Mbak Nur, tetanggaku


Hidup di kompleks mengajarkanku banyak hal. Sebagai salah satu rumah tangga baru, salah satu warga muda dan baru pindah, saya memang memilih untuk hanya menjalin silaturahim seperlunya dengan tetangga. Saya yang pada dasarnya memang tidak suka mengurus hidup orang dan tidak suka diurus hidup saya lebih suka membersamai anak-anak dan belajar untuk bisa menjadi lebih baik.
Saya merasa selama ini sudah stag. Tidak produktif. Pernah bekerja, pernah aktif menulis, pernah berarti, saya merasa sejak punya bayi dan berkutat dengan pekerjaan rumah tangga jadi tidak produktif. Padahal mungkin sebenarnya saya sedang berproses, mengembangkan anak-anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang. Membersamai  mereka, belajar teknik parenting yang lebih baik dan terutama mengelola emosi. Emosi menjadi pelajaran yang sangat penting bagi saya karena ternyata memang musuh yang paling besar bagi ibu rumah tangga adalah jenuh.

Jenuh dengan rutinitas, tapi bukan berarti tidak ikhlas. Dalam hal apapun, pasti ada masa jenuh dalam setiap rutinitas, tapi yang terus membuat kuat adalah niat ibadah. saya sadar kalau apa yang saya lakukan ini adalah bagian dari ibadah, ibadah sebagai hambaNya menjaga dan mendidik amanah dariNya yang kelak akan kami pertanggungjawabkan di akhirat. Mereka, dua malaikat kecil yang dititipkan pada kami adalah anugerah terindah yang takkan pernag tergantikan.

Saya harus merelakan ambisi dan mengesampingkan ego untuk mereka. Saya harus belajar menahan amarah untuk mereka dan terus belajar mendidik mereka menjadi lebih baik. Meski sampai sekarang saya masih sangat ingin melanjutkan pasca sarjana, meraih cita-cita saya menjadi penulis dan memiliki usaha sendiri, tapi saya tidak boleh egois. Saya harus membersamaii mereka yang sudah dititipkan pada kami dengan seluruh ketidaksempurnaan kami.

Lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Saya suka belajar dari pengalaman banyak orang dengan mengamati. Mengambil hikmah dan belajar dari kebaikannya. Memperbaiki diri dari kesalahan yang orang lain buat, tentu juga dengan kesalahan diri. Membandingkan bukan untuk melebihkan, tapi untuk tahu mana yang baik.

Ada seorang tetangg, sama-sama ibu rumah tangga denganku. Namun, dia tidak pernah merasakan bangku kuliah dan berasal dari keluarga biasa saja. Suaminya bekerja di sebuah perusahaan BUMN berasal dari Pulau Sumatera. Sebut saja namanya Bu Nur (bukan nama sebenarnya), dia berasal dari Sumbawa, tapi masih keturunan Makassar, suku bugis. Katanya memang orang Sumbawa banyak berasal dari suku bugis sehingga kebudayaannya pun banyak yang terpengaruh dari suku bugis, bukan sasak. Bu Nur memiliki perawakan suku bugis yang cantik dan putih sedangkan suaminya, Pak Jafar, berwajah biasa saja dengan tubuh tidak terlalu tinggi dan kulit bersih.

Mereka baru membeli rumah di sebelah rumahku, sebelumnya mereka sudah memiliki rumah di pinggiran kota yang tidak terllau besar. Mereka memutuskan membeli rumah di kompleks yang sama denganku karena berada di kota sehingga akses ke manapun lebih mudah. Setelah membeli rumah, mereka langsung merenovasi  rumah yang sudah agak rusak itu. Membuat rumah yang tadinay biasa saja menjadi terlihat lebih besar dan luas meski tanahnya sama dengan tanahku.

Awal bertemu dengan mereka sebelum pindah, aku sudah tidak respect karena Bu Nur seperti meninggikan dirinya. Membetulkan kata ibu mertuaku yang katanya rumah yang baru kubeli bentuknya tusuk sate dan kurang hoki., sedang suaminya sepertinya lebih bijakasana tanggapannya dengan tidak membenarkan mitos itu. Dari perkenalan pertama, aku sudah merasa kalau Bu Nur seperti sedikit sombong. Namun, sejak aku pindah dan dia masih bolak-balik renovasi rumahnya, aku semakin tahu bagaimana sifat Bu Nur. Meski semakin dekat, tapi aku tahu harus menjaga jarak dengannya. Dia terlalu ingin tahu tentangku dan selalu ingin lebih dariku.

