satu sama lain. Meski ego dan swing mood itu masih sering terjadi. Ayah menjadi penyeimbang swing mood Emak dan Emak menjadi penyeimbang Ego si Ayah saat swing mood tidak terjadi.

Memiliki dua buah hati benar-benar mengajarkan kami banyak hal. Apalagi tanpa adanya ART, kami benar-benar harus mengelola waktu kami dengan baik. Kami harus menyelesaikan segala pekerjaan ruamh tangga dan bermain bersama anak-anak. Bagi saya, yang sangat terasa adalah saat harus fokus mengajar ngaji si Mbak. Saya sangat kesulitan mengatur waktu untuk punya banyak waktu bersamanya. Apalagi si Ayah yang semakin sibuk membuatku harus pandai mengatur waktu karena si Mbak kadang masih iri denganku yang lebih banyak berdekatan dengan si adik. Kalau ada Ayah, si Mbak merasa ada yang memperhatikannya saat Emak sedang sibuk memperhatikan si adik. Apalagi Emak jadi lebih cepat lelah, saat menidurkan si Adik dan berusaha bangun lagi untuk qulity time dengan Mbak itu kadang sulit.

Siang hari, jam tidur mereka hampir sama. Pekerjaan emak kadang harus dikesampingkan untuk bisa menemani Mbak bermain. Sedikit mengesampingkan pekerjaan rumah yang menumpuk, menahan hati yang kadang kesal melihat rumah berantakan hanya demi bermain dan belajar bersama si Mbak. Sampai sekarang saya masih berusaha untuk mengelola waktu dan juga emosi menghadapi duo bidadari kecil buah hatiku. Kalau ada Ayah, rasanya semua menjadi lebih ringan karena ada teman berbagi tanggungjawab menemani anak-anak bermain.

Saat semua hampir bisa seimbang, berada di zona yang nyaman, ada saja yang harus berubah. Si Ayah dipindahkan ke luar kota. Memutuskan untuk pulang pergi setiap hari tentu tidak mudah. Berangkat Subuh dan pulang larut malam yang kadang harus merelakan anak-anak tidur duluan. Weekend menjadi hari yang sangat dinanti bagi si Mbak yang sudah mengerti arti rindu. Sering dia bertanya "Kapan Ayah libu, Bunda?"

Ada sesak di dada ini menjawabnya. Merasa kasihan padanya yang mungkin rindu bermain dengan ayahnya meski yang dicari adalah izin untuk bisa nonton youtube atau kalau Ayah libur bisa mengantarnya bermain ke tempat bermain. Namun, inilah proses kehidupan. Mungkin Allah punya banyak yang ingin diajarkan pada kami. Tanggung jawab Ayah lebih besar di kantor dengan amanah baru, waktunya juga lebih banyak tersita. Mungkin Allah juga ingin Ayah belajar mengelola waktu untuk bisa berbagi antara pekerjaan dan anak-anak juga saya, istrinya.

Terkadang, saya rindu masa dimana kita bisa ngobrol berdua sambil nonton Televisi. Ngobrol santaii tidak penting, terutama aku. Mungkin aku juga terlalu lelah sehingga cepat tidur sedangkan Ayah memilih untuk main gawainya di teras rumah. Saya rindu kami berdua saja, dia mendengarkan ceritaku yang tidak penting. Sering memang tidak mengerti apa yang kubicarakan, tapi tak apa. Yang penting dia mau mendengarkan ceritaku saja sudah cukup.

Saya masih ingat dulu saat baru punya satu anak, si Ayah protes padaku karena sering lebih cepat tidur. Dia memintaku menemaninya sekedar nonton dan saat itu aku memang benar-benar lelah dan mengantuk. Sekarang, justru saya yang sangat rindu keberadaannya yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan sampai malam pun dia harus melaporkan dan memilih bersama gawainya.

Jangankan untuk ngobrol dan duduk lama, kami menjadi jarang sholat berjamaah karena jam pulangnya yang larut. Entah sudah berapa lama rumah ini tidak lai sering melihat kami sholat berjamaah. Pernah terbersih di benakku, kalau tambahnya amanah si Ayah di kantornya menjadikan kami menjadi lebih jarang sholat berjamaah, saya rela kalau dia bahkan tidak naik jabatan. Rindu sholat berjamaah dan mengajari anak-anak ilmu agama adalah rindu yang paling sering membuatku meneteskan air mata.

Kami memiliki amanah yang kelak menjadi madrasah generasi penerus. Kami, tiga orang wanita yang menjadi tanggung jawabnya kelak di akhirat. Kami yang dosanya menjadi tanggungan imam kami ini rindu lantunan ayat sucimu saat menjadi imam sholat kami. Kami yang nanti dipertanggungjawabkan di akhirat oleh imam kami.

Kegundahan ini semakin memuncak ketika sadar kalau tidak banyak yang sudah kami lakukan untuk sekitar kami. Manfaat apa yang sudah kami berikan kepada orang-orang di sekitar kami? Ada rasa bersalah dan malu pada mereka yang sudah bisa berbuat banyak untuk lingkungan sekitarnya. Bahkan mereka yang hidup dalam keterbatasan, mereka bisa berbuat banyak untuk sesama.

Malu rasanya ilmu agama, bekal akhirat hanya sebatas itu dan belum bermanfaat bagi banyak orang. Namun, mendidik anak-anak menjadi anak yang berakhlaq mulia dan bertaqwa, kami berharap mereka bisa bermanfaat kelak. Mereka lah harapanku, harapan untuk bisa menjadi lebih baik dari kami dalam banyak hal.

Semoga dengan keberadaan mereka, kami bisa menjadi lebih baik....





Comments