Dia juga kepo, bahasa anak sekarang untuk orang yang selalu ingin tahu. Aku yang sudah tinggal lebih lama menetap di kompleks ini, tapi dia yang lebih tahu tetang banyak orang dan gosipnya. Saya sudah mulai tidak nyaman karena memang pada dasarnya saya tidak suka ngerumpi. Mbak Nur, belakangan aku memanggilnya seperti itu agar lebih akrab, ternyata memang suka sekali membicarakan orang lain. Semua gosip kompleks ini dengan cepat diketahuinya apalagi setelah menetap.

Awalnya memang aku suka karena ramai, tapi lama kelamaan aku merasa tidak nyaman karena terlalu sering membicarakan orang lain. Selain itu, dia selalu membicarakan tentang pelakor. Ketakutannya akan pelakor ditransfernya padaku agar aku juga waspada. Meski memang tidak ada yang tidak mungkin, aku sudah memasrahkan semua padaNya. Yang aku tahu, suamiku pergi untuk mencari nafkah untuk kami dan aku pun melaksanakan kewajibanku sebagai istri.

Mungkin ketakutan itulah yang membuatnya menjadi selalu berdandan cantik setiap saat bahkan saat bangun tidur dengan bedak dan lipstik. Tak pernah lepas make up. Outfit yang berusaha ditunjukkan untuk terlihat modis kadang malah terlihat tidak menarik. Meski cantik, tapi aura keanggunannya kurang terpancar karena cara bertuturnya yang kurang menarik. Terlalu ingin memperlihatkan sisi kecantikannya. Namun, aku tidak pernah iri dengan kecantikannya. Bagiku, setiap orang sudah diberikan Allah fisik yang terbaik untuk dirinya jadi bersyukur dan terus upgrade diri menjadi pribadi yang lebih baik merupakan salah satu cara untuk mempercantik diri melalui hati yang bersih.

Keingintahuan yang terlalu berlebihan membuatku terkadang risih saat membeli barang baru. Dia selalu tahu apa yang baru, entah bagaimana caranya. Padahal, si sulung sudah kuminta untuk tidak bercerita. Yang membuatku agak tidak nyaman adalah anaknya yang tidak mau tersaingi. Harus lebih tinggi dari orang lain. Mbak Nur secara tidak langsung juga memiliki sifat seperti itu. Ingin lebih dan suka mengikuti apa yang orang miliki. Entah apa yang membuatnya terobsesi milik orang lain, padahal apa yang dimilikinya sudah bisa dibilang cukup.

Tak lama kepindahannya, depan rumahnya ada sepasang suami istri yang menyewa. Ternyata mereka adalah pasangan menikah siri karena merupakan istri kedua. Bukan hanya sekali, ada keluarga yang juga pernah menikah lagi diam-diam. Mbak Nur semakin kebingungan, apalagi jabatan suaminya sudah cukup tinggi dan akan menjadi manager. Karena Mbak Nur mudah akrab dengan orang lain, dia pun segera akrab dengan tetangga depan rumahnya. Sebut saja namanya Bu Har, suaminya Pak Jati. Bu Har yang awalnya kesepian menjadi terhibur bersama Mbak Nur.

Sejak dekat dengan Bu Har, aku sebenarnya suka karena Mbak Nur jadi jarang ngerumpi di rumah. Aku juga sibuk dengan anak-anak dan sesekali menerima pekerjaan sebagai editor freelance. Aku lebih jarang keluar, memilih di rumah menyelesaikan pekerjaan rumah yang rasanya tak pernah habis. Aku semakin nggak nyaman sama Mbak Nur ketika dia sampai menanyakan berapa gaji suamiku, berapa bonusnya, kapan saja, kisaran berapa. Aku sudah mulai risih dengan pertanyaan yang sepertinya tidak perlu. Terkadang aku ikut terlena dengan pembahasan seperti ini, ikut sedikit memamerkan apa yang kami punya, tapi lama kelamaan aku sadar kalau tidak bermanfaat. Sedikit demi sedikit aku mundur sejak perutku sudah membesar. Kehamilan makin besar bisa kujadikan alasan untuk bisa istirahat lebih banyak.

Mbak Nur juga kedatangan mertua dan iparnya dari Sumatra. Ditambah kelahiran anak ketiganya, dia jadi lebih sibuk. Aku bersyukur bisa sedikit menjaga jarak dengannya.  Ditambah Mbak Nur sudah lebih dekat dengan Bu Har dan tetangga yang lain yang mungkin memiliki hobi yang sama dengannya. Ngerumpi lama.

Belakangan kuketahui dari Bu Har kalau Mbak Nur menganggapku pelit dan tidak punya uang. Aku tidak menyangkal karena memang sifat Mbak Nur yang suka melihat orang dari sisi negatifnya. Aku tahu dari cara Mbak Nur membicarakan orang lain, aku tahu pasti akan dibicarakan pula. Tak masalah, aku pun tak ingin menyenangkan banyak orang. Dari Bu Har juga aku tahu kalau Mbak Nur sedikit meremehkan cara berpakainku di rumah dan mengatakan kalau aku berumah tangga masih sangat muda. Belum tahu rasanya bagaimana suami berpaling dengan istri yang tak pandai berdandan. Melihat sesuatu hanya dari fisik dan apa yang terlihat.

Aku tak pernah tersinggung, aku hanya mencoba memahami psikologi Mbak Nur yang selalu ingin terlihat lebih dan memandang orang lain tidak lebih darinya. Keluarga suaminya tidak suka dengannya karena menganggapnya sombong dan sudah membuat suaminya berubah menjadi tidak peduli keluarga. Suami Mbak Nur berasal dari keluarga sederhana, jadi wajar sebenranya kalau masih sering mengirim uang untuk orang tua dan adik-adinya mulai dari biaya kuliah hingga biaya hidup. Mbak Nur sering merasa keberatan karena banyaknya tanggungan suaminya dari keluarganya. Belum lagi, Mbak Nur juga harus menanggung keluarganya yang juga tidak terlalu mampu.

Aku sebenarnya tidak ingin tahu dan tidak mau tahu, tapi Mbak Nur malah banyak bercerita padaku. Belum lagi Bu Har dan Asisten Rumah Tangga Mbak Nur yang bercerita dan sering mengeluh capek padaku. Aku jadi tahu kenapa Mbak Nur menjadi seperti itu.

Berasal dari keluarga yang kurang harmonis, ayahnya politikus yang pernah menjadi kepala desa. Kini, dia masih aktif di partai dan mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Tak ada penghasilan tetap. Entah betul atau tidak, katanya sempat mereka kaya karena usaha ayah Mbak Nur sebagai tengkulak. Namun, bangkrut karena gaya hidup ibunya. Sepertinya ayah dan ibunya kurang harmonis karena Mbak Nur pernah cerita mereka sering bertengkar karena ayahnya jarang memberi uang belanja. Betul atau tidak, ART yang bekerja di rumah Mbak Nur bercerita kalau ayahnya sering minta uang untuk judi dan minum. Kalau tidak diberi akan marah.

Mbak Nur pernah menjadi TKW ke Arab selama tiga tahun untuk membiayai ayahnya yang akan mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Dia menutupi masa lalunya dan menceritakan kalau orang tuanya pernah kaya kepada banyak orang mungkin karena malu. Kini, sudah menjadi istri pegawai BUMN, memiliki cukup uang, sepertinya dia ingin menikmatinya. Anak-anak tidak menjadi fokus utama, dia lebih sering keluar dan memanjakan diri. Mengurus anak-anak hanya sekedarnya yang penting makan dan bersih. Dia suka keluar dengan teman-temannya, arisan dan berkumpul.

Pada dasarnya Mbak Nur bukan orang jahat, hatinya baik. Hanya saja, dia seperti sedang mencari penghargaan dari lingkungannya. Bercerita apa yang dimilikinya, menceritakan suaminya menjadi manager, menceritakan tentang assetnya dan membuat dirinya harus terlihat cantik. Dia seperti ingin menunjukkan kalau dia bukan orang biasa, tidak bisa dianggap biasa. Menutupi kekurangan dirinya di masa lalu dan ingin membuat branding dirinya sebagai ibu manager.

Kadang, aku merasa kasihan pada Mbak Nur. Sering dia tidak ingin diremehkan dengan berusaha menyombongkan diri pada orang yang sombong. Namun, dia berbicara baik dan rendah saat bersama orang yang juga rendah hati. Dia seperti orang yang tidak punya pendirian. Mencari kebahagiaan dari pengakuan orang lain.

Meski kadang kalimatnya baik, tapi perbuatannya tak seperti yang diucapkannya. Itulah Mbak Nur.

Comments